Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Mei 2012

Sepenggal Kisah Panglima Perang Yang Menolak Hidup Mewah


“...Meunyoe mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon... ( Jika masih ada rumah warga kampung yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya )”.
Abdullah Syafie-

Letusan senjata mengoyak hening Subuh di areal persawahan Alue Mon, Cubo, Kecamatan Bandar Dua, Pidie. Subuh itu, 22 Januari 2002, Teungku Abdullah Syafie dan pengawalnya turun ke Alue Mon. Rupanya, pergerakan sang Panglima Prang AGAM itu tercium pasukan TNI yang sedang mengintai.

Perang pun meletus. Laga ‘timah panas’ dari moncong senjata AK kontra SS1 dan M16 membahana memecah sunyi. Auuu... Jala menjerit. Kakinya kena tembak. Jala menangis. Kombatan GAM dari Panteu Breuh, Desa Abah Lueng ini terus saja merintih, menahan rasa sakit.

Jala adalah nama panggilan untuk Jalaluddin, pengawal Tengku Abdullah Syafi’ei, akrab disapa Teungku Lah. Pertempuran antara pasukan pengawal Teungku Lah versus pasukan TNI dari Ton-2 Kompi Yonif Linud 330 yang dipimpin Serka I Ketut Muliastra semakin sengit.

Teungku Lah mengeluarkan peluru yang bersarang di kaki Jala. Lalu, Teungku Lah membubuhkan ie babah (air dari mulut) pada luka kaki Jala. “Bek moe lee,” kata Teungku Lah pada Jala. Jala merasakan kondisinya mulai membaik. Ia kembali menembak, membantu rekannya membalas gempuran pasukan pemerintah.

Tak lama berselang, tiba-tiba Teungku Lah kena tembak. Jala yang menempel Teungku Lah mencoba membantu Panglima Komando Pusat Teuntra Neugara Atjeh ini. Jala ingin memapah Teungku Lah untuk ke luar dari arena kontak tembak.

Bek (jangan),” Teungku Lah melarang. “Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh watee nyang lon preh-preh (kini sudah tiba waktunya yang saya tunggu-tunggu)”.

Dalam kondisi sekarat, Teungku Lah memerintahkan Jala segera lari, menyelamatkan diri. Jala menolak, ia tidak ingin meninggalkan panglimanya. Teungku Lah kembali memerintahkan Jala untuk kabur. Jala akhirnya menurut, lari dari medan tempur.

Saat lari, Jala menemukan sebuah sumur. Dia masuk ke sumur itu, lalu menutup sumur dengan tumpukan jerami,” kata Puteh Binti Abbas,73 tahun, ketika ditemui The Atjeh Post di Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kamis 1 September 2011.

Puteh Abbas, dipanggil Nek Teh adalah mertua Teungku Lah. Ia mendengar cerita itu langsung dari mulut Jala tak lama setelah kejadian itu. Jala selamat setelah masuk ke sumur. Sedangkan Teungku Lah, meninggal di tempat. Dari foto yang diperlihat pasukan TNI setelah peristiwa itu, Teungku Lah tewas dengan luka menganga di dada.

Anak saya, Fatimah (istri Teungku Lah) yang sedang hamil tujuh bulan, bersama para pengawal Teungku Lah, juga tertembak dalam kejadian itu, mereka meninggal. Hanya dua orang yang selamat, salah satunya, Jala,” kata Nek Teh.

Usman Basyah, warga Desa Blang Sukon memperoleh informasi yang sama tentang kronologis meninggalnya Teungku Lah seperti yang diceritakan Nek Teh. “Teungku Lah, Fatimah, Muhammad dan Teungku Daud dimakamkan berdampingan. Yang lainnya (juga pengawal Teungku Lah) dikebumikan di kampung kelahirannya masing-masing,” katanya.

Makam Teungku Lah, Fatimah, Muhammad dan Tgk Daud berada di belakang rumah Tgk Lah. Saat ini ditempati Nek Teh, di Desa Blang Sukon. Makam tersebut sedang dipugar atas inisiatif Bupati Aceh Jaya Ir. Azhar Abdurahman, juga mantan kombatan GAM.

Saat Lebaran seperti sekarang, makam Teungku Lah ramai dikunjungi warga. Ada yang sekedar menuntaskan rasa penasaran, ada juga yang peulheueh kaoy atau melepas hajat.

***

Ziarah ke Makam Teungku Lah

Makam Teungku Abdullah Syafie dijaga sendirian oleh perempuan paruh baya berusia 73 tahun. Perempuan tua itu terbungkuk-bungku menyapu halaman lantai sebuah balai yang terletak tepat di belakang rumahnya. Posisi rumahnya tak jauh dari meunasah Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Nek Teh, Mertua Teungku Lah

Puteh Binti Abbas, demikian nama perempuan 73 tahun itu. Ia biasa dipanggil Nek Teh. Dialah mertua almarhum Teungku Abdullah Syafi’ei, Panglima AGAM yang akrab disapa Tgk Lah. “Selama ini, Nek Teh sendirian yang merawat makam Teungku Lah,” kata Usman Basyah, 35 tahun, warga Desa Blang Sukon kepada The Atjeh Post, Kamis 1 September 2011.

Nek Teh mulai membentangkan tikar di balai beratap seng. “Balai ini dulunya berada di sana,” kata Nek Teh sembari menunjuk ke arah dekat empat makam yang berdampingan. Ketika makam mulai dipugar, balai pun harus pindah tempat.

Makam tersebut adalah makam Teungku Lah, istrinya, Fatimah, dan makam Muhammad Bin Ishak serta Teungku Muhammad Daud Bin Hasyim, keduanya pengawal Teungku Lah. “Beliau-beliau itu meninggal dalam kontak tembak di Alue Mon, kawasan pertanian padi,” kata Usman Basyah. Nek Teh mengangguk. Alue Mon, kata Usman, juga berada dalam Kemukiman Cubo.

Usman Basyah bilang, selain Muhammad dan Teungku Daud, ada tiga anggota GAM lainnya, meninggal dalam kejadian yang sama pada hari Selasa. “Tiga anggota GAM itu dikubur di kampung kelahirannya masing-masing,” kata Usman. Nek Teh kembali mengangguk. “Hanya dua pengawal Teungku Lah yang selamat dalam insiden itu,” katanya.

Usman tak ingat kapan persisnya pertistiwa itu terjadi. Namun, dari catatan yang ada, Teungku Lah bersama istri dan para pengawalnya meninggal dalam pertempuran pada Selasa 22 Januari 2002.

Tepat di ujung makam Teungku Lah, tampak sebuah guci kecil berselimut jaring warna ungu. “Dulu makam ini hanya dipagari dengan kayu setinggi leher orang dewasa. Itupun dibuat atas permintaan saya supaya tidak masuk hewan mengotori makam,” kata Nek Teh.

Pagar makam Teungku Lah, dulunya sangat memprihatinkan, sama sekali tidak layak,” sambung Usman.

Pagar makam itu, kata Usman, akhirnya dirobohkan setelah datang mantan kombatan yang saat ini menjadi Bupati Aceh Jaya. Dia adalah Azhar Abdurrahman. “Beliau (Azhar Abdurrahman) menangis saat melihat kondisi makam Teungku Lah,” kata Usman. Nek Teh mendukung penjelasan Usman.

