Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 April 2012

Samudra Pasai : “Cinta dan Pengkhianatan”


Dengan suara yang masih menahan amarah, Malikuddhahir II kembali berkata, “Katakan kepada Gajah Mada, Malikuddhahir II tidak mau menerima surat perintahnya. Tanah Jawa tidak akan pernah bisa menundukkan Samudera Pasai!”

Di remang subuh yang dingin, di Tahun 1350 yang menentukan, embun pagi di perbatasan Pasai telah pergi bersama jejak langkah kaki yang membawanya berlari.

Pasukan Pasai telah bergerak menuju perkemahan Majapahit. Tombak dan pedang diacungkan. Pasukan berkuda dan gajah melangkah pelan menyembunyikan derapnya pada keheningan pagi.

Saat mata masih menyipit dari bangun tidur, dan penjaga telah lelah menunggu malam agar cepat berlalu, pasukan Majapahit seperti pencuri yang disergap dari persembunyiannya begitu menyadari tiba-tiba saja Pasukan Pasai telah mengepung perkemahan mereka.

Mereka terkesiap. Perkemahan langsung gaduh.

Tetapi terlambat untuk bergerak. Karena seluruh senjata yang berada ditangan pasukan Pasai telah diacungkan ke depan. Tubuh-tubuh pasukan Majapahit yang tidak berbaju itu menggigil bukan karena dingin. Tetapi karena rasa cemas dan takut menyelimuti raga yang bila sedikit saja mereka salah bertindak, ujung tombok atau tebasan pedang mungkin akan melukai badan yang menghantarkannya pada usainya hembusan nafas.

Khaidar mengacungkan pedangnya ke leher Panglima tersebut. Sang Panglima pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak mau gegabah. Pasukannya sudah terkepung oleh pasukan Pasai. Tidak ada yang bisa ia katakan selain hanya diam dan menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

Di antara remang pagi yang disambut matahari, cahaya besi dari pedang Khaidar memantulkan cahaya. Hasil polesan tangan terampil pengrajin pedang Pasai itu membuat Panglima Majapahit mendenguskan nafasnya penuh kegelisahan. Degup dadanya bergetar.

Khaidar memandang kegelisahan Panglima Majapahit dengan sorot mata yang siap menerkam. “Tolong kalian camkan. Tidak ada alasan apapun bagi Majapahit datang ke Pasai dengan ambisi yang sangat memalukan dan tidak terhormat. 

Aku, Khaidar, putra Pasai dari Malikuddhahir akan sangat kejam bagi siapa pun yang mau melecehkan Pasai. Kini, nasib kalian ada di ujung pedangku. Tetapi aku tidak ingin menjadi pecundang seperti kalian. Aku sangat menghormati jiwa kesatria kalian. Ketimbang kalian kembali ke Majapahit dengan tangan kosong karena kekalahan, lebih baik anda bertarung denganku satu lawan satu. 

Kalau anda kalah, aku antarkan kalian ke dermaga untuk kembali ke Majapahit dengan jaminan keselamatan, tetapi kalau aku kalah, kita kembali lagi bertempur di medan perang hingga tetes darah penghabisan.”

***

Mereka adalah tiga generasi, berjuang untuk negeri yang sama, dengan kisah berbeda. Malikussaleh, sang pendiri yang penuh charisma, yang pergi ketika semua rakyat sampai pada puncak cinta terhadap sang raja. Malikuddhahir, terperangkap dalam bara dendam musuh lama, yang nyaris memicu perang saudara yang penuh darah. Malikuddhahir II, terjebak dalam cinta tak sampai, yang membawa pergi jauh dirinya untuk mengobati luka hatinya, namun kemudian kembali menjadi sosok yang gagah perwira.

Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama yang ada di bumi Nusantara. Kerajaan yang makmur dan berdaulat, dengan raja yang adil dan bijaksana. Tapi semua itu berada di ujung tanduk. Samudera Pasai terancam hancur di tangan keserakahan Gajah Mada.


***

(Novel ini dapat dibeli di toko buku gramedia, kharisma dan gunung agung di seluruh indonesia)

Minggu, 25 Maret 2012

Kisah Polisi Yang Digoda Kuntilanak


Depok | Patroli polisi tengah malam penuh risiko. Bisa-bisa dikeroyok oleh kawanan bandit seperti kasus di Tambun, Bekasi, atau malah digoda kuntilanak seperti yang menimpa dua anggota Reskrim Polsek Bojonggede, Polresta Kota Depok, Aiptu Joko dan Brigadir Iwan. Terserah Anda, percaya atau tidak.

Kisah ini bermula saat kedua polisi itu melintasi kawasan sepi pukul 00.00 WIB, Jumat (23/3/2012). Dengan mengendarai motor, mereka sedang mencari tersangka curanmor di Kampung Bilabong, Jalan Raya Tanjong, Bojonggede, Kabupaten Bogor. Tetapi bukannya penjahat yang ditemui, namun malah makhluk dari 'dunia lain' yang sedang duduk di bawah rerimbunan pohon.

Daerah yang berjarak sekitar 2 km dari Mapolsek memang dikenal sepi. Lepas pukul 21.00 WIB nyaris tak ada penggunan jalan yang melewati kawasan tersebut karena terpencil yang dipenuhi oleh perkebunan pohon rambung untuk bahan dasar karet

.
"Saya mendapat cerita dari anak buah saya, Joko sama temannya diikuti kuntilanak ketika sedang patroli dinihari," ujar Kapolsek Bojonggede AKP Bambang Irianto di Mapolsek Bojonggede, Jalan Raya Tonjong, Minggu (25/3/2012).
"Awalnya kuntilanak tersebut duduk di bawah pohon, kemudian terbang dari pohoh ke pohon sembari mengeluarkan suara ringkikan menyeramkan. Anggota sempat mengacungkan pistol, tapi apa gunanya, malah diketawain," tutur Irianto menirukan cerita Joko.

Tak ada cara lain yang dilakukan kedua anggota selain berdoa dan menguatkan mental supaya tidak kalah dengan godaan lelembut itu.

Seluruh polsek di jajaran Polresta Kota Depok memang diperintahkan Kapolresta Kota Depok Kombes Pol Mulyadi Kaharni untuk lebih giat melakukan patroli tengah malam sampai dini hari. Alasannya, tindak kejahatan kerap terjadi di waktu-waktu tersebu. Nah, ada kalanya, bukan penjahat yang ditemui, melainkan godaan makhluk halus seperti yang menimpa Aiptu Joko dan Brigadir Iwan. 


Selasa, 20 Maret 2012

Kehebatan Pasukan Kavaleri Islam


Tentara Islam dikenal memiliki pasukan berkuda yang sangat hebat. Di era kejayaan Islam, kekuatan para prajurit Islam benar-benar tertumpu pada keahlian berkuda dan memanah. Sejarah peradaban Islam mencatat, kehebatan pasukan berkuda Islam telah menjadi kunci kemenangan dalam berbagai pertempuran penting.
Pasukan berkuda biasa disebut kavaleri, yang berasal dari bahasa Latin caballus dan bahasa
Prancis chevalier yang berarti “pasukan berkuda”. Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History, mengungkapkan, sebelum Islam berkembang, peradaban lain, seperti Bizantium telah memiliki pasukan kavaleri yang tangguh.
Menurut al-Hassan, pada abad pertama Hijriah (ke-7 M) kavaleri telah menjadi kekuatan utama militer Bizantium. Pasukan kavaleri yang tangguh juga telah dimiliki bangsa Persia, jauh sebelum Islam berkembang. Ksatria berkuda Iran, Asawira , tutur al-Hassan, merupakan pasukan yang mampu menurunkan kekuatan kavaleri yang lebih besar ke medan perang daripada bangsa Arab.
“Karena pada masa awal perkembangan Islam, jumlah pasukan berkuda dalam ketentaraan masih sedikit, khususnya sebelum penaklukan Makkah,” papar al-Hassan dan Hill. Tioe medan yang datar dan terbuka, ungkap al-Hassan, sangat cocok untuk kavaleri. Namun, bangsa-bangsa Arab, menghindari medan perang seperti itu.

