Minggu, 25 Maret 2012

Sepotong Sejarah Aceh yang Dibelokkan

"Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini ?". (Tgk Muhammad Daud Beureu'eh)


Sepotong sejarah Republik menyangkut Aceh yang banyak dilupakan. Yaitu soal peran Aceh penyelamatan krisis fatal pada akhir tahun 1949. Bila ini dikemukakan, bukan karena ingin Aceh dipuji. Tetapi karena sejarah harus ditulis apa adanya, tidak boleh ditutup, distorted atau direkayasa.

Sejarah mesti murni untuk diwariskan kepada generasinya. Dan apa yang penulis lihat meski itu singkat, tidak terdapat dalam buku- buku sejarah RI yang diajarkan di sekolah-sekolah. Juga penulis tidak melihjat di media yang ditulis sejarawan kita, hatta oleh ahli sejarah Aceh sendiri.

Penulis bukanlah ahli sejarah, tapi salah seorang pelaku sejarah Aceh. Dan kesempatan ini mencoba memaparkan apa yang banyak dilupakan orang. Misalnya, tentang perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh (akrab disapa Abu). Beliau ulama besar, bukan saja bersaja untuk Aceh, tapi untuk republik tercinta ini. Ia tidak saja berhasil menegmbangkan syiar Islam secara luas tapi juga menjadi pemimpin rakyat (people leader). Abu membangun "Aceh Baru" yang demokratis, bebas dari penghisapan atau penindasan manusia oleh manusia (exploitation delhomme par home).

Sedangkan bagi Republik Indonesia beliau berjasa sebagai penyelamat. Sejarah itu yang tak tertulis di buku-buku sejarah sekolah mana pun. Kecuali beliau diklaim sebagai pemerontak Republik hingga akhir hayatnya. Begitu juga dua pejuang penyalamat lainnya, yaitu Mr Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan LN Palar, Duta Besar Indonesia di PBB.

Sekilas tentang sejarah, bahwa pada akhir tahun 1949, RI ditimpa kritis yang fatal. Hampir seluruh wilayah sudah diduduki Belanda. lbukota Republik pun sudah dikuasainya. Presiden dan wakil Presiden sudah ditangkap Belanda dan dibuang --kalau saya tidak salah dibuang ke Pulau Bangka.

Mr Sjafruddin Prawiranegara yang sempat diangkat sebagai Kepala Pemerintah Republik Indonesia, bergegas-gegas mengungsi ke Bukit Tinggi. Karena merasa tidak aman di Bukit Tinggi, beliau mengungsi ke Aceh, sebuah wilayah Republik yang belum dapat diduduki oleh Belanda. Jadi, masih tetap sebagai territory legal dari Republik Indonesia. Mengikuti Pak Sjafruddin Prawiranegara Tinggi dari ketiga Angkatan pun mengungsi ke Aceh. Dari Staff Angkatan Darat Kol Hidayat, dari staff Angkatan Udara Suyoso, dan dari Staff Angkatan Laut Komodor Subiyakto. Pada kali pertama pemimpin-pemimpin Aceh yang terdiri dari Abu Beureueh, Tgk Abdul Wahab Seulimum, Hasan Ali dan M. Nur El Ibrahimy sendiri berkunjung kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara.

Pertama-tama yang dituntut adalah membentuk Propinsi Aceh, yang dijanjikan oleh Presiden Soekarno. Di depan Abu Beureueh pada waktu beliau datang ke Aceh pada tahun 1947, Soekarno bersumpah dua kali, ternyata dua tahun ditunggu, janji itu tidak dipenuhi.

Saat itu Pak Sjaf (panggilan Syafruddin) menjawab "jangan khawatir, dalam dua tiga hari ini, Propinsi Aceh akan saya bentuk, seperti yang diinginkan oleh rakyat Aceh. Seperti yang dijanjikan", Propinsi Aceh pun terbentuklah dengan PP Pengganti Undang-undang yang mulai berlaku pada tanggal 8 Desember 1949. Sebagai Gubernur Aceh yang Pertama diangkat Abu Beureueh. Beliau dibantu oleh sebuah badan yang disebut Badan Pemerintah Provinsi Aceh, yang terdiri dari T M Amien, Orang Kaya Salamuddin, A.R. Hasjim dan Saya sendiri.

Di seluruh Aceh rakyat bergembira karena keinginannya yang sejak lama tercapai, dan terbentuknya Provinsi Aceh, gampanglah bagi Jendral Mayor Tituler, Mantan Gubernur Militer Aceh, langkat dan tanah Karo Abu beureueh Sebagai Gubernur Areh sekarang untuk mengajak rakyat berjuang mati-matian mempertahankan Aceh jangan sampai dapat diduduki Belanda. Sebab kalau Aceh dapat diduduki Belanda, berarti tamatlah riwayat Republik Indonesia.

Untuk dimaklumi bahwa pertarungan yang sengit antara Aceh dan Belanda berpusat di perbatasan Aceh-Sumatera Utara (dikenal Medan Area). Yang dipertahankan dengat gigih oleh rakyat Aceh bersama TNI Devisi X Aceh, Barisan- Barisan mujahidin yang ketuanya Abu Beureueh, TP (Tentara Pelajar) dan TPI (Tentara Pelajar Islam). Maka berkat pimpinan yang solid dari Abu Beureueh pertahanan rakyat Aceh begkitu gigih, dan Medan Area tak bisa ditembusi tentara Belanda. Penjajah akhirnya kembali ke baraknya di kota Medan. Maka Republik Indonesia yang berada sekarat hidup kembali.