Azhar Abdurrahman bukan sekadar menangis. Sang Bupati Aceh Jaya itu berinisiatif memugar makam panglimanya dengan bangunan yang lebih layak. “Awalnya, rencana Pak Bupati Azhar itu mendapat penolakan dari pihak GAM wilayah Pidie. Alasan mereka, biar orang di daerah ini (Pidie-Pidie Jaya) yang memugar makam Tgk Lah,” kata Nek Teh. Giliran Usman yang mengangguk.

Lalu, anggota GAM dari Matang Glumpang Dua Bireuen (daerah kelahiran Teungku Lah) yang datang bersama Pak Bupati Azhar langsung menyatakan dengan tegas, biar Azhar yang memugar. Sebab sudah sekian lama tidak ada yang memberi perhatian untuk makam Teungku Lah,” tambah Nek Teh.

Pada Juni 2011, Bupati Azhar Abdurrahman merealisasikan rencananya itu. Sekarang, makam Teungku Lah sedang dipugar. Tiang beton berdiri kokoh menopang kerangka atap. Luas bangunan tersebut 8 x 12 meter. “Mulai dibangun sekitar sebulan lalu,” kata Nek Teh, diiyakan Usman.

Sebelah timur bangunan makam Teungku Lah, ada balai. Di belakang balai terdapat hamparan sawah. Sebelah barat makam tampak rumah-rumah warga. Di bagian utara, ada kebun kakao. Sedangkan sebelah selatan makam, rumah almarhum Teungku Lah yang saat ini ditempati Nek Teh.

Tepat di samping kanan depan bangunan makam, terpampang papan informasi. Tertulis di papan itu, “Kru Seumangat Ateuh Pembangunan Makam Al Syahid”. Di bawah kalimat itu ada gambar Teungku Lah yang memakai seragam loreng lengkap dengan baret hijau. Di bawah gambar tersebut, tertulis, “Panglima Prang Acheh Tgk Abdullah Syafi’ei”.

* * *

Menolak Dibangun Rumah Mewah

Alm. Tgk Abdullah Syafei

Teungku Lah telah tiada. Sembilan tahun berlalu. Namun karakter sosok Panglima Angkatan GAM kelahiran Matang Glumpang Dua, Bireuen itu masih melekat erat dalam ingatan warga Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Desa Blang Sukon berjarak sekitar tujuh kilometer dari Jalan Medan-Banda Aceh, kawasan Keude Paru, Kecamatan Bandar Baru. Saat ini jalan penghubung Keude Paru ke Desa Blang Sukon telah beraspal. Suasana kawasan perbukitan itu teduh, nyaman. Pepohonan di pekarangan rumah warga tampak rindang.

Sebagian rumah berkonstruksi permanen. Dari bangunannya bisa dipastikan rumah-rumah itu belum lama dibangun. Sisanya, masih rumah-rumah berkonstruksi kayu, peninggalan masa lalu, termasuk rumah almarhum Teungku Lah.

Suatu waktu, saat Teungku Lah masih hidup, pernah ada yang minta untuk membangun rumah beliau, rumah besar. Tapi Teungku Lah menolak,” kata Usman Basyah.

Kata Usman, ketika itu Teungku Lah dengan tegas menyatakan, “Meunyoe mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon (kalau masih ada rumah warga desa yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya)”.

Makanya, Usman melanjutkan, sampai Teungku Lah meninggal, rumahnya masih berkonstruksi alakadar. Jauh dari kesan mewah.

Semasa memimpin perang gerilya, Teungku Lah juga banyak menerima kedatangan pihak-pihak yang membawa uang berlimpah. Teungku Lah langsung bertanya, “Uang itu untuk siapa”. Yang membawa uang menjawab, “Uang untuk nanggroe”.

Mendengar itu, Teungku Lah menyatakan, “Kalau untuk nanggroe (biaya perjuangan) jangan berikan ke saya, serahkan kepada yang berhak pegang uang itu”.

Begitulah sifat Teungku Lah, beliau tidak mau menerima yang bukan haknya,” kata Usman Basyah. Nek Teh membenarkan.

Usman Basyah bilang, “Meunye mantong na droe geuh Teungku Lah, mungken Aceh uroe nyoe ji-oh leubeh jroh (kalau masih ada Teungku Lah, mungkin Aceh hari ini jauh lebih baik)”.

Dalam pandangan Usman Basyah, Nek Teh dan warga lainnya, Teungku Lah betul-betul seorang panglima, pemimpin yang memberi contoh teladan kepada pasukannya. Juga sangat peduli dengan nasib masyarakat miskin.

Tak heran, banyak kalangan di Aceh merindukan sosok pemimpin seperti Teungku Lah. Bahkan teramat rindu.[]

***
oleh Pangeran I.I, Atjehpost.com

Sumber : atjehcyber.net

Jumat, 27 April 2012

Sastrawan Aceh Dapat Penghargaan dari Negeri Pahang


Jakarta | Penulis buku tentang sejarah Aceh, Hj Pocut Haslinda Mudadalam Azwar (67) menerima bintang kehormatan dan gelar D.I.M.P. (Darjah Indera Mahkota Pahang) dari Sultan Pahang.

Penganugerahan gelar dan bintang kehormatan untuk Pocut Haslinda itu dilakukan di Istana Abu Bakar, Pekan, Negeri Pahang, Malaysia, bertepatan dengan peringatan ulang tahun ke-81 Sultan Pahang yang jatuh pada Kamis 26 April 2012.

Turut mendampingi Pocut dalam penyerahan gelar itu Teuku Riefky Harsya, putra Pocut Haslinda, yang kini menjadi anggota DPR RI.

Penghargaan untuk seorang ibu dari Aceh ini diberikan sebagai bentuk apresiasi Sultan Pahang atas kajian Pocut Haslinda selama 7 tahun terakhir tentang Tun Sri Lanang yang diyakini akan dapat menjadi perekat hubungan Indonesia-Malaysia.

Kajian tersebut juga menghasilkan beberapa buku karya Pocut Haslinda yang berjudul "Tun Sri Lanang Dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia- Malaysia: Terungkap Setelah 380 tahun", "Silalatus Salatin Sejarah Melayu versi Populer" dan  "Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh Hubungannya dengan Raja-Raja Islam Melayu Nusantara".

"Saya meyakini sejarah akan selalu aktual untuk dijadikan referensi mencapai kesuksesan masa depan, terutama dalam membangun kembali kebuntuan intelektualitas dan semangat generasi penerus bangsa untuk menyelesaikan permasalahan pada masa kini," ujar Pocut Haslinda.

Dijelaskannya bahwa Tun Sri Lanang pada sekitar abad ke-16 merupakan sosok penting dalam sejarah melayu Nusantara. Selain aktif dalam pemerintahan, dia juga seorang ulama, budayawan, sastrawan serta bangsawan pewaris kerajaan Malaka.

Warisan kitab Tun Sri Lanang yang sangat terkenal adalah "Salalatus Salatin" berisi hikayat-hikayat yang menceritakan cara memimpin dengan bijak, baik dari aspek sosial, ekonomi, politik serta keagamaan.

Menurut Pocut Haslinda, kitab tersebut disusun Tun Sri Lanang sejak tahun 1612 (Batu Sawar, Johor Lama) hingga selesai pada tahun 1617 di Samalanga, Aceh.