Menurut al-Hassan, militer Islam mulai membentuk pasukan berkuda atau kavaleri pada zaman Khilafah Rasyidah. Adalah Khalifah Umar bin Khattab (berkuasa pada tahun 31-41 H) yang berupaya untuk mengumpulkan kuda bagi tujuan milter dari berbagai daerah. “Hasilnya, terdapat sekitar 4.000 ekor kuda di Kufah. Setelah itu, sedikit demi sedikit strategi kemiliteran Islam berubah, ” ungkap al-Hassan.
Pada awalnya, pasukan kavaleri Islam tak terlalu dominan. Berbekal tombak dan pedang, pasukan tentara berkuda Islam memaikan peranan penting untuk menyerang panggul dan pantat musuh. Perlahan namun pasti, kekuatan kavaleri yang dimiliki militer Muslim semakin bertambah besar dan kuat. Pasukan kavaleri tercatat menjadi kunci kemenangan tentara Islam dalam perang Yarmuk.
Pertempuran Yarmuk merupakan perang antara tentara Muslim dengan Kekaisaran Romawi Timur pada 636 M. Sejumlah sejarawan menyatakan, Perang Yarmuk sebagai salah satu pertempuran penting dalam sejarah dunia, menandakan gelombang besar pertama penaklukan Muslim di luar Arab, dan cepat masuknya Islam ke Palestina, Suriah, dan Mesopotamia yang rakyatnya menganut agama Kristen.
Pertempuran ini merupakan salah satu kemenangan Khalid bin Walid yang paling gemilang, dan memperkuat reputasinya sebagai salah satu komandan militer dan kavaleri paling brilian di zaman Pertengahan. Pertempuran ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, khilafah Rasyidah kedua. Pertempuran ini terjadi empat tahun setelah Nabi Muhammad meninggal pada 632.
Ketika ‘Amr bin Al-’Ash menaklukan Mesir pada tahun 37-39 H/ 658-660 M, komposisi kekuatannya militer Islam telah berubah dari infanteri menjadi pasukan berkuda. Kehebatan pasukan kavaleri Muslim, sekali lagi terbukti dalam Pertempuran Sungai Talas pada 751 M antara Kekhalifahan Rasyidah dengan Dinasti Tang dari Cina. Bermodalkan pasukan kavalery yang tangguh tentara Muslim berhasil meraih kemenangan.
Kemenangan itu membuat Islam menguasai wilayah Asia Tengah dan mulai menyebar luas di negeri Tirai Bambu itu. Pasukan kavaleri Islam juga kerap mendapat bantuan dri pasukan lain, misalnya ketika pasukan berkuda Iran, Asawira bergabung dengan pasukan Islam dalam penaklukan Khuzistan di bawah pimpinan Abu Musa pada tahun 17-21 H/638-642 M.
“Ini hanya salah satu contoh dramatik penyatuan pasukan non-Arab ke dalam angkatan bersenjata Muslim,” kata Al-Hassan dan Hill. Kala itu, pasukan Islam juga merekrut orang-orang Khurasan, Barbar dan Turki. Mereka tetap membawa gaya bertempur dan berkuda khas masing-masing. Sehingga tak bisa dipaparkan satu gaya khas kavaleri dalam satu pertempuran.
Kekuatan pasukan kavaleri Islam kian bertambah kuat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk pada abad ke-6 H dan ke-7 H (ke-12 M dan ke-13 M), periode kritis dalam sejarah Islam. Mamluk atau Mameluk berarti tentara budak yang telah memeluk Islam. Mereka berdinas untuk kekhalifahan Islam dan Kesultanan Ayyubiyah pada abad pertengahan.
Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. Pasukan Mamluk pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah pada abad ke-9 M. Kala itu, Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam.
Menurut al-Hassan, setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.
Saat itu, pasukan berkuda tersebut juga dilatih menggunakan sejumlah senjata. Senjata pasukan berkuda (faris) Mamluk terdiri dari pedang, tombak, panah, perisai dan tongkat kebesaran. Tongkat kebesaran terbuat dari besi atau baja dengan ujungnya berbentuk kubus, diletakkan di bawah sanggurdi, sementara tombak di pegang dengan satu atau kedua tangan, bukan “diluncurkan” atau direndahkan untuk menyerang seperti halnya di barat, tetapi digunakan untuk berkelahi di atas kuda,” jelas Al-Hassan dan Hill.
Faris Mamluk ini melakukan latihan di Tiqab (tunggal:tabaqqa), yakni nama yang diberikan untuk barak-barak di benteng Kairo yang dijadikan akademi militer. Pelatihan ini dimulai ketika pasukan Mamluk mencapai Puncak kejayaannya. Latihan dilakukan secara komprehensif dan dengan disiplin yang ketat. Bahkan, kala itu mereka tak takut mengeluarkan biaya pendidikan kemahiran berkuda hingga seorang prajurit mampu untuk menunggang kuda tanpa pelana maupun dengan pelana, lari meligas, mengderap dan mencongklang, mendatar ataupun melompat. “Dia (faris-red) juga harus mengetahui cara merawat kuda ketika sakit,” kata Al-Hssan dan Hill.
Selain itu, pasukan berkuda yang mengikuti latihan berkuda, harus bisa menggunakan kuda sambil memanah dan menggunakan tombak. Saat itu, seorang faris harus mampu menyerang target dari berbagai sudut dan pada kecepatan berbeda-beda menggunakan kedua senjata itu. Pasukan Mamluk juga sangat terlatih untuk menggunakan pedang dengan cara yang sama. Metode-metode ini teruji keberhasilannya dengan kemenangan Mamluk atas pasukan Perang Salib dan mongol.
Kehebatan pasukan berkuda Islam juga terlihat saat pasukan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fath merebut Konstatinopel pada abad 14 M. Mereka sebelumnya harus berenang mengarungi Selat Bospurus (karena laju kapal dihadang oleh armada Romawi Byzantium di sepanjang pantai), setelah itu naik kuda untuk mengobrak-abrik pasukan musuh dengan serangan panah bertubi-tubi.Begitulah, kisah kejayaan pasukan berkuda tentara Muslim.

Sumber

Jumat, 16 Maret 2012

Kisah Kelam Lorong Bawah Tanah Cu Chi, Vietnam

Terowongan bawah tanah di desa Cu Chi kini lebih dikenal sebgai tempat wisata sejarah yang menarik dan menantang. Namun, lorong bawah tanah yang menjadi basis perjuangan milisi Vietcong dalam perang melawan Amerika Serikat (1959-1975) menyimpan sejumlah cerita kelam.


“Banyak turis yang lebih mengagumi kisah heroik para pejuang Vietcong bersama dengan pasukan Vietnam dalam berperang melawan Prancis dan Amerika yang membantu Vietnam Selatan. Namun, ada sejumlah kenangan pahit dan penderitaan yang dirasakan sekitar 10 ribu pejuang dan warga yang harus berpuluh tahun tinggal di lorong sempit dan gelap,” kata Nhi Nguyen, seorang pemandu wisata di Kota Ho Chi Minh.



Satu kisah yang menyayat adalah pengorbanan seorang ibu bermarga Le yang terpaksa membunuh seorang anaknya yang baru lahir demi menyelamatkan nasib banyak orang di lorong bawah tanah. Nhi tidak tahu persis kapan kisah ini terjadi, tetapi peristiwa itu berlangsung saat Vietnam berperang melawan Amerika.
.


Zaman perang, pemerintah meminta perempuan tidak berhubungan intim dengan pasangannya selama tinggal di terowongan. Namun, seorang perempuan simpatisan Vietcong waktu itu ternyata sudah mengandung,” kata Nhi saat mengantar para turis asal Indonesia dari Kota Ho Chi Minh (populer disebut Saigon) menuju terowongan di desa Cu Chi, yang memakan waktu tempuh lebih dari dua jam.

“Ibu itu terpaksa melahirkan di ruang bawah tanah. Namun, selayaknya bayi yang baru lahir, anak malang itu menangis kencang. Ini sangat berbahaya,” kata Nhi.

“Padahal tangis bayi itu bisa terdengar di atas permukaan tanah. Ini berisiko membuat pasukan Amerika mengetahui dan menyerang terowongan,” lanjut guide yang cukup lancar berbahasa Indonesia itu.

Maka tidak ada cara lain bagi Ibu tersebut untuk menghentikan tangis anaknya selain membunuhnya. “Hidung bayi itu terus dia bekap sampai putranya tak bergerak lagi,” ujar Nhi.

Bagi para komandan dan pejuang Vietcong, langkah ibu Le merupakan tindakan heroik karena bisa menyelamatkan banyak jiwa dari serangan bom artileri dan pesawat tempur Amerika ke terowongan Cu Chi. Namun, perempuan itu menjadi sangat terpukul dan akibatnya fatal.

“Dia merasa sangat kehilangan atas kepergian putranya yang terpaksa dibunuh. Maka, setelah Vietnam bersatu dan merdeka pada 1975, ibu itu jiwanya terganggu lalu bunuh diri,” kata Nhi yang terbawa oleh kisah itu hingga sempat berurai air mata.

Bosnya, Hung Tran, mengungkapkan bahwa kisah itu kini selalu diutarakan para pemandu wisata setiap kali mereka mengantar para turis ke terowongan Cu Chi.


Masih banyak lagi kisah yang menggambarkan pengorbanan para warga bawah tanah. Banyak di antara mereka yang mati akibat sanitasi buruk dan wabah penyakit. Belum lagi, terkena gigitan binatang dan serangga beracun yang hidup di bawah tanah,” kata Hung.
Quote:
Selain itu, para warga juga terpaksa menggali terowongan baru yang lebih dalam untuk mencari sumber mata air. “Tindakan itu terpaksa mereka lakukan setelah Amerika merusak sungai Saigon dengan bom Napalm yang mencemari air,” kata Hung.


Sumber

Senin, 20 Februari 2012

Bertahan Hidup Meski 2 Bulan Terkubur Salju


Seorang warga Swedia ditemukan setelah terkurung di dalam mobil yang terkubur salju selama dua bulan. Dia bertahan hidup hanya dengang mengonsumsi salju.
STOCKHOLM - Seorang pria Swedia ditemukan dalam keadaan hidup meskipun sudah terkurung di dalam sebuah mobil yang terkubur salju selama dua bulan. Selama itu dia mencoba bertahan hidup dengan makan salju sejak 19 Desember 2011 lalu. 

Lelaki 45 tahun itu terjebak di dekat kota Umea di wilayah selatan Swedia dua bulan lalu. Saat itu dia tengah mengendarai mobilnya di luar jalur utama menuju hutan ketika mobilnya mogok. Pada Jumat (17/2/2012), mobil yang terkubur salju itu ditemukan oleh pengendara mobil yang kebetulan melewati jalan tersebut. Begitu melihat ada orang di dalamnya, pengendara itu menghubungi polisi dan tim medis. 

