"Yang paling mengagumkan dari semua contoh pemerintahan di nusantara adalah terdapat di Kerajaan Aceh Sumatera, suatu kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat penting dalam sejarah." (P J Veth)
P.J Veth 1814-1895
Oleh Iskandar Norman
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah
Safiatuddin Syah yang dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya
tentang pemerintahan sultanah di Aceh dalam Prominent Woment in The Glimpse of History.
Pemerintahan sultanah di Aceh mendapat perhatian dari para penulis
sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth, seorang profesor dalam
etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
Ratu Safiatuddin |
Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalam “Vrouwen Regeringen in den Indische Archipel” tulisan itu dipublikasikan dalam majalah Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie.
Vert mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur
wanita yang memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga
menemukan beberapa kasus serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan
pengaruh yang menentukan dari pemerintahan kaum wanita atas sebuah
kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya adalah
yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya
kekuasaan kaum wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah
berlangsung selama hampir 60 tahun, kekuasaan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh empat orang wanita (ratu atau sultanah) secara
berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.
Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah
Taj al-Alam atau Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah
tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan putri tertua Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Menurut N J Ryan dalam Sejarah Semenanjung Tanah Melayu,
terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah Safiatuddin
bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang,
Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617
sewaktu Kerajaan Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.
Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh
para pembesar kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar
Thani. Sultan ini meninggal pada 15 Februari 1641 setelah menduduki
singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari sesudah berkabung, para
pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam
Permaisuri, menjadi sultanah.
Taman Safiatuddin, Banda Aceh |
Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan
Sultanah Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar
Kerajaan Aceh. Hal ini, antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak
berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan
dalam kedudukan sebagai seorang raja. Alasannya, pengangkatan perempuan
sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, menurut
tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi pria, menjadi
imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam
musyawarah itu, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu,
Teungku Abdurrauf dari Singkil yang menyarankan pemisahan antara urusan
agama dengan urusan pemerintahan, maka diangkatkan Safiatuddin sebagai
sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah
berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan
Berdaulat.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari
tahun 1641 hingga tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang
relatif lama. Hal itu pastilah tidak akan terlaksanakan apabila tidak
diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan keluarbiasaan yang
dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam
keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah
sepeninggalan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi
menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekuasaan dari
mereka yang tidak senang terhadap kedudukan Safiatuddin syah sebagai
sultanah.
Sultanah yang Taat
Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan
kepemimpinan Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat
kepada agama. ’’…Bahwa adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri
Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil Allah Fil-alam itu
sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah
senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat
kebajikan-kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan…’’
Tugu Safiatuddin, Banda Aceh |
Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor
yang sangat menentukan bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah
sebagai ratu dalam waktu yang lama. “… ialah yang sangat tawaqhurnya
akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama menyunjung
khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas,
perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira
banyaknya. Dan ialah mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka
adalah lama paduka Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil
Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh lima tahun delapan
bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun kembalilah
ke rahmat Allah…â€.
Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda.
Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat
memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan
keagamaan, dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan
antusiasme yang tinggi terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668,
misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh pergi ke negeri Siam untuk
menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.
Karena itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam
pemerintahannya yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as
Singkili. Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama asal Ranir, India yang
datang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Thani berkuasa. Selain sebagai
guru Sultanah Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang memberikan
dukungan besar kepada muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai
sultanah.
Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan
Safiatuddin sebagai ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah,
ia kembali ke Aceh dan menempatkan diri dekat dengan kalangan istana
sehingga kemudian diangkat pula sebagai Kadhi Malikul Adil. Kembalinya
Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu Safiatuddin sendiri. Kenyataan
terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut juga memberikan
perhatiannya terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri kandung
Sultan Iskandar Muda.
Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,
Sultanah Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan
orangtuanya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang
ditempuhnya antara lain adalah dengan mendorong para ulama untuk
terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan mengarang berbagai kitab.
Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya
yang menyangkut hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh
Abdurrauf mengarang sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mir’at al-Tullab atau, lengkapnya, Mir’at al Tullab fi Tashil Ma’rifat ahkam al-syar’iyyah li al malik al wahhab
yang kurang lebih berarti ‘Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu
Fikih pada memudahkan mengenal segala Hukum Syara’ Allah. Kitab ini
diperkirakan ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum syara’
pertama yang ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.
Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa
penulisan kitab di atas dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin
sendiri. ‘ Maka bahwasanya adalah hadarat yang maha mulia [ Paduka
Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah] itu telah bersabda
kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang
baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa
Pasai yang muktaj [dibutuhkan] kepadanya orang yang menjabat jabatan
Qadi pada pekerjaan hukum dari pada segala hukum syara’ Allah yang
mutamat pada segala ulama yang dibanggakan kepada Imam Syafei
Radiallahuanhu…’’
Demikian pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai
ulama dan mufti istana, ia juga seorang pengarang yang produktif.
Selama berada di Kerajaan Aceh, ia sekurangnya telah membuahkan 29
kitab. Karya-karya itu sebagian besar ditulis pada masa Sultanah
Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan soal Wujudyah di
samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.
Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri,
prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya
bersangkutan dengan soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan,
melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin
berhasil menggalang persatuan di kalangan rakyatnya dalam mengadapi
tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja sebelumnya.
(P J Veth) |
Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga
menggambarkan, pada masa pemerintahan sultanah ini ditemukan galian
pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah sehingga membuat Kerajaan
Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas yang
dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang
emas yang dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di
wilayah Kerajaan Aceh dan sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku
disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah itu.
Menurut Van Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin
Syah dirham yang sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi
kadar emasnya. Sejumlah emas yang lazim digunakan untuk menempa satu
ringgit Spanyol diperintahkannya untuk ditempa menjadi 6 dirham dengan
mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih (emas ) atau 19,2
karat menurut hitungan emas Belanda.
Sultanah Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan
mengumpulkan semua dirham buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur
menjadi dirham baru. Kebijaksanaan yang dimikian tentu saja bermanfat
bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada waktu itu. Hal lain yang
membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan buatan
sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada
bagian muka dirham buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama
Paduka Seri Sultanah Ta al–Alam, sedangkan pada bagian belakangnya
terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.
F W Stammeshaus dalam tulisannya “Atjehshe Muntenâ€
menulis, jumlah mata uang yang dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah
sangat banyak dibandingkan dengan jumlah mata uang yang dikeluarka oleh
penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan erat dengan
ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti
yang telah dikemukakan.
Adapun gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu
itu, khususnya di ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan
Ar-Raniri (1966: 59) sebagai berikut.’’… di Bandar Darussalam pada
waktu itu terlalu makmur dan makanan pun sangat murah, dan segala
manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti segala barang
sabdanya. Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan tawakal
pada segala barang pekarjaanya…’’
Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam “Critisch Overzicht van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh.
Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah
peristiwa pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin
Syah untuk suaminya, Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa
sebuah bangunan yang relatif megah, keranda jenazah dibuat dengan
lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat pula pada bangunan
mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik
kerajaan yang menghiasi istana.
Hal yang sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain
disebabkan oleh hasil tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan
Aceh pada waktu itu juga berkat kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu kebijaksanaan penting dari
Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap pedagang asing
yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah
taklukannya.
Administrasi Kerajaan
Sultanah Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu
dalam pengelolaan administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang
bernama Qanun Meukuta Alam, di Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga
yang membantu sultan dalam melaksanakan tugasnya antara lain: Balai
Laksamana, yaitu semacam markas perang, dikepalai oleh seorang
laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur keuangan kerajaan seperti
pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.
Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah
(eksekutif). Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai
tempat bermusyawarah, yaitu disebut "Balai Musyawarah"
(lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari
sebagai institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai
Gadengbalai para ulama terdiri dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai
Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang terdiri atas 73 orang
anggota yang berasal dari 73 buah mukim.
Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di
atas selama 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau
bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H, Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri
kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal tersebut. Kerajaan Aceh kemudian
dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang bergelar Sri Sultan Nurul Alam
Naqiatuddin Syah.