Seminar dan buku tentang Tun Sri Lanang yang diluncurkan pada beberapa tahun lalu sempat membuat gempar publik Malaysia khususnya kalangan sejarawan dan kerajaan. Hal ini disebabkan 4 dari 9 kesultanan di Malaysia adalah keturunan langsung Tun Sri Lanang, yakni Pahang, Johor, Trengganu dan Selangor.

Menurut Pocut Haslinda, selama ini publik Malaysia meyakini bahwa Tun Sri Lanang sebagai pewaris takhta Kerajaan Malaka dianggap telah terbunuh saat di bawa ke Aceh sebagai tahanan perang Sultan Iskandar Muda. Sementara yang terjadi justru sebaliknya, karena kematangan ilmu serta kemampuannya dalam pemerintahan, Tun Sri Lanang di jadikan penasehat Kesultanan Aceh Darusalam dan dinobatkan menjadi ulee balang (raja) pertama di Samalanga. "Kuburannya pun masih terawat baik oleh keturunannya di Aceh hingga saat ini," ujarnya.

Tabir misteri kehidupan Tun Sri Lanang semakin terungkap setelah buku karangan Pocut Haslinda yang juga waris ke-8 Tun Sri Lanang itu diterbitkan.


Sabtu, 21 April 2012

Berziarah ke Makam Syuhada Aceh di Malaka

Farid Wajdi Ibrahim
 Laporan Farid Wajdi Ibrahim Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh

PUKUL tujuh pagi, saya mengunjungi makam Syeich Syamsuddin al-Sumatrani (Ulama Sufi asal Aceh) di kampung Ketek, pinggiran Bandar Malaka, Malaysia. Lebih kurang dua jam perjalanan dari Selangor atau sekitar lebih kurang 140 km dari Kuala Lumpur arah Selatan.

Lokasi tersebut berada di tengah perkampungan Cina dengan kondisi lorong yang sempit dan tidak dapat dilalui mobil. Menurut keterangan dari penjaga makam, kuburan Syeich Syamsuddin Al-Sumatrani pada awalnya tidak ada yang mengurus, bahkan tidak satupun mengetahui itu merupakan makam ulama terkemuka di nusantara dalam sejarah Melayu asal Aceh. Sehingga pada saat diketahui sekitar 2 tahun yang lalu itu kuburan Syeich Syamsuddin al-Sumatrani, Pemerintah Malaysia melalui Sultan Malaka langsung memerintahkan dipugar dan dibangun kembali dengan baik.

Kuburan ulama sufi itu tergolong sangat panjang (lebih kurang 8 meter), lokasi tersebut sekarang sudah menjadi tempat wisata kebudayaan yang banyak dikunjungi umat beragama di dunia. Uniknya, selain umat Islam yang berziarah, umat Budha, Hindu, Konghucu, Kristen dan lain sebagainya juga mengunjungi makam tersebut dengan hajatan sebagai tempat persemedian, bahkan dipenuhi dengan alat-alat persembahan. Namun, karena begitu maraknya dengan praktik syirik tersebut, pihak kerajaan sudah menertibkannya melalui penjagaan yang ketat terhadap orang-orang yang berkunjung ke makam itu.

Syeich Syamsuddin al-Sumatrani merupakan seorang ulama, sastrawan dan pahlawan yang terkenal di negeri Aceh di zaman Sulthan Iskandar Muda. Pada saat Malaka dikuasai Portugis tahun 1511. Aceh sering melawan portugis di Malaka. Tujuan peperangan tersebut untuk mempertahankan dan mengembalikan Malaka pada asal yaitu kerajaan Aceh yang bebas dari jajahan Barat dan bahkan untuk menegakkan syari’at Islam.

Salah satu serangan yang dilakukan angkatan tentara Aceh terhadap Portugis di Malaka langsung dipimpin oleh Syeich Syamsuddin al-Sumatrani, yang diikuti oleh panglima-panglima perang lainnya termasuk di antaranya adalah panglima Pidie. Syamsuddin al-Sumatrani dan panglima Pidie syahid di Malaka. Jasad panglima Pidie disemayamkan di puncak gedung-bukit China. Sementara, Syeich Syamsuddin al-Sumatrani dimakamkan di Kampung Ketek, Malaka.

Dalam perspektif sejarah Syeich Syamsuddin al-Sumatrani datang ke Malaka sekitar abad ke 17, tepatnya pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda berkuasa, di mana beliau juga dikenal sebagai Mufti Kerajaan Aceh pada saat itu. Namun pada substansinya, beliau datang ke sana atas perintah dari Sultan Aceh dengan tujuan untuk mempertahankan pasukan Aceh dalam peperangan melawan Portugis, yang mana Malaka merupakan wilayah kekuasaan Aceh waktu itu.

Setelah ziarah makam Syeich Symasuddin al-Sumatrani, saya mengunjungi Pulau besar. Di sana, terdapat makam Sultan al-Arifin. Ia adalah seorang Sultan yang sangat gagah berani juga sebagai ulama terkemuka di Malaka. Di samping makam Sultan al-Arifin juga terdapat makam Syeich Yusuf, guru dari Sultan al-Arifin. Makam Syeich Yusuf panjangnya mencapai 20 meter, dan merupakan makam terpanjang di Asia Tenggara.

Bukan hanya itu, masih ada dua lagi makam orang Aceh di Pulau Besar, Malaka yaitu makam Tok Janggut. Ia berasal dari Aceh yang diyakini datang dengan Panglima Lidah Hitam (ulama dan pahlawan yang sangat terkenal dalam dunia persilatan) dan satu lagi adalah makam Tok Putih yang juga asal Aceh dengan ukuran panjang kubur lebih kurang 14 meter.

Kita berharap Pemerintah Aceh mau bekerjasama dengan pemerintah Malaka untuk melestarikan para syuhada tersebut dan menjadikannya sebagai pusat kebudayaan.


Selasa, 17 April 2012

Raja Tidore Mangkat, Cucu Raja Aceh Berduka


Banda Aceh | Ahli waris keluarga besar Raja Aceh Tuanku Raja Yusuf  menyampaikan duka yang sedalam-dalamnya atas mangkatnya  Sultan Tidore H. Djafar Sjah Dano H. Yunus pada Jumat (13/4). Raja Tidore ini mangkat  di Jakarta dan dimakamkan di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara pada Sabtu (14/4).
“Kami atas nama ahli waris keluarga besar Raja Aceh turut berduka. Kami berharap yang mengganti beliau bisa melanjutkan kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat,” ucap Tuanku Raja Yusuf kepada The Globe Journal melalui siaran pers, Senin (16/4).
Cucu Sultan Muhammad Daudsyah menyebutkan ada hubungan emosional antara Aceh dengan Tidore sejak zaman pejajahan Belanda.  Puluhan tahun lalu, kakeknya Sultan Muhammad Daudsyah ditangkap oelh kolonial Belanda dan diasingkan dari Aceh yang pertama ke Maluku. Dalam pengasingan itu, ayah raja Yusuf yang masih kecil juga diikutsertakan ke sana pada 1907.
“Saya belum pernah berjumpa dengan Sultan Tidore. Namun kami sebagai sesama raja di Nusantara memiliki ikatan emosional yang sama,” jelas Yusuf yang sedang memasuki masa pensiun di Departemen Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh.
Sultan Djafar Sjah wafat dalam usia 73 tahun di rumah sakit Husada Mangga Besar Jakarta Jumat (13/4) akibat liver yang dideritanya selama ini. Djafar merupakan sultan ke-36 di Tidore yang sangat memperhatikan kemajuan daerah dan kemimpinan masyarakat melalui peran kesultanan.
Pemerintah Tidore menginstruksikan kepada seluruh instansi di lingkup Pemkot serta masyarakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari sebagai tanda bergabung atas wafatnya Sultan Djafar Sjah.