Para pakar berpendapat lelaki itu mengalami kondisi semacam hibernasi di mana metabolismenya melambat. Kondisinya itulah yang menyelamatkan jiwanya. "Dia bertahan hidup seperti beruang yang mengalami hibernasi. Manusia juga bisa melakukannya," kata Dr Stefan Branth, seperti dilaporkan Reuters.

"Suhu tubuhnya kemungkinan sekitar 31 derajat Celcius. Karena temperatur yang rendah itu, tidak banyak energi yang digunakan," lanjut Branth.

Polisi belum mengetahui pasti apa yang dialami lelaki itu sehingga dia berada di tempat itu dan terkubur salju. "Dia mengaku tidak makan sejak Desember, jadi kami memperkirakan dia berada di situ sekitar bulan itu, atau bahkan mungkin lebih awal, sekitar November. Beruntung sekali dia bertahan hidup," kata polisi bernama Ebbe Nyberg kepada AFP.

Polisi tidak mengungkap identitas lelaki yang awalnya dikira pecinta alam itu yang terjebak badai salju. Namun sejumlah fakta baru menunjukkan bahwa lelaki itu mengalami depresi dan terlibat utang. Dari situ muncul dugaan lelaki itu mencoba bunuh diri.

Lelaki asal Orebro, Swedia, itu diketahui terlibat kasus hukum terkait utangnya yang mencapai 150.000 euro. Sementara menurut para tetangganya, dia baru putus dengan kekasihnya dan kehilangan kontak dengan ayah dan kerabat lainnya sejak 20 tahun lalu.

"Kami harus menunggu sampai dia sembuh untuk mengetahui yang ada di benaknya," kata Nyberg.

"Kondisinya sangat buruk saat ditemukan. Dia tidak bisa berbicara, hanya kata-kata seperti salju, makan," kata Nyberg. Ditambahkannya, korban mengaku tidak makan apapun kecuali salju sejak Desember. 

Benda-benda lain yang ditemukan di dalam mobil itu adalah rokok dan buku komik. "Sungguh mengagumkan dia masih hidup, mengingat dia tidak makan sama sekali. Selain itu temperatur di luar sangat dingin apalagi setelah Hari Natal," kata seorang petugas medis yang menolongnya.

Saat ditemukan lelaki itu dalam kondisi sangat lemah. Dia mengalami hipotermia dan kekurangan gizi. "Mungkin dia hanya bisa bertahan sehari atau dua hari lagi kalau tidak segera ditemukan," kata polisi.

Selain kantung tidur tidak ada lagi sumber penghangat di dalam mobil. Bahan bakar mobil itu sudah habis sejak lama karena dia terus menyalakan pemanas pada hari-hari awal dia terjebak. Ketika itu suhunya mencapai minus 30 derajat Celcius.

Inilah Muslim Penyelamat Yahudi dari Kekejaman NAZI


Abdol-Hossein Sardari, kedua dari kanan. COURTESY OF FARIBORZ MOKHTARI

*Sardari mempertaruhkan apapun demi menyelamatkan warga Yahudi


Banyak orang tak asing dengan nama Oskar Schindler, seorang pengusaha Jerman yang mau bersusah payah menyelamatkan para buruh Yahudinya dari kekejaman Nazi Jerman.

Namun, mungkin hanya sedikit yang pernah mendengar nama Abdol-Hossein Sardari -- seorang muslim asal Iran yang melakukan hal yang sama. Atas nama kemanusiaan.

Sardari, seorang diplomat Iran di Paris pada masa perang, mempertaruhkan segalanya, demi menyelamatkan nyawa ribuan Yahudi Iran. Sepak terjangnya dikisahkan dalam buku "The Lion's Shadow" karya Fariborz Mokhtari.

Seperti dimuat kantor berita BBC, Rabu 21 Desember 2011, apa yang dilakukan Sardari membuat ribuan Yahudi Iran dan keturunannya berutang nyawa.

Salah satunya, Eliane Senahi Conahim, yang baru berusia tujuh tahun saat ia melarikan diri dari Prancis bersama keluarganya -- ayahnya, George Senahi adalah pedagang tekstil kaya yang punya rumah besar di Montmorency, sekitar 25 kilometer dari ibukota Prancis, Paris.

Saat invasi Nazi, keluarga Senahi berniat melarikan diri ke Teheran, usaha yang gagal. Mereka akhirnya bersembunyi di sebuah pedesaan di Prancis, sebelum akhirnya terpaksa pergi ke Paris -- yang berada dalam cengkeraman penuh Gestapo -- tentara Nazi.

Abdol-Hossein Sardari, Iranian diplomat in 1940
"Saya ingat cara mereka berjalan dengan bot hitam. Hanya dengan melihat mereka saja sudah bisa membuat anak kecil seperti aku dulu, merinding," kata Conahim, dari rumahnya di California.

Seperti halnya warga Yahudi Iran di Prancis lainnya, mereka meminta bantuan misi diplomat Iran di Prancis. Conahim ingat, ayahnya selalu menceritakan, berkat Sardari, keluarganya bisa selamat.

Sardari memberikan keluarga Senahi paspor dan segala dokumen perjalanan yang dibutuhkan supaya bisa melewati Eropa dengan aman. "Setiap mencapai perbatasan, ayah saya selalu gemetaran. Namun ia adalah pria tangguh yang berhasil meyakinkan kami bahwa semua akan baik-baik saja," kenang Conahim, yang menyebut Sardari sebagai "Oskar Schindler bagi Yahudi Iran".

Dalam bukunya, Fariborz Mokhtari menggambarf Sardari sebagai sosok bujangan yang tahu cara bersenang-senang -- lalu tiba-tiba menemukan dirinya sebagai orang penting dalam misi diplomatik Iran, di awal Perang Dunia II.

Meski bersikap Netral, Iran punya hubungan baik dengan Jerman kala itu, apalagi setelah mesin propaganda Nazi mendeklarasikan Iran juga sebagai bangsa Arya. Kendati demikian, Yahudi Iran juga terancam.

Dengan pengaruh diplomatik serta para kenalannya di Jerman, Sardari berhasil meloloskan lebih dari 2.000 Yahudi Iran dari hukum keras Nazi dengan argumen, mereka tidak memiliki hubungan darah dengan Yahudi Eropa.

Ia membantu warga Iran, termasuk yang Yahudi kembali ke Teheran dengan cara mengeluarkan pasor jenis baru yang memungkinkan mereka bepergian melintasi Eropa -- ini terkait kebijakan rezim baru Iran pada 1925 yang mengenalkan paspor dan kartu identitas baru -- yang jelas tak dimiliki warga Iran yang tinggal di Eropa atau yang menikah dengan orang non-Iran, termasuk anak-anak dari perkawinan campuran.

Aktivitas Sardari tak surut meski pada September 1941 -- saat Inggris dan Rusia menginvasi Iran -- ia diharuskan kembali secepat mungkin.

Namun, Sardari menolaknya. Meski kehilangan status dan kekebalan diplomatik, ia bertahan di Prancis, membantu saudara sebangsanya, termasuk Yahudi Iran -- mempertaruhkan keselamatannya, sampai menguras uang warisannya agar kantornya tetap berjalan.

Paspor kosong yang dikeluarkan Sardari diperkirakan antara 500 sampai 1.000 lembar. Dalam bukunya, Mokhtari mengatakan, satu paspor berlaku untuk dua sampai tiga orang. "Jadi, ia telah menyelamatkan sekitar 2.000 orang."

Sepanjang hayatnya, Sardari selalu menolak penghargaan yang diberikan padanya dan selalu bersikeras bahwa ia hanya melakukan tugas.
Yang menyedihkan, ia meninggal dalam kondisi sebatang kara di tempat tidurnya di Croydon, London di tahun 1981 -- setelah kehilangan pensiunnya sebagai diplomat, juga semua propertinya di Iran pasca revolusi.
Penghargaan atas kerja kemanusiaan Sardari akhirnya diberikan pada 2004 dalam sebuah upacara di Simon Wiesenthal Centre, Los Angeles. Penulis buku, Fariboz Mokhtari, berharap dengan tersebarnya cerita Sardari dan testimoni para Yahudi Iran, miskonsepsi yang ada di Iran akan runtuh.

"Disini ada Muslim Iran melakukan sesuatu yang tak lazim, mempertaruhkan hidupnya, karirnya, propertinya, dan semuanya untuk menyelamatkan saudara sebangsanya," kata Mokhtari.

"Sama sekali tak terbesit dalam benaknya: 'saya Muslim, dia Yahudi' atau semacamnya."

***


Senin, 13 Februari 2012

Sejarah Ninja Hanzo Hattori



Ninja terkenal sebagai “silent assassin” di masa keshogunan Jepang. Pasukan khusus yang terlibat dalam tugas-tugas spionase. Meski tidak menggunakan persenjataan moderen, keahlian dan reputasi mereka tetap dibicarakan hingga kini. Salah satu ninja legendaris yang sering disebut namanya adalah Hanzo Hattori. Pada awalnya saya mengira Hanzo Hattori hanyalah tokoh fiksi dalam sejarah Jepang. Namun saya begitu terkejut saat mengetahui nama Hanzo Hattori bukan sekedar rekaan semata. Yang lebih mengesankan lagi, namanya begitu harum dan sangat dihormati oleh masyarakat Jepang. Figurnya sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah Jepang. Sebagai bukti makamnya saat ini masih terawat dengan baik di kuil Sainen-ji yang terletak di Shinjuku Tokyo.


