Minggu, 25 Maret 2012

Aceh di Mata PJ Veth

P.J Veth 1814-1895
"Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah." (P J Veth)

Oleh Iskandar Norman
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth, seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
ratu safiatuddin
Ratu Safiatuddin

Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.
Vert mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.
Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang, Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.
Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi sultanah.
taman safiatuddin
Taman Safiatuddin, Banda Aceh

Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai sultanah.

Sultanah yang Taat

Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. ’’…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…’’
tugu safiatuddin
Tugu Safiatuddin, Banda Aceh

Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. “… ialah yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas, perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah ke rahmat Allah…”.
Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.
Karena itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam pemerintahannya yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili. Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang memberikan dukungan besar kepada muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai sultanah.
Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin sebagai ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan menempatkan diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu Safiatuddin sendiri. Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut juga memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda.
Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orangtuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain adalah dengan mendorong para ulama untuk terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab.
Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mir’at al-Tullab atau, lengkapnya, Mir’at al Tullab fi Tashil Ma’rifat ahkam al-syar’iyyah li al malik al wahhab yang kurang lebih berarti ‘Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala Hukum Syara’ Allah. Kitab ini diperkirakan ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara’ pertama yang ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.
Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. ‘ Maka bahwasanya adalah hadarat yang maha mulia [ Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah] itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muktaj [dibutuhkan] kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadi pada pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara’ Allah yang mutamat pada segala ulama yang dibanggakan kepada Imam Syafei Radiallahuanhu…’’
Demikian pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti istana, ia juga seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan Aceh, ia sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar ditulis pada masa Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan soal Wujudyah di samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.
Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri, prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.
(P J Veth)
 Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga menggambarkan, pada masa pemerintahan sultanah ini ditemukan galian pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah sehingga membuat Kerajaan Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas yang dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah itu.
Menurut Van Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah emas yang lazim digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya untuk ditempa menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih (emas ) atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.
Sultanah Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua dirham buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan yang dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada waktu itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan buatan sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama Paduka Seri Sultanah Ta al–Alam, sedangkan pada bagian belakangnya terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.
F W Stammeshaus dalam tulisannya “Atjehshe Munten” menulis, jumlah mata uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat banyak dibandingkan dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan erat dengan ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti yang telah dikemukakan.
Adapun gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai berikut.’’… di Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan makanan pun sangat murah, dan segala manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan tawakal pada segala barang pekarjaanya…’’
Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh. Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah bangunan yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik kerajaan yang menghiasi istana.
Hal yang sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya.

Administrasi Kerajaan

Sultanah Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam, di Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam melaksanakan tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas perang, dikepalai oleh seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur keuangan kerajaan seperti pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.
Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu disebut "Balai Musyawarah" (lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari sebagai institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai Gadengbalai para ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang terdiri atas 73 orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.
Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal tersebut. Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang bergelar Sri Sultan Nurul Alam Naqiatuddin Syah.