Farid Wajdi Ibrahim |
Laporan Farid Wajdi Ibrahim Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh
PUKUL tujuh pagi, saya mengunjungi makam Syeich Syamsuddin al-Sumatrani (Ulama Sufi asal Aceh) di kampung Ketek, pinggiran Bandar Malaka, Malaysia. Lebih kurang dua jam perjalanan dari Selangor atau sekitar lebih kurang 140 km dari Kuala Lumpur arah Selatan.
Lokasi tersebut berada di tengah perkampungan Cina dengan kondisi lorong yang sempit dan tidak dapat dilalui mobil. Menurut keterangan dari penjaga makam, kuburan Syeich Syamsuddin Al-Sumatrani pada awalnya tidak ada yang mengurus, bahkan tidak satupun mengetahui itu merupakan makam ulama terkemuka di nusantara dalam sejarah Melayu asal Aceh. Sehingga pada saat diketahui sekitar 2 tahun yang lalu itu kuburan Syeich Syamsuddin al-Sumatrani, Pemerintah Malaysia melalui Sultan Malaka langsung memerintahkan dipugar dan dibangun kembali dengan baik.
Kuburan ulama sufi itu tergolong sangat panjang (lebih kurang 8 meter), lokasi tersebut sekarang sudah menjadi tempat wisata kebudayaan yang banyak dikunjungi umat beragama di dunia. Uniknya, selain umat Islam yang berziarah, umat Budha, Hindu, Konghucu, Kristen dan lain sebagainya juga mengunjungi makam tersebut dengan hajatan sebagai tempat persemedian, bahkan dipenuhi dengan alat-alat persembahan. Namun, karena begitu maraknya dengan praktik syirik tersebut, pihak kerajaan sudah menertibkannya melalui penjagaan yang ketat terhadap orang-orang yang berkunjung ke makam itu.
Syeich Syamsuddin al-Sumatrani merupakan seorang ulama, sastrawan dan pahlawan yang terkenal di negeri Aceh di zaman Sulthan Iskandar Muda. Pada saat Malaka dikuasai Portugis tahun 1511. Aceh sering melawan portugis di Malaka. Tujuan peperangan tersebut untuk mempertahankan dan mengembalikan Malaka pada asal yaitu kerajaan Aceh yang bebas dari jajahan Barat dan bahkan untuk menegakkan syari’at Islam.
Salah satu serangan yang dilakukan angkatan tentara Aceh terhadap Portugis di Malaka langsung dipimpin oleh Syeich Syamsuddin al-Sumatrani, yang diikuti oleh panglima-panglima perang lainnya termasuk di antaranya adalah panglima Pidie. Syamsuddin al-Sumatrani dan panglima Pidie syahid di Malaka. Jasad panglima Pidie disemayamkan di puncak gedung-bukit China. Sementara, Syeich Syamsuddin al-Sumatrani dimakamkan di Kampung Ketek, Malaka.
Dalam perspektif sejarah Syeich Syamsuddin al-Sumatrani datang ke Malaka sekitar abad ke 17, tepatnya pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda berkuasa, di mana beliau juga dikenal sebagai Mufti Kerajaan Aceh pada saat itu. Namun pada substansinya, beliau datang ke sana atas perintah dari Sultan Aceh dengan tujuan untuk mempertahankan pasukan Aceh dalam peperangan melawan Portugis, yang mana Malaka merupakan wilayah kekuasaan Aceh waktu itu.
Setelah ziarah makam Syeich Symasuddin al-Sumatrani, saya mengunjungi Pulau besar. Di sana, terdapat makam Sultan al-Arifin. Ia adalah seorang Sultan yang sangat gagah berani juga sebagai ulama terkemuka di Malaka. Di samping makam Sultan al-Arifin juga terdapat makam Syeich Yusuf, guru dari Sultan al-Arifin. Makam Syeich Yusuf panjangnya mencapai 20 meter, dan merupakan makam terpanjang di Asia Tenggara.
Bukan hanya itu, masih ada dua lagi makam orang Aceh di Pulau Besar, Malaka yaitu makam Tok Janggut. Ia berasal dari Aceh yang diyakini datang dengan Panglima Lidah Hitam (ulama dan pahlawan yang sangat terkenal dalam dunia persilatan) dan satu lagi adalah makam Tok Putih yang juga asal Aceh dengan ukuran panjang kubur lebih kurang 14 meter.
Kita berharap Pemerintah Aceh mau bekerjasama dengan pemerintah Malaka untuk melestarikan para syuhada tersebut dan menjadikannya sebagai pusat kebudayaan.