Di masa lalu ada dua kelompok ninja yang terkenal yaitu ninja dari Iga dan Koga. Daerah Iga di masa lalu sempat melepaskan diri dari kekuasaan para daimyo. Kemudian daerah ini menjadi semacam wilayah yang bebas tidak dikuasai oleh siapapun. Daerah Iga terkenal sebagai tempat asal para ninja yang tangguh. Ninja Iga yang dalam bahasa Jepang disebut Iga-mono, terkenal dengan keahliannya dalam menyusup, bersembunyi, ilmu peledak, ilmu racun dan pengobatan tradisional. Perguruan Iga, atau Iga-ryu terbagi atas tiga kelas ninja, yaitu ninja kelas atas (jounin), ninja kelas menengah (chunnin) dan ninja kelas bawah (gennin). Ninja diperkirakan muncul pertama kali sekitar tahun 1487. Saat itu Shogun Yoshihisa Ashikaga menyerang Takayori Rokkaku yang menjadi daimyo (gubernur) di daerah Omi. Ninja Iga dan Koga bersatu membantu Takayori Rokkaku hingga akhirnya serangan itu berhasil digagalkan.



Hanzo Hattori (1542 – 1596) adalah anak dari Yasunaga Hattori seorang samurai terkenal. Yasunaga Hattori juga kepala dari kelompok Iga. Lahir dan dibesarkan di Propinsi Mikawa, Hattori adalah ninja dari Iga yang paling terkenal. Meski demikian Hattori sering kembali ke Iga untuk mengunjungi keluarganya. Hattori terkenal sebagai orang yang ahli senjata terutama pedang dan tombak. Kepiawaiannya bisa jadi tidak kalah dari samurai legendaris Miyamoto Musashi. Kemasyhurannya telah terdengar dimana-mana. Selain teknik senjata Hattori juga terkenal sebagai ahli strategi yang handal. Kemahiran dan keberaniannya sudah terlihat sejak remaja. Konon Hattori telah menjalani pertarungan pertamanya dalam usia 16 tahun. Hattori juga telah terlibat dalam perang besar di Anegawa (1570) dan Mikatagahara (1572).

Peran terbesar Hattori adalah tahun 1582 saat itu dirinya menunjukkan jalan bagi Ieyasu Tokugawa untuk meloloskan diri dari serangan Oda Nobunaga. Jalan yang ditunjukkan Hattori melewati wilayah Iga dan Koga hingga akhirnya Ieyasu berhasil selamat sampai di Propinsi Mikawa. Oda Nobunaga yang dijuluki sebagai “the evil king of sengoku” akhirnya tewas dalam kerusuhan itu. Menghargai jasa Hattori, Ieyasu yang dikemudian hari menjadi shogun mempekerjakan sekitar 200 ninja Iga menjaga istana di Yotsuya. Para ninja menjaga gerbang yang menjadi kunci masuk ke Yotsuya. Sebagai penghargaan bagi Hattori, salah satu gerbang diberi nama Gerbang Hattori karena kediaman Hattori berdekatan dengan pintu masuk itu. Ketika Yoshimune Tokugawa (1719-1745) berkuasa, ninja dari Iga diberhentikan dan diganti pengawal lokal.

Hanzo Hattori meninggal dalam usia 55 tahun. Ada rumor menyatakan kematian Hattori karena terbunuh dalam suatu pertarungan dengan Kotaro Fuma yang juga seorang ninja dari Koga. Namun hal ini sulit dibuktikan. Setelah kematiannya, Hanzo Hattori diteruskan oleh anak laki-lakinya yang tertua yaitu Masanari Hattori. Peran penting Masanari telah diperhitungkan oleh Ieyasu Tokugawa. Saat itu Ieyasu memasukkannya sebagai komandan pasukan saat Perang Sekigahara tahun 1600. Masanari diberi kepercayaan oleh Ieyasu untuk menjaga Istana Edo. Konon karena tindakan yang kasar pada kelompoknya, Masanari kemudian dicoret dari daftar pasukan oleh Ieyasu. Demi membersihkan nama baiknya dan keluarga Hattori atas tindakan memalukan itu, Masanari kemudian berperang dengan berani di Osaka tahun 1614. Dalam perang itu Masanari terbunuh dan digantikan oleh saudaranya yaitu Masashige Hattori. 

Selasa, 24 Januari 2012

Kisah Anak Papua di Tubuh GAM (Antara Aceh dan Papua)

 "Konflik Aceh telah 7 tahun berakhir. Namun masih banyak kisah haru, heroik, dan sisi-sisi kemanusiaan yang belum terungkap. Salah satunya adalah tentang sosok Abdul Halim (52) alias Bang Yan alias Ayah Papua. Mungkin ia menjadi satu-satunya putra Papua yang berjuang di hutan Aceh. Kini, saat Aceh mulai damai, ia memendam hasrat untuk memberi contoh kepada keluarga dan teman-temannya di tanah Papua, tentang bagaimana berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua, tanpa harus lagi mengorbankan nyawa manusia." 

GAYA bicaranya blak-blakan, logat bahasa Indonesianya masih seperti orang Papua. Jika bukan dari gaya bicaranya, orang tidak menyangka kalau pria berperawakan kecil ini adalah orang Papua asli. Apalagi, rambut kriwil khas Papua, tertutup oleh topi pet berbahan campuran kain dan karet di kepalanya.

"Saya lahir di Manokwari, tanggal 21 Juli 1950, dari keluarga pejuang OPM (Organisasi Pupua Merdeka). Ayah saya, Pieter Bonsapia adalah salah satu pendiri OPM," ujar Abdul Halim alias Ayah Pupua, dalam bincang-bincang dengan Serambi di sebuah warung kopi, di Uleekareng, Banda Aceh, Sabtu (21/1).

Ia menyeruput kopi dalam-dalam. Rokok kretek merek Dunhill nyaris tidak pernah lepas dari celah dua bibirnya. Padahal, asbak di depan kami nyaris sudah penuh dengan puntung rokok miliknya.

Baru setengah jam duduk, dia sudah minta tambah satu gelas kopi lagi kepada pelayan warung. "Kami di Papua biasanya minum kopi dalam gelas besar," kata dia sambil memeragakan ukuran gelas dengan tangannya.

"Bukan 'kopi' dalam botol?" goda temannya yang juga mantan aktivis GAM. "Kadang-kadang juga," sahut Ayah Papua sambil cengar cengir.
Ayah Papua memang sosok yang enak diajak bicara. Meski baru kenal, dia langsung bisa akrab dan bercerita panjang lebar tentang kisah hidupnya. Mulai dari saat SMA di Sorong, hingga kisah-kisah heroik saat harus bergerilya di Aceh masa konflik dulu.
***
Sebagai putra pejuang, Ayah Papua sudah biasa ditinggal pergi oleh ayahnya. "Pada tahun 1974, ayah saya hijrah ke Vanuatu, dan mulai saat itu beliau kerap keluar masuk Papua-Vanuatu melalui jalur ilegal," ungkapnya.

Meski kerap ditinggal pergi ayahnya, tak membuat Abdul Halim tertinggal dari segi pendidikan. Selepas SMA di Sorong (kini Papua Barat), Abdul Halim melanjutkan pendidikannya ke Akademi Ilmu Pelayaran Surabaya. Namun, Halim hanya bertahan selama dua tahun. Ia kemudian memutuskan pindah ke Institut Ilmu Pemerintah (IIP) di Jakarta. Namun, lagi-lagi Halim hanya sanggup bertahan selama dua tahun. "Saya baru mendapat sarjana setelah ambil persamaan di Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang," ujarnya.

Ijazah S-1 dari Politeknik Semarang itu tidak disia-siakannya. Dengan dasar tersebut, Halim melanjutkan kuliah untuk mengambil spesialisasi bidang Well Control di University Austin Texas, Amerika Serikat.
Selepas dari Texas, Abdul Halim alias Ayah Papua, mulai bekerja di Continental Oil Company (Conoco), sebagai tenaga bidang pengeboran minyak lepas pantai. Pekerjaan ini lah yang mengantarnya bersentuhan dengan Aceh. "Tahun 1979, saya menikah dengan gadis Aceh Rosdiana Juned, di
Tapanuli Selatan. Kami kenal di sana (Tapsel)," ujarnya.

Setahun di Tapsel, Abdul Halim dikontrak oleh perusahaan pengeboran minyak Mobil Oil untuk ditugaskan di wilayah Aceh Timur. Di sinilah dia mulai bersentuhan dengan para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Saat itu saya mulai tertarik dengan perjuangan mereka (GAM), tapi saya belum terlibat aktif," ujarnya.

Baru pada tahun 1986, dia mulai mencoba-coba aktif di GAM dengan tugas pertama sebagai petugas di bidang komunikasi (radio). Meski mulai aktif di GAM, Abdul Halim tetap menjalani tugas rutinnya yang pada tahun 1987 menjadi staf pengeboran di perusahaan Medco, subkontrak Mobil Oil di bidang pengeboran.

"Keterlibatan saya di GAM bukan serta merta, melainkan melalui sebuah pemikiran cukup panjang. Akhirnya saya ambil kesimpulan bergabung karena menurut saya ini adalah perjuangan mulia, untuk mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya.