Kamis, 12 April 2012

Wasiat Terakhir Abdullah Syafi'ie


"...Jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka...".

Itulah wasiat terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafei yang tewas dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jimjiem, Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie. Wasiat yang dibuat sebulan sebelum ia meninggal, seolah firasat Syafei bahwa kematiannya memang telah dekat. Namun, jauh sebelum Tengku Lah --begitu ia biasa disapa-- tewas, ia telah menulis pesan agar kematiannya tidak ditangisi, apalagi diratapi. Sebab, perjuangan kemerdekaan negeri Aceh Sumatra belum tuntas dan kematian dirinya adalah syahid.

Tengku Lah adalah pemimpin sayap militer GAM yang sangat berpengaruh. Lebih dari 20 tahun ia memimpin gerilya GAM dari kawasan Bireun, yang dikenal sebagai markas GAM. Tengku Lah dikenal sebagai pribadi yang tegas dan sopan. Ia juga dikenal sangat santun dan bersahaja. Di mata aktivis GAM, Syafei adalah sosok yang humanis dan antikekerasan. Itulah sebabnya, berulang kali Syafie menegaskan bahwa perjuangan bersenjata tak lebih dari upaya mempertahankan diri dari serangan Tentara Nasional Indonesia.

Tengku Lah memang tak pernah dibesarkan dalam dunia kekerasan. Ia juga tak pernah mendapat pendidikan tempur di Libya, seperti yang diperoleh Muzakir Manaf, sosok yang diusung GAM menggantikan Syafei. Tengku Lah hanya seorang berkepribadian sederhana yang dilahirkan di Desa Matanggeulumpang Dua, 45 kilometer sebelah barat Lhokseumawe, Aceh Utara. Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Itu pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama di sejumlah pesantren.

Uniknya, masa muda Syafei ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama grup Jeumpa. Ia kerap berperan sebagai wanita dalam setiap pementasan. Itulah sebabnya, sejak muda rambut Syafei selalu tergerai. Perkenalan Tengku Lah dengan dunia militer terjadi pada awal 1980-an. Ia bergabung bergabung dengan GAM kelompok Hasan Tiro. Meski begitu, keramahan dan kesantunan Syafei tak pudar. Ia terus menjalin komunikasi rakyat Aceh, yang memang sangat dekat dengan dirinya.

Sikap ramah, santun, dan hangat ini diperlihatkan ketika Syafei dengan begitu akrab bertemu dengan sejumlah komponen masyarakat dan wartawan. Sekretaris Kabinet di era Presiden Abdurrahman Wahid, Bondan Gunawan, dan artis Cut Keke adalah dua di antara tokoh yang pernah Syafei temui.

Bahkan, ketika TNI mengklaim telah menembaknya hingga sekarat, Maret 2000, Syafei dengan santai malah mengundang reporter SCTV Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara di tengah Hutan Pasee. Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas Maruli Tobing untuk melihat kondisi terakhir Syafei yang saat itu ternyata dalam kondisi sehat walafiat.

Setiap gerak Syafei memang layak "disantap" pers. Ia dianggap tokoh penting untuk menyelesaikan konflik Aceh yang telah berlarut-larut dan berdarah-darah. Namun, sebelum Serambi Mekah aman dan kemerdekaan Aceh masih menjadi mimpi bagi sebagian anggota GAM, Tengku Lah keburu tewas. Ia meninggal begitu dramatis; bersama Fatimah, istrinya yang tengah mengandung enam bulan, dalam keyakinan menjadi syahid.(ULF/Tim Liputan 6 SCTV)

Dihormati Kawan Disegani Lawan

Subuh hampir menjelang ketika serombongan orang berjalan kaki sambil mengusung empat keranda dalam pekat malam. Di posisi paling depan, seorang lelaki menjinjing petromaks sebagai penerang jalan. Seratus meter dari sana, sejumlah laki-laki masih menggali lubang kubur berukuran 3 x 2 meter.

"Tolong ambil timba, semua air harus dibuang,” ujar seorang lelaki meminta untuk menguras air yang memancar di dalam lubang yang baru saja digali.

Tanah yang di ujung sana, digali sedikit lagi,” seorang lelaki lain menimpali.

Pada malam menjelang subuh itu, 25 Januari 2002, isak tangis dan salawat bergema di Desa Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Salah satu keranda yang diusung adalah Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah Syafie.

Ada juga istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya Teungku Daud Hasyim dan Teungku Muhammad Ishak. Mereka tewas akibat kontak senjata antara GAM dan TNI tiga hari sebelumnya, di Desa Sarah Panyang Jiemjiem, sekitar empat kilometer dari Blang Sukon.

Tanpa dimandikan, keempat jenazah itu lalu dimakamkan dalam satu liang. Pemakaman berlangsung sederhana. Tak ada simbol-simbol GAM seperti bendera atau letusan senjata api sebagaimana lazimnya penguburan seorang panglima militer. Tak ada pula petinggi GAM lain di sana.

Masyarakat setempat mengenang Abdullah Syafie sebagai sosok ramah dan bersahaja. Itu sebabnya, tiga warga desa yang terletak 35 kilometer di selatan Kota Sigli itu sempat pingsan, tak kuasa menahan haru. “Saya belum pernah menemukan seorang pemimpin yang begitu dekat dan bisa bergaul dengan segala lapisan masyarakat,” ujar pria separuh baya yang namanya tidak mau disebutkan.

Pria yang akrab disapa Teungku Lah itu tak hanya disenangi kawan, tapi juga disegani lawan. Letkol Infanteri Supartodi yang ketika itu menjabat Komandan Distrik Militer (Dandim) 0102 Pidie mengakui kelebihan Teungku Lah. “Beliau orang baik. Tapi karena ideologinya bertentangan, ia harus berhadapan dengan kami,” ujar Supartodi.

Abdullah Puteh yang ketika itu menjabat Gubernur Aceh juga memuji sosok Tengku Lah. Menurut Puteh, ia adalah pemimpin yang sudi diajak berdialog dan berpikiran modern. Itu terbukti ketika Teungku Lah menerima Bondan Gunawan, Sekretaris Negara yang diutus Presiden Abdurrahman Wahid pada 16 Maret 2000. Pertemuan itu berlangsung pada sebuah jambo di sawah pinggir hutan dalam suasana akrab dan penuh canda, tanpa pengawalan ketat. Bahkan, sejumlah televisi dalam dan luar negeri menyiarkan pertemuan itu secara langsung.

Tgk. Abdullah Syafie bersam Bondan Gunawan
"Saya menganggap Tengku Lah sebagai saudara, bukan musuh," kata Bondan sesudah pertemuan itu. Bondan bahkan menaruh foto dirinya dengan sang Panglima AGAM di meja kerjanya. "Itu potret saudara saya," ujar Bondan kepada Nezar Patria dari TEMPO yang menemuinya seusai bertemu Teungku Lah.