Semangat juang rakyat Aceh yang gigih diketahui LN Palar, Duta Besar RI di PBB yang sebelumnya sudah loyo, menjadi bangkit kembali. Beliau segera meminta PBB untuk memerintahkan kembali kedaulatan atas seluruh territory Republik Indonesia dikembalikan kepada pemerintah Indonesia Serikat, pada 17 Agustus 1950. Sayang sekali pada hari upacara penyerahan kembali kedaulatan atas RI kepada Pemerintah Indonesia oleh Belanda, Jendral Mayor Tituler Abu Daud yang saya anggap salah seorang penyelamat Republik Indoensia tidak diundang ke upacara tersebut.

Perlu dijelaskan bahwa sebelum penyerahan kedaulatan, di Aceh terjadi heboh besar, karena dibubarkan Propinsi Aceh. Heboh ni yang tadinya terjadi di Kota Raja (Banda Aceh sekarang) meluas sampai ke seluruh Aceh. Maka dilayangkanlah poster-poster dan Resolusi- resolusi kepada pemerintah. Heboh ini tidak dapat diatasi hingga terpaksalah pembesar-pembesar Negara dari pusat datang ke Aceh untuk menyenangkan rakyat, antara lain Mr Assaat (Mendagri)--namun rakyat tidak lagi mendengarkannya. Maka Bung Hatta yang kembali menjadi Wakil Presiden Negara Kesatuan NRI datang ke Aceh. Rakyat juga tidak menghiraukan apa yang dikatakannya.

Abu Beureueh Mantan Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo, dan mantan Gubernur Aceh, menyatakan dengan tegas " Bahwa kalau Provinsi Aceh tidak dibentuk kembali, saya akan naik ke Gunung untuk membentuk Provinsi Aceh menurut keinginan kami sendiri". Zaini Bakri, Bupati Aceh Besar juga dengan tegas mengatakan kalau provinsi Aceh tidak kembali dibentuk pegawai RI di seluruh Aceh meletakan jabatan.

Karena rakyat tidak bisa ditenangkan, Muhammad Natsir (Perdana Menteri Kabinet pertama NRI datang ke Aceh). Beliau mula - mula mengatakan pertemuan dengan petinggi - petinggi Aceh, kemudian melalui radio. Ia mengajak rakyat supaya tenang dan tidak khawatir. Beliau akan berusaha sekuat tenaga akan terbentuk kembali Propinsi Aceh. "Secara Intergral", artinya membentuk Propinsi di seluruh Indonesia. Betul-betul Natsir telah mengubah situasi yang panas menjadi suasana yang sejuk sehingga rakyat di seluruh Aceh tenang kembali, dan dengan penuh kepercayaan menunggu janji Perdana Menteri Pertama Natsir itu.

Sayang kabinet Natsir setelah kira-kira satu tahun bekerja, dijatuhkan oleh anggota - anggota DPR yang tidak menyetujui Provinsi Aceh yaitu PKI, PNI, Partai Indonesia Raya dan beberapa partai lainnya. Harapan rakyat Aceh untuk tegaknya sebuah Provinsi seperti yang diinginkan di tanah Rencong buyarlah semua. Provinsi Aceh baru dibentuk kembali setelah Abu Beureueh "naik gunung" (sebagai yang ditegaskan di depan Bung Hatta), beberapa waktu setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo ( dari PNI) yang menggantikan
Kabinet Natsir.

Saat berkunjung ke Aceh pada tahun 1948, Soekarno mengucapkan janjinya dengan meyakinkan Daud Beureueh. Dimana cerita sumpah Soekarno dihadapan Teungku Muhammad Daud Beureueh itu adalah:

"Teungku Daud Beureueh pernah menyatakan: "Lebih setahun sesudah proklamasi kemerdekaan, pada waktu tentara Belanda dan Sekutu sedang melancarkan serangan secara besar-besaran, dimana para pemuda kita sudah ribuan bergelimpangan gugur di medan perang, datanglah Sukarno ke Aceh...Dia datang menjumpai saya menerangkan peristiwa-peristiwa dan perkembangan revolusi." 
Dalam pertemuan itu saya tanya Sukarno: "Untuk apa Indonesia merdeka?" Sukarno menjawab: "Untuk Islam kak". Dia memanggil kakak kepada saya. Saya tanya lagi, "betulkah ini?". Jawabnya, "betul kak". Saya tanya sekali lagi, "betulkah ini?". Dia jawab, "betul kak". Saya ulangi lagi, "betulkah ini?". 
Pada waktu inilah Sukarno berikrar: "Kakak! Saya adalah seorang Islam. Sekarang kebetulan ditakdirkan Tuhan menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama yang baru kita proklamasikan. Sebagai seorang Islam, saya berjanji dan berikrar bahwa saya sebagai seorang presiden akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana. Saya mohon kepada kakak, demi untuk Islam, demi untuk bangsa kita seluruhnya, marilah kita kerahkan seluruh kekuatan kita untuk mempertahankan kemerdekaan ini".  
( Baca: S.S. Djuangga Batubara, Buku; Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, 1987, hal. 76-77)


Ternyata akhirnya, ikrar Soekarno itu untuk: "akan menjadikan Republik Indonesia yang merdeka sebagai negara Islam dimana hukum dan pemerintahan Islam terlaksana" hanyalah tipu muslihat saja. Sehingga Teungku Muhammad Dawud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia pada tanggal 20 September 1953, yang sebagian isinya menyatakan bahwa;

"Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja, maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja, digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam."

***

Sumber Referensi : 
  • Teungku Chik Muhammad Daud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, S.S Djuangga Batubara.
  • Disadur dari berbagai sumber dan fakta sejarah.