Keputusan Ayah Papua bergabung dengan GAM bukan tanpa konsekwensi, saat pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, Ayah Papua harus meninggalkan pekerjaan yang baru satu tahun digelutinya di Medco.

"Pada tahun 1989 saya hijrah ke Malaysia, dan baru kembali menjelang satu tahun pencabutan status DOM (1998). Setelah status DOM dicabut, kami kembali aktif membangun kekuatan dengan di bawah komando Analfiah Julok.
Sejak itu, berbagai kisah heroik dialaminya. Sebagai pejuang Ayah Papua, jarang berkumpul dengan keluarganya. Kondisi Ayah Papua Cs semakin terjepit saat pemerintah RI menetapkan status Darurat Militer pada tahun 2003.

"Saat itu kami kerap keluar masuk Aceh. Kebanyakan dari kami membuat basis di Kerinci, Jambi. Banyak dari teman-teman kami meninggal di medan perang. Alhamdulillah, saya masih dilindungi, hingga bisa menikmati perdamaian saat ini," ujarnya mengenang.
Dua dari tujuh anaknya (2 perempuan 5 laki-laki), juga aktif di GAM. "Satu orang TNA (tentara GAM) dan satu lainnya sipil," terang dia.

Sabtu, 31 Desember 2011

Kisah Orang-orang Yang Terdampar di Pulau Tak Bertuan


Pernah lihat film- film barat yang menceritakan orang - orang yang bepergian menggunakan kapal laut yang dihempas badai ataupun pesawat terbang yang mogok, kemudian mereka teromabang - ambing di laut sampai mencapai daratan, daratan dari pulau yang tidak dikenal dan tidak berpenghuni ...
Ini bukan hanya fiksi terjadi karena sejarah banyak mencatat peristiwa tentang terdamparnya orang - orang di pulau tak berpenghuni, dan berikut ini 10 kisah nyata yang paling diingat sejarah tentang orang - orang yang terdampar di pulau asing tak bertuan, dan mereka bisa bertahan hidup dalam keganasan alam ..

1. John F. Kennedy and Crew ( 1917 – 1963 )

Bertahan : 6 Hari di Pulau Batu dan Olasana





Pada 1943, John F. Kennedy kala itu masih berusia 26 tahun sebagai nakhoda Kapal PT-109. Dan pada suatu malam kapal perusak Jepang tiba-tiba muncul dan menghancurkan kapal PT-109 yang diawaki para kru JFK, sebanyak 2 orang awak kapal tewas di TKP, sementara yang selamat dan luka – luka terjun ke air dan mengayuh reruntuhan kapal mereka ke sebuah pulau terdekat berjarak 6 km ! dengan hiu dan buaya yang mengancam akhirnya mereka sampai kepulau terdekat setelah menempuh perjalanan selama 5 jam ! dan selama 2 hari mereka tanpa makan dan minum di pulau batu tersebut, lalu dengan gagasan JFK mereka mencari pulau yang lebih besar yang kala itu bernama Olasana dan dapat bertahan hidup dengan memakan buah kelapa. Mereka semua ditemukan oleh para anggota Pramuka setelah 6 Hari !


Fakta Menarik : Pulau tempat awak Kennedy's terdampar telah menjadi daya tarik tersendiri, dan telah diganti namanya menjadi Pulau Kennedy.

2. Leendert Hasenbosch [1695 - 1725]

Bertahan : Sekitar 6 Bulan di pulau Ascension

Adalah seorang tentara belanda yang bekerja pada VOC sebagai penjaga buku/ pustakawan, dia dihukum karena telah menyodomi, (gak tau siapa tuh yg disodominya), dia kemudian dibuang pada 5 Mei 1725 kesebuah pulau yg tak berpenghuni dengan dibekali air untuk jatah 1 bulan ! bibit tanaman, injil, pakaian dan alat menulis. Dipercaya Hasenboch meninggal dengan kondisi yg mengenaskan oleh Pelaut Inggris pada bulan Januari 1726 setelah bertahan selama 6 bulan dengan memakan kura-kura laut, burung laut dan minum air kencing sendiri !

Fakta menarik : Para pelaut Inggris itu menemukan sebuah buku harian, yang kemudian di publikasikan dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris.

3. Marguerite de La Rocque (1523 – ? )

Bertahan : 2 Tahun di pulau Setan

Pada 1542 Penjelajah perancis Jacques Cartier yang memimpin perjalanan ke Newfoundland disertai margrit de la Rocque 19 tahun, dalam perjalanan Margrit menjadi pacar seorang pelaut muda yang berprofesi sebagai Pelayan kapal tersebut. Hal tersebut membuat pamannya marah jaques Cartier yg pelaut juga berdarah Biru kemudian membuang Margarit kesebuah pulau tak berpenghuni di perairan Labrador begitu juga sang pelayan tadi di buang ke pulau lainnya. Kemudian di Pulau tersebut Margarit dikaruniai seorang anak, yang pada akhirnya anak tersebut meninggal karena kekurangan susu, ia hidup di gua dan berburu hewan liar selama 2 tahun sebelum akhirnya di ketemukan oleh nelayan dari Basque atau Spanyol.

Fakta menarik : Kembali ke Perancis setelah diselamatkan dan disambut bak selebriti, Kisah Marguerite ini kemudian di ceritakan kepada ratu perancis saat itu Queen of Navarre pada 1558.

4. Kapten Charles Bernard ( 1781 – 1840 )

Bertahan : 18 Bulan di Pulau Elang





Pada 1812, kapal Inggris Isabella terdampar di Pulau Elang ( Eagle Island ) bagian dari kepulauan Falkland yang di komandani Kapten George Harrington . Kemudian meraka diketemukan oleh kapal nelayan Amerika Nanina yang di komandani Kapten Charles Bernard, namun sang kapten menyadari bahwa mereka butuh banyak bantuan makanan melihat kondisi mereka yang tidak mungkin untuk mencari makanan, kemudian sang kapten bersama 4 orang awaknya pergi untuk mencari makanan di pulau tersebut. Ketika sang Kapten tersebut pergi para awak Inggris itu mengambil alih kapal nanina tersebut dan meninggalkan Kapten Bernard dan awak nya di pulau tersebut !. Beruntung akhirnya mereka semua dapat diselamatkan setelah 18 Bulan ! tepatnya pada bulan November 1814. Photo diatas menunjukan tempat berteduh kapten bernard dan awak kapalnya, dari bentuknya agar kapal yang melintas dapat dengan mudah melihat mereka, tidak mudah juga c, buktinya setelah 18 bulan baru ada yang melihat mereka.


Fakta menarik : Di malam penyelamatan dengan awak Kapal Inggris Isabella tersebut sang Kapten sempat berbincang – bincang dengan mereka dan menceritakan semua asal usul mereka.yang notabene kala itu Amerika sedang berperang dengan Inggris, karena mungkin para awak Inggris tersebut tidak ingin dibawa ke Amerika dan dijadikan Tawanan, pikir mereka mendingan mereka ambil alih kapal Nanina tersebut dan kabur dari pada dibawa ke Amerika, ( seharusnya sang Kapten tidak banyak bicara ).

5. Ada Blackjack ( 1898 – 1983 )
Bertahan : 2 Tahun di Pulau Wrangel

Pada musim gugur 1921 sebuah tim yang terdiri dari lima orang yg dipimpin oleh Vilhjalmur Stefansson, merencanakan untuk mengadakan ekspedisi Arctic tujuannya untuk mengklaim sebuah pulau di kawasan tersebut yang menjadi sengketa antara Kanada dan Inggris dengan nama Wrangel Island sebelah utara Siberia. 23 Tahun cewek Eskimo Ada Blackjack disewa oleh mereka dengan bayaran 50 US$ sebulan sebagai juru masak dan tukang jahit, Ada Blackjack membutuhkan uang tersebut untuk anaknya yang menderita TBC, Rencana mereka berjalan selama 1 tahun sementara perbekalan yang mereka bawa hanya untuk 6 bulan saja.mereka tidak dapat menemukan cukup makanan dan mulai kelaparan sehingga pada Januari 1923 tiga dari mereka mencoba mencari pertolongan. Sementara Ada ditinggal bersama 4 orang laki-laki yang sakit untuk merawat mereka, waktu berlalu dan ketiga orang tersebut tidak pernah kembali ke 4 orang yang ia rawat akhirnya tewas juga . Ada bagaimanapun juga belajar bagaimana untuk bertahan, sampai dia diselamatkan pada bulan Agustus 1923 oleh mantan rekan dari Stefansson's. Uang yang dia peroleh dari ekspedisi itu kemudian ia gunakan untuk membawa anaknya berobat ke Seattle.

Fakta menarik : Ada mendapatkan semua gajinya selama 2 tahun ia ikut ekspedisi tersebut, namun ia tidak mendapatkan sedikitpun keuntungan dari buku yang sangat populer yang diterbitkan oleh orang lain dari kisah perjuangan hidupnya.