Meski mengaku pertemuan itu hanya sebagai silaturahmi biasa, namun sesungguhnya Bondan menyampaikan pesan Gus Dur untuk meretas jalan damai bagi konflik Aceh. Tertembaknya Teungku Lah sempat membuat jalan menuju damai kian berliku. Pertemuan yang sudah dirancang berlangsung pada 3 Februari di Jenewa, Swiss, tak berjalan mulus. Pihak GAM keberatan bertemu. "Selama ini, kami sudah berupaya melakukan diplomasi, tapi selalu dibalas dengan peluru," kata Sofyan Daud, juru bicara GAM ketika itu.

***

Sembilan tahun telah lewat. Tak ada lagi perang yang membuncah. Tiga tahun setelah Teungku Lah tertembak, pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perjanjian yang dikenal dengan MoU Helsinki itu sekaligus mengakhiri konflik bersenjata selama 30 tahun.

Setelah damai datang, kuburan Teungku Lah ramai dikunjungi orang. Mulai dari masyarakat biasa hingga mantan petinggi GAM. Bahkan, Wali Nanggroe Tengku Hasan Tiro pun sempat berkunjung ke sana saat kembali ke Aceh pada Oktober 2008.

Kuburan Tengku Lah dibangun dengan sederhana dan hanya dikelilingi teralis besi. Beberapa helai kain putih terikat di pohon jarak yang ditanam di makam. Kain-kain itu diikat oleh warga yang berkunjung dan peulheuh kaoy (melepas nazar) di sana.

Sementara itu, nun jauh di seberang Geurutee, sekitar delapan jam perjalanan dari makam Teungku Lah, seorang arakata memutar otak untuk memugar makam sang panglima. Arakata adalah sebutan dalam struktur GAM untuk jabatan sekretaris. Lelaki itu, Azhar Abdurrahman, sang arakata wilayah Meureuhom Daya yang kini menjabat bupati Aceh Jaya.

Berkunjung ke makam Tengku Lah sekitar dua bulan lalu, Azhar terenyuh melihat kondisi makam. Ia pun tergerak hatinya untuk memugar kembali makam sang panglima. “Beliau orang besar, mantan panglima prang, tapi kuburannya sederhana sekali,” ujar Azhar.

Azhar memang belum pernah bertemu langsung dengan Tengku Lah. Wajahnya hanya dilihat di koran dan sesekali muncul di televisi. Meski begitu, Tengku Lah mendapat tempat khusus di hati Azhar. Ketika Tengku Lah tertembak, Azhar mendapat kabar itu dari telepon satelit. Seseorang dari komando pusat mengabari bahwa sang panglima telah tiada. “Kami sangat berduka setelah mendapat kabar itu dan bertekad melanjutkan apa yang sudah beliau perjuangkan,” kata Azhar.

Itu sebabnya, Azhar pun segera merancang pemugaran makam. Ia berharap, masyarakat yang datang ke sana dapat leluasa untuk sekedar berdoa atau peulheuh kaoy di sana. Diperkirakan, pemugaran makam akan selesai dalam waktu satu setengah bulan atau sebelum masuk bulan puasa tahun ini.

Bagi Azhar, Abdullah Syafie adalah figur idolanya. Ia pun masih mengingat pesan Teungku Lah sebelum ajal menjemput. "Jika suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan apapun apabila negeri ini (Aceh) merdeka...".

Sembilan tahun setelah ajal menjemput, meski tak disampaikan secara langsung, pesan itu masih menancap di benak Azhar. Aceh sudah damai…[Tim/AtjehPost]

***

Sumber

Kamis, 05 April 2012

Inilah 10 Panglima Perang Wanita Terhebat di Dunia

Panglima atau Pemimpin Perang identik dengan pria. namun, yang 10 wanita di bawah ini adalah wanita wanita luar biasa yg mampu memimpin ribuan pasukan dalam peperangan dan turun langsung ke medan perang yuk kita simak..




10. Mary E. Walker 

Mary Walker adalah wanita pertama dan satu-satunya di seluruh kekuatan militer yang pernah menerima Medali Kehormatan Kongres atas tindakan dan tugas selama Perang Saudara. Meskipun ia tidak memulai di militer, Walker dikenal untuk mendorong hak-hak perempuan serta reformasi berpakaian. Sebelum Perang Saudara pecah, Walker adalah satu-satunya perempuan di kelasnya lulus dengan gelar medis dari Syracuse Medical College. Segera setelah mendapatkan gelar, perang pecah dan Walker sukarela untuk bergabung dengan Angkatan Darat sebagai petugas medis


9. Cut Nyak Dhien

Wanita Aceh yang lahir pada tahun 1848 ini adalah salah satu prajurit wanita terbaik yang pernah dimiliki oleh Aceh dan Negara indonesia. Ia bersama Suaminya, Teuku Umar berjuang bersama rakyat Aceh lainya untuk mengusir kependudukan belanda dari tanah Aceh. Ia selalu gigih dalam mengumandangkan kata kebebasan bagi rakyat aceh. Bahkan di usia tuanya, ia tetap berjuang melawan Belanda walaupun hanya dengan kobaran semangatnya

8. Opha M. Johnson

Mungkin Johnsonlah wanita pertama di dalam kesatuan Korps marinir Angkatan laut Amerika serikat yang ikut berperang langsung dengan tentara Jepang. di saat wanita lainya hanya mendapatkan tugas sebagai juru masak dan juru cuci marinir, ia justru mendapatkan tugas sebagai pengatur serangan laut angkatan Laut marinir Amerika serikat di Perang dunia ke 2

7. Loretta walsh  

Loretta adalah wanita pertama yang terdaftar dalam kesatuan Angkatan laut Amerika serikat di perang dunia ke 1. Wanita kelahiran 22 April 1896 ini adalah salah satu ahli strategi pertempuran laut yang ikut andil dalam pertempuran melawan Jerman di front Psifik, kegemilanganya dalam menerapkan strategi perang laut membuat Jerman harus kehilangan 5 kapal tempurnya

6. Oveta Culp Hobby

Hobby adalah wanita pertama di dalam kesatuan angkatan darat yang mendapatkan US Army Distinguished service medal, yaitu medali kehormatan yang hanya diberikan kepada prajurit-prajurit Amerika serikat terbaik. Pada awalnya ia hanya bertugas di bagian editor, tetapi karna kegemilanganya, ia kemudian berhasil menduduki posisi penting di kemiliteran Amerika serikat, dan segera setelah ia mendapatkan medali kehormatanya di tahun 1945, ia kemudian naik pangkat menjadi kolonel

5. Cordelia E. Cook

Cordelia E. Cook menjabat sebagai Korps Perawat Angkatan Darat selama Perang Dunia II dan berdiri sebagai wanita pertama yang menerima dua penghargaan atas tindakannya selama perang: Bintang Perunggu dan Purple Heart. Cook ditempatkan di Italia dan berhasil melakukan tugasnya sebagai perawat selama waktu pertempuran sulit dan kawanan tentara yang terluka dan sekarat. Ia berada di dalam pertempuran langsung ketika bertugas merawat para korban yang terluka

4. Margaret Corbin

Margaret Corbin adalah wanita yang ikut bertempur langsung di Perang Revolusi Amerika. Pada awalnya ia adalah seorang wanita biasa, Tapi pernikahanya dengan John Corbin pada tahun 1772 yang seorang pejuang membuatnya harus ikut bertempur. Mereka berdua berjuang bersama ratusan orang berjuang melawan pasukan Inggris, terutama di Fort Washington di Manhattan.