PUKUL tujuh pagi, saya mengunjungi makam Syeich Syamsuddin al-Sumatrani (Ulama Sufi asal Aceh) di kampung Ketek, pinggiran Bandar Malaka, Malaysia. Lebih kurang dua jam perjalanan dari Selangor atau sekitar lebih kurang 140 km dari Kuala Lumpur arah Selatan.
Lokasi tersebut berada di tengah perkampungan Cina dengan kondisi lorong yang sempit dan tidak dapat dilalui mobil. Menurut keterangan dari penjaga makam, kuburan Syeich Syamsuddin Al-Sumatrani pada awalnya tidak ada yang mengurus, bahkan tidak satupun mengetahui itu merupakan makam ulama terkemuka di nusantara dalam sejarah Melayu asal Aceh. Sehingga pada saat diketahui sekitar 2 tahun yang lalu itu kuburan Syeich Syamsuddin al-Sumatrani, Pemerintah Malaysia melalui Sultan Malaka langsung memerintahkan dipugar dan dibangun kembali dengan baik.
Kuburan ulama sufi itu tergolong sangat panjang (lebih kurang 8 meter), lokasi tersebut sekarang sudah menjadi tempat wisata kebudayaan yang banyak dikunjungi umat beragama di dunia. Uniknya, selain umat Islam yang berziarah, umat Budha, Hindu, Konghucu, Kristen dan lain sebagainya juga mengunjungi makam tersebut dengan hajatan sebagai tempat persemedian, bahkan dipenuhi dengan alat-alat persembahan. Namun, karena begitu maraknya dengan praktik syirik tersebut, pihak kerajaan sudah menertibkannya melalui penjagaan yang ketat terhadap orang-orang yang berkunjung ke makam itu.
Syeich Syamsuddin al-Sumatrani merupakan seorang ulama, sastrawan dan pahlawan yang terkenal di negeri Aceh di zaman Sulthan Iskandar Muda. Pada saat Malaka dikuasai Portugis tahun 1511. Aceh sering melawan portugis di Malaka. Tujuan peperangan tersebut untuk mempertahankan dan mengembalikan Malaka pada asal yaitu kerajaan Aceh yang bebas dari jajahan Barat dan bahkan untuk menegakkan syari’at Islam.
Salah satu serangan yang dilakukan angkatan tentara Aceh terhadap Portugis di Malaka langsung dipimpin oleh Syeich Syamsuddin al-Sumatrani, yang diikuti oleh panglima-panglima perang lainnya termasuk di antaranya adalah panglima Pidie. Syamsuddin al-Sumatrani dan panglima Pidie syahid di Malaka. Jasad panglima Pidie disemayamkan di puncak gedung-bukit China. Sementara, Syeich Syamsuddin al-Sumatrani dimakamkan di Kampung Ketek, Malaka.
Dalam perspektif sejarah Syeich Syamsuddin al-Sumatrani datang ke Malaka sekitar abad ke 17, tepatnya pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda berkuasa, di mana beliau juga dikenal sebagai Mufti Kerajaan Aceh pada saat itu. Namun pada substansinya, beliau datang ke sana atas perintah dari Sultan Aceh dengan tujuan untuk mempertahankan pasukan Aceh dalam peperangan melawan Portugis, yang mana Malaka merupakan wilayah kekuasaan Aceh waktu itu.
Setelah ziarah makam Syeich Symasuddin al-Sumatrani, saya mengunjungi Pulau besar. Di sana, terdapat makam Sultan al-Arifin. Ia adalah seorang Sultan yang sangat gagah berani juga sebagai ulama terkemuka di Malaka. Di samping makam Sultan al-Arifin juga terdapat makam Syeich Yusuf, guru dari Sultan al-Arifin. Makam Syeich Yusuf panjangnya mencapai 20 meter, dan merupakan makam terpanjang di Asia Tenggara.
Bukan hanya itu, masih ada dua lagi makam orang Aceh di Pulau Besar, Malaka yaitu makam Tok Janggut. Ia berasal dari Aceh yang diyakini datang dengan Panglima Lidah Hitam (ulama dan pahlawan yang sangat terkenal dalam dunia persilatan) dan satu lagi adalah makam Tok Putih yang juga asal Aceh dengan ukuran panjang kubur lebih kurang 14 meter.
Kita berharap Pemerintah Aceh mau bekerjasama dengan pemerintah Malaka untuk melestarikan para syuhada tersebut dan menjadikannya sebagai pusat kebudayaan.