Sabtu, 19 November 2011

Sejarah Aceh : Said Abdullah Di Meulek Sang Wazir

Sebagai sekretaris kerajaan, Said Abdullah Di Meulek bertugas menulis dan menyimpan surat-surat penting (sarakata) yang dikeluarkan oleh raja. Sarakata-sarakata tersebut diantaranya seperti sumpah dan khutbah kerajaan dalam menghadapi ancaman penyerangan Belanda. Para ulama, uleebalang dan seluruh rakyat Aceh diserukan untuk berjihat melawan agresi tersebut.
Said Abdullah Di Meulek
Said Abdullah Di Meulek (Ist)

Sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh, terjadi beberapa kali surat menyurat yang meminta agar Kerajaan Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Namun permintaan itu ditolak dengan halus melalui surat-surat balasan dari Sultan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah. Surat-surat itu semuanya ditulis atas instruksi sulthan kepada Said Abdullah Di Meulek.
Seperti surat balasan terhadap surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”
Pernyataan perang pihak Belanda itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga. “…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”
Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” isi surat penolakan itu terkesan lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.
Untuk menghadapi ancaman Belanda itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.
Kala itu Sulan Aceh menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, muasyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh.
Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah. Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. Sumpah tersebut berbunyi:
“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.

Menjadi Wakil Panglima Besar Angkatan Perang

Setelah menggelar rapat kerajaan dan pengambilan sumpah tersebut, Sultan Alaiddin Mahmud Syah menerima laporan dari Kepala Balai Siasat Kerajaan (semacam kepala intelijen negara sekarang) bahwa Belanda sudah dapat dipastikan akan menyerang Aceh.
Mendapat laporan itu, Sultan langsung membentuk kabinet perang yang dipimpin oleh tiga orang. Sultan tetap berindak sebagai kepala pemerintahan, sementara tiga pimpinan kabinet perang yakni Tuanku Hasyim Banta Muda Kadir Syah ditunjuk sebagai Wazirul Harb (Menteri Peperangan) merangkap sebagai panglima besar angkatan perang dengan pangkat Jenderal Tentara Aceh.
Kemudian Tuanku Mahmud Banta Kecil Kadir Syah diangkat sebagai Wazirul Mizan Wazirul Dakhiliyah-Wazirul Kharijiah (Menteri Kehakiman merangkap Menteri dalam dan luar negeri) merangkap Wakil Kepala Pemerintahan.
Sementara satu lagi Said Abdullah Teungku Di Meulek diangkat sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Negara) merangkap Wakil Panglima Besar Angkatan Perang dengan pangkat Letnan Jenderal Tentara Aceh.
Pada Ahad (Minggu) 1 Muharram 1290 H (1873 M) Sultan melantik kabinet perang tersebut. Ketika menteri itu diambil sumpahnya di dalam Mesjid Istana Baiturrahim. Upacara pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Syeh Marhaban bin Haji Lambhuk. Sumpah itu berbunyi.
“Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barang siapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.” Sumpah ini juga dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab.
Setelah selesai pengambilan sumpah, maka kabinet perang mengeluarkan maklumat kepada seluruh Uleebalang dan rakyat Aceh. Maklumat itu disampaikan oleh Wakil Panglima Perang Said Abdulah di Meulek tanggal 1 Muharram 1290 H (1873 M). Maklumat itu berjudul “Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Holanda.”


Sultan menyadari akan bahaya yang ditimbulkan dari ancaman perang oleh Belanda. Ia pun memberi penjelasan tentang hal itu kepada kabinet perang bentukannya. Setelah penjelasan itu diberikan, maka Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan surat perintah yang berisi pemberitahuan kepada uleebalang seluruh Aceh untuk menjaga pantai Aceh dari serangan Belanda, mulai dari Kuala Gigieng dan Ladong, Kampung Pande Meunasah Kandang, Kuta Reuntang, Kuta Aceh, Pante Pirak, Babah Krueng dari Beurawe dan Gunung Kesumba.
“Tiap tempat tersebut jangan tuan-tuan tinggalkan. Kalau tuan tinggalkan tempat tersebut, salah satu tempat itu, maka musuh Holanda senang saja menyerang kita Aceh,” Perintah Sultan Alaiddin Mahmud Syah.
Dalam surat itu Sultan juga meminta kepada rakyat Aceh untuk saling bantu membantu dalam usaha melawan Belanda yang akan menyerang Aceh. “Jangan tuan-tuan berkhianat kepada Agama Islam, durhaka kepada Allah dan Rasul, durhaka kepada kerajaan dan tidak setia kepada neger dan bangsa,” lanjut Sultan dalam suratnya. Sultan juga memerintahkan untuk menghukum mati siapa saja yang memihak atau membantu Belanda (Holanda) dalam usahanya untuk menaklukkan Aceh.
Setelah memastikan bahwa Belanda akan benar-benar menyerang Aceh, maka sultan kembali mengadakan musyawarah besar di Mesjid Baiturrahman yang terletak di tengah-tengah ibu kota kerajaan Aceh. Hadir dalam musyawarah itu para ulama besar seluruh Aceh, para uleebalang, para panglima, para imam, para keuchik raja, keujruen dan pembesar kerajaan lainnya.
Setelah Sultan mejelaskan bahwa kerjaan telah bertekat bulat tidak akan tunduk pada Belanda, maka Wazir Rama Setia/ Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek membacakan sarakata pernyataan perang. Sarakata tersebut bertanggal Kamis 20 Muharram 1290 H (1873 M).
Salah satu bagian isi sara kata tersebut adalah: “…Dan sampaikan amanah hamba kepada seluruh rakyat Aceh, timu barat, tunong baroh, tuha muda, kaya dan miskin hendaklah melawan Holanda, jangan berhenti-henti dengan apa saja, yaitu perkataan, perbuatan, senjata, khusus rakyat Aceh dan umumnya rakyat bawah angin, jangan takut, jangan ngeri. Kita berperang dua menghadap maut, yaitu syahid, kedua menang, ketika tidak ada sekali-kali yaitu kalah dengan menyerah diri kepada Holanda…”
Pada bagian surat lainnya Sultan Aceh kembali meminta dengan tegas agar terus melawan Belanda dan tidak pernah tunduk apalagi menyerah kepada Belanda.
“…Maka itulah wahai sekalian hulubalang Pidie semuanya, dan sekalian hulubalang Pase semuanya, Aceh Timu semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Tengah semuanya dan sekalian hulubalang Aceh Barat semuanya, dan sekalian hulubalang Aceh Selatan semuanya, datok dan keujruen dans ekalian rakyat pada masing-masing tempat daerah tersebut, hendajlah padas ekalian tuan-tuan mengikuti menurut melawan Holanda berganti-ganti sehingga berhenti Holanda musuh kita, tidak lagi duduk di atas bumi negeri Aceh khususnya dan bumi bawah angin umumnya…”
Dengan mengedepankan anjuran agama untuk melawan kafir, rakyat Aceh diajak untuk menyumbangkan harta benda, tenaga dan nyawa untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh. Untuk memberikan contoh pada rakyat, maka para petinggi Kerajaan Aceh terlebih dahulu menyumbangkan hartanya untuk digunakan dalam perang melawan Belanda.
Saat itu, Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, Letnan Jendral Said Abdullah Teungku Di Meulek menyumbang 16 kilogram emas dan 4.700 riyal untuk biaya perang. Sumbangan itu diberikan pada bulan Rabiul Awal 1290 H (1873 M) dan dicatat dalam sarakata risalah sedekah bertulis tangan huruf Arab, yang kemudian menjadi dokumen kerajaan peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh.
Untuk menghadapi ancaman Belanda yang kian nyata menyerang kedaulatan Aceh, Sultan Alaiddin Mahmud Syah bersama kabinet perangnya terus mengadakan berbagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan penyerangan Belanda tersebut.
Sultan mengemukakan ancaman Belanda tersebut kepada Majelis Mahkamah Rakyat yang beranggotakan 73 orang wakil rakyat. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Kanun Meukuta Alam halaman 90-91, naskah lama bertulis tangan dengan huruf Arab.
Dalam dokumen lama kerajaan Aceh disebutkan, ketika pada masa-masa tegang menghadapi ancaman Belanda, Pada Jumat 30 Zulhijjah 1289 (1872) Kerajaan Aceh menggelar sidang istimewa di dalam Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh Darussalam. Sidang istimewa itu disebut sebagai sidang istimewa Balai Majelis Mahkamah Rakyat.
Dalam sidang itu disampaikan khutbah kerajaan yang dibacakan oleh Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam kedudukannya sebagai Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan) dan sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jendral.
Sidang istimewa itu selain dihadiri oleh 73 orang anggota Balai majelis Mahkamah Rakyat juga diundang para uleebalang, para ulama, pimpinan rakyat dan para perwira angkatan perang.
Khutbah kerajaan yang dibacakan Said Abdullah Teungku Di Meulek dalam sidang istimewa itu diantaranya berisi perintah dari keputusan mufakat kerajaan untuk menghadapi Belanda.

Siapa Di Meulek?