3. Jamila

Jamila yang mempunyai nama lengkap Djamila Bouhired ini adalah seorang pejuang bwanita yang paling terkenal di dunia. Ia adalah pejuang nasional Aljazair. Bersama mahasiswa-mahasiswa aljazair lainya, ia tergabung dalam Front pembebasan Nasional Aljazair. perjuanganya melawan pendudukan Prancis di aljazair tak hanya melalui jalur Diplomasi, Ia juga aktif dalam jalur baku tembak dengan pasukan prancis.

2. Joan of Arc

Boleh dikatakan bahwa Joan of Arc adalah simbol ksatria prancis, Dialah prajurit wanita yang namanya menyeruak di dunia kemiliteran dunia. Ia adalah wanita yang ikut bertempur langsung dengan Pasukan Inggris dalam rangka mendapatkan kembali tanah Prancis. Ia banyak memenagi pertempuran bersama pasukan Prancis sebelum akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati pada bulan Juni 1456. namun ia tetaplah dianggap sebagai Wanita suci sekaligus pahlawan wanita paling berpengaruh di negara Prancis.

1. Laksamana Malahayati  

Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati



Sumber : Kaskus.us

Minggu, 25 Maret 2012

Aceh di Mata PJ Veth

P.J Veth 1814-1895
"Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah." (P J Veth)

Oleh Iskandar Norman
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
ratu safiatuddin
Ratu Safiatuddin

Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.
Vert mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.
Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.
Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.
taman safiatuddin
Taman Safiatuddin, Banda Aceh

Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai sultanah.

Sultanah yang Taat

Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. ’’…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…’’
tugu safiatuddin
Tugu Safiatuddin, Banda Aceh

Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. â€Å“… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah ke rahmat Allah…”.
Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.
Karena itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam pemerintahannya yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili. Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang memberikan dukungan besar kepada muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai sultanah.
Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin sebagai ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan menempatkan diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu Safiatuddin sendiri. Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda.
Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orangtuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain adalah dengan mendorong para ulama untuk terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab.
Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mir’at al-Tullab atau, lengkapnya, Mir’at al Tullab fi Tashil Ma’rifat ahkam al-syar’iyyah li al malik al wahhab yang kurang lebih berarti ‘Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala Hukum Syara’ Allah. Kitab ini diperkirakan ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara’ pertama yang ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.
Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. ‘ Maka bahwasanya adalah hadarat yang maha mulia [ Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah] itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muktaj [dibutuhkan] kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadi pada pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara’ Allah yang mutamat pada segala ulama yang dibanggakan kepada Imam Syafei Radiallahuanhu…’’
Demikian pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti istana, ia juga seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan Aceh, ia sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar ditulis pada masa Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan soal Wujudyah di samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.
Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri, prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.
(P J Veth)
 Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga menggambarkan, pada masa pemerintahan sultanah ini ditemukan galian pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah sehingga membuat Kerajaan Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas yang dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah itu.
Menurut Van Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah emas yang lazim digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya untuk ditempa menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih (emas ) atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.
Sultanah Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua dirham buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan yang dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada waktu itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan buatan sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama Paduka Seri Sultanah Ta al–Alam, sedangkan pada bagian belakangnya terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.
F W Stammeshaus dalam tulisannya â€Å“Atjehshe Munten” menulis, jumlah mata uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat banyak dibandingkan dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan erat dengan ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti yang telah dikemukakan.
Adapun gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai berikut.’’… di Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan tawakal pada segala barang pekarjaanya…’’
Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam â€Å“Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh. Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah bangunan yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik kerajaan yang menghiasi istana.
Hal yang sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.

Administrasi Kerajaan

Sultanah Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam, di Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam melaksanakan tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas perang, dikepalai oleh seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur keuangan kerajaan seperti pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.
Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu disebut "Balai Musyawarah" (lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari sebagai institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai Gadengbalai para ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang terdiri atas 73 orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.
Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal tersebut. Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang bergelar Sri Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah.
 

Sepotong Sejarah Aceh yang Dibelokkan

"Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini ?". (Tgk Muhammad Daud Beureu'eh)


Sepotong sejarah Republik menyangkut Aceh yang banyak dilupakan. Yaitu soal peran Aceh penyelamatan krisis fatal pada akhir tahun 1949. Bila ini dikemukakan, bukan karena ingin Aceh dipuji. Tetapi karena sejarah harus ditulis apa adanya, tidak boleh ditutup, distorted atau direkayasa.

Sejarah mesti murni untuk diwariskan kepada generasinya. Dan apa yang penulis lihat meski itu singkat, tidak terdapat dalam buku- buku sejarah RI yang diajarkan di sekolah-sekolah. Juga penulis tidak melihjat di media yang ditulis sejarawan kita, hatta oleh ahli sejarah Aceh sendiri.

Penulis bukanlah ahli sejarah, tapi salah seorang pelaku sejarah Aceh. Dan kesempatan ini mencoba memaparkan apa yang banyak dilupakan orang. Misalnya, tentang perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh (akrab disapa Abu). Beliau ulama besar, bukan saja bersaja untuk Aceh, tapi untuk republik tercinta ini. Ia tidak saja berhasil menegmbangkan syiar Islam secara luas tapi juga menjadi pemimpin rakyat (people leader). Abu membangun "Aceh Baru" yang demokratis, bebas dari penghisapan atau penindasan manusia oleh manusia (exploitation delhomme par home).

Sedangkan bagi Republik Indonesia beliau berjasa sebagai penyelamat. Sejarah itu yang tak tertulis di buku-buku sejarah sekolah mana pun. Kecuali beliau diklaim sebagai pemerontak Republik hingga akhir hayatnya. Begitu juga dua pejuang penyalamat lainnya, yaitu Mr Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan LN Palar, Duta Besar Indonesia di PBB.

Sekilas tentang sejarah, bahwa pada akhir tahun 1949, RI ditimpa kritis yang fatal. Hampir seluruh wilayah sudah diduduki Belanda. lbukota Republik pun sudah dikuasainya. Presiden dan wakil Presiden sudah ditangkap Belanda dan dibuang --kalau saya tidak salah dibuang ke Pulau Bangka.

Mr Sjafruddin Prawiranegara yang sempat diangkat sebagai Kepala Pemerintah Republik Indonesia, bergegas-gegas mengungsi ke Bukit Tinggi. Karena merasa tidak aman di Bukit Tinggi, beliau mengungsi ke Aceh, sebuah wilayah Republik yang belum dapat diduduki oleh Belanda. Jadi, masih tetap sebagai territory legal dari Republik Indonesia. Mengikuti Pak Sjafruddin Prawiranegara Tinggi dari ketiga Angkatan pun mengungsi ke Aceh. Dari Staff Angkatan Darat Kol Hidayat, dari staff Angkatan Udara Suyoso, dan dari Staff Angkatan Laut Komodor Subiyakto. Pada kali pertama pemimpin-pemimpin Aceh yang terdiri dari Abu Beureueh, Tgk Abdul Wahab Seulimum, Hasan Ali dan M. Nur El Ibrahimy sendiri berkunjung kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara.

Pertama-tama yang dituntut adalah membentuk Propinsi Aceh, yang dijanjikan oleh Presiden Soekarno. Di depan Abu Beureueh pada waktu beliau datang ke Aceh pada tahun 1947, Soekarno bersumpah dua kali, ternyata dua tahun ditunggu, janji itu tidak dipenuhi.