Pada masa mudanya, Said Abdullah di Meulek sudah aktif dalam perpolitikan kerajaan Aceh. Pada masa Aceh dipimpin oleh Sulthan Sulaiman Alaiddin Ali Iskandar Syah (1251-1273 Hijriah = 1836-1857 Masehi) ia diperbantukan pada badan Wazir Badlul Muluk (Kementrian Luar Negeri).
Pada tahun 1271 Hijriah (1855 Masehi) ia menjadi anggota delegasi Aceh ke Padang untuk melakukan perundingan dengan Belanda, yang telah mencaplok wilayah Kerajaan Aceh di pesisir barat dan timur Sumatera. Pengalaman di kementrian luar negeri itu kemudian kemudian mengantarnya menjadi salah seorang mentri di kerajaan Aceh.
Pada masa pemerintahan Sulthan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah, ia diangkat menjadi Wazir Rama Setia Keurukon Kitabul Muluk (Menteri Sekretaris Negara). Jabatan itu dipegangnya hingga masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 Hijriah = 1870-1874 Masehi). Kemudian pada masa perang Aceh melawan Belanda ia merangkap jabatan sebagai Wakil Panglima Besar Perang Aceh dengan pangkat Letnan Jendral.
Sebagai Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meulek banyak menulis naskah-naskah penting dari Kerajaan Aceh. Naskah itu disimpan dalam Darul Asar (mesium) Kerajaan Aceh yang terletak di samping Mesjid Baiturrahim dalam Kraton Daruddunia. Mesium itu pada masa perang dengan Belanda dimusnahkan oleh Belanda bersamaan dengan diruntuhkannya istana kerajaan Aceh.
Said Abdullah Di Meulek merupakan keturunan dari Syarif Hasyim Jamalullail Di Meulek, yang merupakan sulthan Aceh pertama dari dinasti Syarif setelah menggantikan dinasti wanita (para sulthanah-red) yang memerintah di Kerjaaan Aceh.
Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” mengungkapkan, kakeknya Said Abdullah Di Meulek tersebut naik tahta menjadi sulthan Aceh melalui perebutan kekuasaan tanpa pertumpahan darah, pada Rabu 20 Rabiul Awal 1109 Hijriah (1699 Masehi).
Ia naik tahta mengantikan Sulthanan Aceh yang terakhir, Sri Ratu Kamalatsyah yang diturunkan dari jabatannya akibat perebutan kekuasaan yang dilakukan Syarif Hasyim. Setelah diangkat menjadi raja, Syarif Hasyim digelar Sulthan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Ia memerintah sejak 1110 – 1113 Hijriah (1699-1702 Masehi).
Sebelumnya, Syarif Hasyim merupakan anggota delegasi Syarif Mekkah yang diutus ke Aceh pada zaman pemerintahan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 Hijriah = 1678 -1688 Masehi). Ketika delegasi itu kembali ke Mekkah, Syarif Hasyim memilih untuk menetap di Aceh. Ia kemudian diangkat menjadi penasehat kerajaan, sampai pada masa Sultanah Kamalatsyah. Ia kemudian menjatuhkan ratu itu dari tampuk kekuasaan dengan alasan perempuan tidak boleh menajdi raja.
Pemerintahan Dinasti Syarif ini berlangsung hingga tahun 1139 Hijriah (1726 Masehi) dengan sulthan terakhir yang bergelar Shultan Syamsul Alam Wandi Teubeng yang memerintah hanya satu bulan.
 

Senin, 14 November 2011

Pahlawan Aceh : Doa dan Keghaiban Cut Ali

Cut Ali salah seorang panglima dari pejuang Aceh, memiliki kemampuan ghaib dengan doa-doanya kepada Allah. Doa-doa religius yang menyelamatkanya dari serangkaian pertempuran. Ia sangat piawai memainkan kelewang.


""'Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi penyayang.
Allah adalah pelindung saya.
Tiada tuhan melainkan Allah,
Malaikat-malaikat Jibril, Mikail, dan israfil
Berada pada tanga kanan dan tangan kiri saya
Dimuka, di belakang, di atas, dan di bawah saya.
Saya dikelilingi oleh kesaksian
Tiada tuhan selain Allah,
Saya pergi dengan kasih sayang Allah,
Yang menyebabkanku berhasil dalam alam ghaib
Tuhanku adalah Allah."

Itulah sepenggal kutipan doa Cut Ali. Namun sebagai manusia biasa, Cut Ali juga harus menuai ajal. Pada Mei 1972, pimpinan besar barisan perlawanan Aceh di pesisir barat itu syahid, setelah ditembak seorang marsose Belanda bernama Gosenson dalam sebuah pertempuran.
Perang Aceh
Perang Aceh
Cut Ali merupakan spirit perjuangan yang tiada tara. Dalam tahun 1925, di pesisir Barat terjadi huru-hara. Huru-hara itu bermula dari daerah-daerah di bagian selatan, yang saat itu dikuasi Belanda. Namun dengan taktik gerilya yang diterapkan Cut Ali, ia berhasil membuat ketegangan dipihak Belanda kala itu. Ketegangan yang oleh penulis Belanda, H C Zentgraaf disebutkan hampir-hampir tak terpikulkan.
Sementara dalam tahun 1924, perlawann-perlawanan itu juga terjadi di daerah selatan. Sehingga dalam setiap keude (pasar-red) orang menjadi sangat hati-hati berbicara soal perang. Sementara di malam hari, penduduk disibuki dengan membaca kitab-kitab suci, dan mengobarkan semangat jihat memerangi Belanda.
Tentang gelora perlawanan itu, Zentgraaff menulis. “Di daerah pesisir Barat, jiwa dan semangat berjuang lama yang menyala-nyala adalah yang paling lama bertahan, senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat meledak. Penduduknya, memang membungkukkan kepalanya setelah operasi-operasi besar yang lampau, namun dalam semangatnya mereka tidak banyak berubah atau sama sekali tidak berubah.”
Patroli-patroli Belanda juga semakin kwalahan, karena secara dadakan sering diseragap kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh yang mahir menggunakan senjata tajam. “Dalam kemahiran mempergunakan senjata pun mereka tidaklah berkurang, dan di sini, senjata khas adalah kelewang alias ”peudeueng” yang panjang, pedang Turki. Seseorang yangnberopleh hadiah dengan sabetan “sabet atas’ (how bovenop) dengan pedang ini, akan tamatlah perhitungannya dengan dunia ini,” tulis Zentgraaff.
Penduduk yang berada di daerah Utara dan pesisir timur, banyak juga yang memakai senapan dan senapang kuno (donder bus), dan hal itu disebabkan karena daerah itu keadaannya datar, sehingga memaksa pertempuran-pertempuran harus dilakukan dalam jarak jauh, setidak-tidaknya untuk membuat permulaannya. “Penggunaan senjata api itu bukan berarti bahwa tidak trampil dalam menggunakan lekewang, terutama orang-orang Pidie, mereka adalah jantan-jantan yang berani bertarung sampai mati dengan senjata-senjata tajamnya,” lanjut Zentgraaff.
Di daerah pesisir Barat, dimana semuanya diliputi gunung dan hutan-hutan, haruslah cara bertempurnya berbeda. Tanah yang kasatr dan begunung-gunung ini kebenyakan punya ciri-ciri penyergapan yang khas secara mendadak dari tempat-tempat tersembunyi terhadap pasukan-pasukan patroli Belanda. “Dan musuh melakukan ini dengan semangat fanatisme yang harus kita hormati,” puji Zentgraaff.
Sementara di daerah Seunagan, serbuan kelewang tradisional dinilai Zentgraaf lebih berbahaya. Di daerah itu, menurutnya, pejuang Aceh menyerbu dengan sepenuh diri. Bertarung demi kepentingan bersama, melawan Belanda. Hal itulah yang membuat patroli Belanda sering mengalami kekalahan dan susah menaklukkan Aceh sepenuhnya.
Zentgraaff juga menyebutkan, semangat jihat pejuang Aceh yang tingi itu pula yang menjadi momok bagi pasukan Belanda. Bahkan mental pasukan elit belanda, marsose jatuh karena keberanian-keberanian pejuang Aceh. Ia menulis. “Demkianlah, mereka adalah sangat berbahaya terutama bagi serdadu-serdadu kita yang muda-muda. Apabila serombongan musuh yang seperti itu, mengenakan pakaian perangnya yang berwarna hitam, dengan peudeueng panjang yang diayunkan, sambil berteriak menghambur kepada pasukan kita, bagaikan iblis dalam wujud nyata, maka sungguh besar kemerosotan moril serdadu-serdadau kita yang muda-muda, sebagaimana yang kita alami sebagai kerugian kita.”
Masih menurut Zentgraaff. Setiap kesalahan dan kelengahan yang dilakukan oleh komandan-komandan perang Belanda selalu bisa dimanfaatkan oleh pejuang Aceh, yang kemudian membuat jatuh korban di pihak Belanda.
Di Bakongan, terdapat batu nisan kembar, dari atas ke bawah, dan dalam dua jejer, ditulis dengan nama-nama serdadu-serdadu yang tewas pada pasukan yang dipimpin oleh letnan Donner dalam tahun 1905. Pasukan patroli itu dibagi kedalam dua kelompok, berbaris menuju berbagai arah.
Pada malam yang sama, bertempat dikampung Rambong dan Sibabe, kedua pasukan itu dicegat dan hampir seluruhnya tewas bersama letnan Donner. Pasukan yangsatu lagi, bahkan gugur tiga belas serdadu, sementara semua karaben dapat dirampas olah pihak musuh.
Pada serangan mendadak itu, yang terjadi dibagian daerah pesisir Barat tersebut, misalnya yang terjadi dengan pasukan patroli pimpinan Grunefeld, pada bulan Maret 1926, yang bergerak dari Singkil menuju Trumon, disebabkan oleh kurang waspada, merek diserang. Hampir seluruh pasukan belanda itu tewas. Lima belas pucuk karaben pasukan belanda pun beralih tangan ke pejuang Aceh.
Demikian pulalah yang dialami oleh brigade pimpinan kapten Paris, karena kesalahan sedikit saja dari komandannya, maka pejuang Aceh memanfaatkan kesempatan itu. “Kita masih ingat akan kejadian yang malang itu, sehingga kapten Paris beserta hampir semua prajuritnya tewas, dan berkat seorang marsose jawa bernama Kromodikoro, yang dalam keadaan luka parah mengambil alih pimpinan, sehingga sisa kecil dari pasukan itu dapat menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan-tembakan,” tulis Zentgraaff.
Setiap kekeliruan pasukan belanda itu, harus ditebus dengan darah. Pada tahun 1962, Letnan Molenaarb tewas di sekolah Teureubangan. ”Ia merupakan suatu daftar nama-nama korban yang gugur yang amat panjang dan mengerikan bagi belanda. “Dan, melebihi segala serangan kelewang tersebut tadi yang mereka laksanakan dengan keberanian menentang maut yang tak ada taranya, maka satu gemburan terhadap pasukan Compion dalam bulan April 1904, merupakan serangan kelewang yang paling besar dalam sejarah Aceh.” Jelas Zentrgaaff.

Memburu Cut Ali

Untuk memburu gerilyawan Cut Ali, Belanda terus mengirim opsir-opsirnya ke Aceh, yakni panglima-panglima marsose kawakan ke daerah pesisir barat. Diantara opsir adalah Snell dan Gesenson. Snell kemudian berhasil mengendus tempat gerilyawan Cut Ali. Ia pun kemudian berangkan dengan kekuatan pasukan delapan brigade.
Dalam penyergapan besar-besaran itu, pasukan Snell berhasil menewaskan salah seorang panglima bernama Teungku Maulud, serta merampas tujuh pucuk karaben dari pejuang Aceh. Meskipun demikian, pertarungan masih jauh dari selesai, Cut Ali sudah sembuh kembali, dan rakyat tetap bersemangat untuk bergabung kepadanya serta para penglimanya.
Musibah yang telah menimpa pasukan patroli pimpinan komandan Paris yang bergerak secara ceroboh itu, sudah menjadi buah bibir, pengaruhnya amat besar pada barisan pejuang Aceh. Tetapi pasukan Cut Ali tidak begitu berhasil menghadapi pasukan patroli pimpinan Batten, yang telah memberikan perlawanan tangguh dan tidak kehilangan satu pun senapang karabennya, walaupun banyak serdadu yang menderita luka.
“Pihak lawan menderita 10 orang tewas. Lebih buruk lagi keadaan yang mereka alami tak kala menyergap pasukan patroli pimpinan komandan Klaar, yang memberikan tangkisan sengit serta bertarung dengan cemerlang, sehingga Letnan Klaar menerima tanda jasa nya,” tulis HC zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya menjadi wartawan.
Pada Mei dan Juni 1926, penduduk Trumon bersikap sangat menantang, dan keadaan menampakkan bahwa masih banyak darah akan mengalir. Inti perlawanan itu, dipimpin Cut Ali, yang kembali mengobarkan semangat perang. Nafsu untuk mengadakan petualangan perang berkobar di mana-mana, dan rombongan-rombongan anak-anak muda yang hanya bersenjatakan tajam belaka berani-berani menyerbu karaben-karaben pasukan-pasukan Belanda.
Zentgraaff menggambarkan Cut Ali sebagai seorang tokoh jantan berwatak, yang memiliki jiwa ksatria, yang membuat lawan pun mengaguminya. Pada masa itu ada seorang Kapten, yang menjadi Komandan sebuah bivak militer di Ladang Rimba, yang tidak punya jiwa militer, serta enggan bertempur. “Bivak militer itu di suruhnya buat tiga lapis pagar di sekelilingnya, lengkap dengan jalur berisi ranjau-ranjau, sehingga persis keadaannya seperti suatu benteng terpusat, kenangan yang tidak nikmat untuk diingat. Sudah tentulah dia tidak pernah pergi ke luar bivaknya untuk berpatroli, karena takut terhadap pasukan Cut Ali, dan ini tidak baik,” tulis Zentgraaff.
Terhadap sikap perwira Belanda yang dinilai pengecut tersebut, Cut Ali mengirim surat kepadanya. Isi surat itu, menetangnya untuk berkelahi. “surat-surat tersebut penuh dengan ancaman-ancaman, datang berulang-ulang dan hal ini sungguh memalukan bagi kita,” lanjut Zentgraaff.
Tapi Kapten Belanda itu tidak berkutik. Hal itu pula yang membuat wibawa Cut Ali di mata rakyatnya semakin besar. Seluaruh penduduk merasa puas terhadap keberanian Cut Ali yang telah membuat perwira Belanda mengurung diri dalam bivaknya, takut keluar untuk patroli, apalagi berperang secara frontal.
Keadaan itu kemudian diketahui oleh perwira Belanda lainnya bernama, Behrens. Ia segera berakat dengan pasukanya ke sana. Ia memerintahkan agar Pagar bambu yang berlapis-lapis di sekeliling bivak itu untuk dibongkar dan di singkirkan dari sana. Bahrens terus berusah membangkitkan kembali semangat opara marsose di sana, sampai tahun 1926 suasana menjadi normal kembali.
Kemudian harinya, ketika Letnan Molenaar, anggota pasukan patroli di bawah Komando Behrens, mati terbunuh pada suatu penyerangan pada malam hari di pekarangan sebuah sekolah di kampung Teureubangan- ini adalah perploncoan bagi Teuku Nago untuk dapat menjadi panglima- dan Behrens bergerak pulang membawa mayat opsir tersebut.
Kepadanya kemudian datang seorang penduduk membawa surat Cut Ali. Isi surat itu, “Saya berada di sini dengan 80 pasukan, dan kalau tuan tidak datang dengan sekurang-kurangnya 120 serdadu, lebih baik tinggal di rumah saja.” Surat yang menantang dari Cut Ali membuat Behrens dan anak buahnya berpikir berulang kali untuk memenuhinya. ”Cut Ali betah sekali membuat surat-surat yang demikian; dia selalu menyediakan berbagai macam surat, dan sebagian surat-surat tersebut dapat kita rampas,” jelas Zentgraaff.
Karena tak mampu memburu gerilyawan Cut Ali, pada Juli 1926, Belanda kemudian mengutus kapten Gosenson untuk membantu Behrens. Gosenson ditunjuk sebagai pejabat Kontrolur bagi daerah Aceh Selatan, yakni Kluet dan Trumon.
Karena itu Gosenson terlebih dahulu menuju ke Trumon, di mana ia melakukan gerak cepat dalam penumpasan dan dalam tempo yang singkat begitu banyaknya memberikan kemplengan. Ia pun menggunakan orang Aceh sebagai mata-mata untuk memburu gerilyawan Cut Ali. Tapi cuak-cuak itu malah lebih banyak yang ketahuan dan mati di tangan Cut Ali.
Gosenson tak kehabisan akal, ia kemudian membuat seruan, gerilyawan Aceh yang menyerah akan diperlakukan dengan baik. Syaratnya, saat menyerah harus menyerahkan satu kelewang, satu rencong atau tombak. Selanjutnya mereka harus menyerahkan diri menurut adat Aceh. Ada sebagian gerilyawan Aceh yang menyerah, tapi lebih banyak dari yang menyerah itu hanyalah sebagai alasan jeda sesaat untuk pulang kampung, sebelum kemudian berbelot lagi menentang Belanda.
Dalam bulan Juli 1926, rombongan Cut Ali masih melakukan lagi serangan kelewang terhadap pasukan patroli pimpinan Schreuder, tetapi tidak berhasil. Karena pasukan itu tidak mengejar mereka, tetapi bahkan sebaliknya bahkan bergerak pulang, maka Cut Ali merasakan itu sebagai suatu kemenangan baginya.
Dia berdiri di tengah kampung, sambil membuat sikap seolah-olah orang yang memperhatikan sesuatu di kejauhan dengan tangan di atas mata nya, meninjau ke hutan dan berkata, “Ho Ka Kompeuni?“ (Di mana Kamu Pasukan Kompeuni ?) Ini merupakan lelucon besar dan semua orang senang di buatnya. Seluruh Isi Kampung itu ikut mengajuk bertanya, “Di mana Kamu Kompeuni ?” Hal itu adalah untuk menghina kita, dan Cut Ali adalah orang besar yang selalu banyak humornya.
Selama tujuh hari Cut Ali dan masyarakat sekitar mengadakan perayaan di kampung itu. Masakan daging melimpah ruah, semua orang memberikan sumbangan dan ikut berpesta. Ada seorang perempuan yang sangat tua, rambutnya yang beruban putih terumbai pada wajahnya, keriput dimakan penghidupan yang bekerja keras di ladang, menyeret seekor kambing, satu-satunya yang menjadi miliknya.
Dia melakukan sembah dengan hormat kepada Cut Ali sambil berkata, “Nyoe Peuneujoe ulon nibak droeneu teuku ampon.”(“Inilah sumbangan dari saya, pemimpin besar”) Kambing itu kemudian di sembelih dan di buat gulai kambing yang enak. Perempuan tua itu merasa sangat berbahagia, oleh karena hak miliknya satu-satunya itu mendapat berkat pada pemimpin besar yang telah mengalahkan orang-orang Belanda. Setelah pesta itu, Cut Ali dan pasukannya kembali masuk hutan untuk bergerilya, melakukan konsolidasi untuk kemudian kembali melakukan serangan.