Saat itu Pak Sjaf (panggilan Syafruddin) menjawab "jangan khawatir, dalam dua tiga hari ini, Propinsi Aceh akan saya bentuk, seperti yang diinginkan oleh rakyat Aceh. Seperti yang dijanjikan", Propinsi Aceh pun terbentuklah dengan PP Pengganti Undang-undang yang mulai berlaku pada tanggal 8 Desember 1949. Sebagai Gubernur Aceh yang Pertama diangkat Abu Beureueh. Beliau dibantu oleh sebuah badan yang disebut Badan Pemerintah Provinsi Aceh, yang terdiri dari T M Amien, Orang Kaya Salamuddin, A.R. Hasjim dan Saya sendiri.

Di seluruh Aceh rakyat bergembira karena keinginannya yang sejak lama tercapai, dan terbentuknya Provinsi Aceh, gampanglah bagi Jendral Mayor Tituler, Mantan Gubernur Militer Aceh, langkat dan tanah Karo Abu beureueh Sebagai Gubernur Areh sekarang untuk mengajak rakyat berjuang mati-matian mempertahankan Aceh jangan sampai dapat diduduki Belanda. Sebab kalau Aceh dapat diduduki Belanda, berarti tamatlah riwayat Republik Indonesia.

Untuk dimaklumi bahwa pertarungan yang sengit antara Aceh dan Belanda berpusat di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (dikenal Medan Area). Yang dipertahankan dengat gigih oleh rakyat Aceh bersama TNI Devisi X Aceh, Barisan- Barisan mujahidin yang ketuanya Abu Beureueh, TP (Tentara Pelajar) dan TPI (Tentara Pelajar Islam). Maka berkat pimpinan yang solid dari Abu Beureueh pertahanan rakyat Aceh begkitu gigih, dan Medan Area tak bisa ditembusi tentara Belanda. Penjajah akhirnya kembali ke baraknya di kota Medan. Maka Republik Indonesia yang berada sekarat hidup kembali.

Semangat juang rakyat Aceh yang gigih diketahui LN Palar, Duta Besar RI di PBB yang sebelumnya sudah loyo, menjadi bangkit kembali. Beliau segera meminta PBB untuk memerintahkan kembali kedaulatan atas seluruh territory Republik Indonesia dikembalikan kepada pemerintah Indonesia Serikat, pada 17 Agustus 1950. Sayang sekali pada hari upacara penyerahan kembali kedaulatan atas RI kepada Pemerintah Indonesia oleh Belanda, Jendral Mayor Tituler Abu Daud yang saya anggap salah seorang penyelamat Republik Indoensia tidak diundang ke upacara tersebut.

Perlu dijelaskan bahwa sebelum penyerahan kedaulatan, di Aceh terjadi heboh besar, karena dibubarkan Propinsi Aceh. Heboh ni yang tadinya terjadi di Kota Raja (Banda Aceh sekarang) meluas sampai ke seluruh Aceh. Maka dilayangkanlah poster-poster dan Resolusi- resolusi kepada pemerintah. Heboh ini tidak dapat diatasi hingga terpaksalah pembesar-pembesar Negara dari pusat datang ke Aceh untuk menyenangkan rakyat, antara lain Mr Assaat (Mendagri)--namun rakyat tidak lagi mendengarkannya. Maka Bung Hatta yang kembali menjadi Wakil Presiden Negara Kesatuan NRI datang ke Aceh. Rakyat juga tidak menghiraukan apa yang dikatakannya.

Abu Beureueh Mantan Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo, dan mantan Gubernur Aceh, menyatakan dengan tegas " Bahwa kalau Provinsi Aceh tidak dibentuk kembali, saya akan naik ke Gunung untuk membentuk Provinsi Aceh menurut keinginan kami sendiri". Zaini Bakri, Bupati Aceh Besar juga dengan tegas mengatakan kalau provinsi Aceh tidak kembali dibentuk pegawai RI di seluruh Aceh meletakan jabatan.

Karena rakyat tidak bisa ditenangkan, Muhammad Natsir (Perdana Menteri Kabinet pertama NRI datang ke Aceh). Beliau mula - mula mengatakan pertemuan dengan petinggi - petinggi Aceh, kemudian melalui radio. Ia mengajak rakyat supaya tenang dan tidak khawatir. Beliau akan berusaha sekuat tenaga akan terbentuk kembali Propinsi Aceh. "Secara Intergral", artinya membentuk Propinsi di seluruh Indonesia. Betul-betul Natsir telah mengubah situasi yang panas menjadi suasana yang sejuk sehingga rakyat di seluruh Aceh tenang kembali, dan dengan penuh kepercayaan menunggu janji Perdana Menteri Pertama Natsir itu.

Sayang kabinet Natsir setelah kira-kira satu tahun bekerja, dijatuhkan oleh anggota - anggota DPR yang tidak menyetujui Provinsi Aceh yaitu PKI, PNI, Partai Indonesia Raya dan beberapa partai lainnya. Harapan rakyat Aceh untuk tegaknya sebuah Provinsi seperti yang diinginkan di tanah Rencong buyarlah semua. Provinsi Aceh baru dibentuk kembali setelah Abu Beureueh "naik gunung" (sebagai yang ditegaskan di depan Bung Hatta), beberapa waktu setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo ( dari PNI) yang menggantikan
Kabinet Natsir.

Saat berkunjung ke Aceh pada tahun 1948, Soekarno mengucapkan janjinya dengan meyakinkan Daud Beureueh. Dimana cerita sumpah Soekarno dihadapan Teungku Muhammad Daud Beureueh itu adalah:

"Teungku Daud Beureueh pernah menyatakan: "Lebih setahun sesudah proklamasi kemerdekaan, pada waktu tentara Belanda dan Sekutu sedang melancarkan serangan secara besar-besaran, dimana para pemuda kita sudah ribuan bergelimpangan gugur di medan perang, datanglah Sukarno ke Aceh...Dia datang menjumpai saya menerangkan peristiwa-peristiwa dan perkembangan revolusi." 
Dalam pertemuan itu saya tanya Sukarno: "Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini?". 
Pada waktu inilah Sukarno berikrar: "Kakak! Saya adalah seorang Islam. Sekarang kebetulan ditakdirkan Tuhan menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama yang baru kita proklamasikan. Sebagai seorang Islam, saya berjanji dan berikrar bahwa saya sebagai seorang presiden akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana. Saya mohon kepada kakak, demi untuk Islam, demi untuk bangsa kita seluruhnya, marilah kita kerahkan seluruh kekuatan kita untuk mempertahankan kemerdekaan ini".  
( Baca: S.S. Djuangga Batubara, Buku; Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, 1987, hal. 76-77)


Ternyata akhirnya, ikrar Soekarno itu untuk: "akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana" hanyalah tipu muslihat saja. Sehingga Teungku Muhammad Dawud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 20 September 1953, yang sebagian isinya menyatakan bahwa;

"Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam."

***

Sumber Referensi : 
  • Teungku Chik Muhammad Daud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, S.S Djuangga Batubara.
  • Disadur dari berbagai sumber dan fakta sejarah.

Selasa, 20 Maret 2012

Orang-Orang Terkaya di Dunia pada Jaman Dahulu


1. John D. Rockefeller



• Umur pada saat penghasilan tertinggi: 74
• Umur pada saat meninggal: 97 (died May 23, 1937)
• Kekayaan Bersih: ▬ 329.9 Billion $USD
• Kekayaan Bersih Sesungguhnya: US$1 Billion (September 29 1916), US$900.0 Million (1913-eve of WWI)
• Negara Asal: United States
• Sumber Kekayaan: Standard Oil
• Other Achievements: First Billionaire (Globally-USD) and The Rockefeller Foundation (Created:1913)

2. Andrew Carnegie



• Umur pada saat penghasilan tertinggi: 68
• Umur pada saat meninggal: 83 (died August 11, 1919)
• Kekayaan Bersih: ▬ 309.2 Billion $USD
• Kekayaan Bersih Sesungguhnya: 479.9 Million $USD (1901)
• Negara Asal: Scotland lalu pindah ke United States
• Peusahaan: U.S. Steel

3. Tsar Nicholas II of Russia (Nikolai Alexandrovich Romanov)



• Umur pada saat penghasilan tertinggi: 50
• Umur pada saat meninggal: 50 (died July 17, 1918)
• Kekayaan Bersih: ▬ 290.7 Billion $USD
• Kekayaan Bersih Sesungguhnya: 1.3 Billion $USD (1916)
• Negara Asal: Empire of Russia
• Perusahaan: Monarchy - the Caesar (Emperor) and Autocrat of the Russian Empire (from the House of Romanov).

4. William Henry Vanderbilt



• Umur pada saat penghasilan tertinggi: 64
• Umur pada saat meninggal: 64 (died December 8, 1885)
• Kekayaan Bersih: ▬ 240.0 Billion $USD
• Kekayaan Bersih Sesungguhnya: 194 Million $USD (1885)
• Negara Asal: United States
• Peusahaan: Chicago, Burlington and Quincy Railroad and other railway companies.

5. Osman Ali Khan, Asaf Jah VII



• Umur pada saat penghasilan tertinggi: 50
• Umur pada saat meninggal: 80 (died February 24, 1967)
• Kekayaan Bersih: ▬ 225.1 Billion $USD
• Kekayaan Bersih Sesungguhnya: 1.4 Billion $USD (1937)
• Negara Asal: Hyderabad, India
• Peusahaan: Monarchy - Nizam of Hyderabad






Sumber

Jumat, 16 Maret 2012

5 Orang Yang Luar Biasa



Kekurangan : Buta dan Tuli
Helen Adamns Keller adalah seorang penulis, aktivis politik dan pengajar asal Amerika. Ia a=juga orang buta tuli pertama yang berhasil menyelesaikan kuliah seni, berkat jasa gurunya,
Annie Sullivan yang berhasil mengajarkan Helen cara berkomunikasi tanpa bahasa. Ia mengajarkan Helen untuk berkomunikasi dengan mengeja huruf pada tangannya, dimulai dari huruf D-O-L-L untuk boneka yang diberikan oleh Sullivan untuk Helen pada hari ulangtahunnya. Helen juga ikut aktif mengkampanyekan hak wanita untuk memilih di pemilu, hak buruh, dan sosialisme. Pada tahun 1920, ia membantu pendirian American Civil Liberties Union (ACLU). Keller telah bertemu semua presiden amerika sejak Grover Cleveland sampai Lyndon B. Johnson. Ia juga merupakan teman baik dari beberapa figur kenamaan termasuk Alexander Graham Bell, Charlie Chaplin, dan Mark Twa

2. Stephen Hawking


Kekurangan : Penyakit Motor Neuron
Stephen William Hawking adalah seorang ilmuwan fisika ternama asal Inggris. Buku-buku dan penampilan publiknya telah menjadikannya selebriti akademis. pada tahun 2009 ia juga mendapatkan Medali presidensial atas kebebasan, Penghargaan sipil tertinggi di USA. Saat masih menempuh pendidikan di Cambridge, Stephen Hawking terjatuh dari tangga yang kelak akan membuatnya menderita penyakit motor neuron yang membuatnya lumpuh. Ia lebih takut kehilangan kejeniusannya sehingga ia lebih dahulu memeriksakan intelektualnya lewat Mensa test. Diagnosis penyakit syarafnya diketahui saat umurnya mencapai 21 tahun, dimana ia mulai kehilangan kontrol atas tangan dan kakinya, sampai akhirnya ia lumpuh total pada tahun 2009.

3. Jean-Dominique Bauby


Kekurangan : Locked - In Syndrome
Jean - Do adalah seorang Editor, penulis dan jurnalis kenamaan dari majalah Prancis ELLE. Pada tahun 1995, ia menderita serangan jantung yang sangat parah dan mengakibatkan ia jatuh ke dalam koma selama 20 hari. Setelah bangun dari koma, Ia mendapatkan dirinya menderita sebuah sindrom syaraf yang sangat langka bernama Locked In Syndrome. Sindrom ini membuat si penderita lumpuh dari ujung kepala hingga ujung kaki, namun tetap memiliki pikiran yang sadar. Dalam kasus ini, Jean-Do tetap dapat mengedipkan matanya

Mengabaikan kondisinya, Jean-Do tetap mampu menulis sebuah bukua berjudul Diving Bell and the Butterfly dengan cara Mengedipkan matanya ketika penulis yang membantunya menunjuk huruf yang benar. Jean-Do harus mengedit dan mengarang buku tsb sepenuhnya dalam kepalanya, huruf demi huruf. Jean-Do meninggal 2 hari kemudian setelah buku tsb di rilis.

4. John Nash


Kekurangan: Schizophrenia (kelainan otak yang kronis, parah dan membuatnya tidak berfungsi)

John Forbes Nash adalah seorang Ilmuwan matematik Amerika. Pada masa kecilnya, ia sangat tertarik pada sains sehingga mencoba berbagai percobaan kecil di kamar tidurnya. Ia kemudian mempelajari Indusri kimia dan Matematika pada Carnegie Mellon Univeristy. Pada tahun 1959, ia mulai menunjukkan perilaku aneh menyerupai paranoia. Ia mempercayai bahwa ada organisasi yang sedang mengincarnya. Kemudian ia dimasukkan ke sebuah rumah kejiwaan dimana ia di diagnosa menderita schizophrenia. Karya-karya dan sumbangsihnya mendapat banyak penghargaan, termasuk beberapa penghargaan elit berupa John von Neumann Theory Prize in the year 1978 dan Nobel Memorial Prize in Economic Sciences pada tahun 1994. Sebuah film Academy Award yang berjudul "A Beautiful Mind" dengan pemeran Russel Crowe memiliki cerita yang berdasar pada Biografinya.

5. Christy Brown

Kekurangan = Cerebral Palsy
Christy Brown adalah seorang Pengarang, Pelukis, dan penyair asal Irlandia yang menderita Cerebral Palsy, yang membuatnya tidak dapat bergerak dan berbicara secara normal. Para dokter juga menyatakan bahwa dia juga memiliki keterbelakangan mental. Namun ibunya tetap mencoba berbicara dengannya, mengajarkannya berbagai hal. Pada suatu hari ia menyambar sepotong kapur dari tangan kakaknya dengan kaki kirinya dan membuat tanda dengan kapur itu.
Sampai umur 5 tahun hanya kaki kirinya yang bisa bergerak sesuai keinginnannya. Ia menggunakan kaki ini untuk berkomunikasi, yang nantinya ia jadikan judul otobiografinya, "My Left Foot