Dengan suara yang masih
menahan amarah, Malikuddhahir II kembali berkata, “Katakan kepada Gajah
Mada, Malikuddhahir II tidak mau menerima surat perintahnya. Tanah Jawa
tidak akan pernah bisa menundukkan Samudera Pasai!”
Di remang subuh yang dingin, di
Tahun 1350 yang menentukan, embun pagi di perbatasan Pasai telah pergi
bersama jejak langkah kaki yang membawanya berlari.
Pasukan Pasai telah bergerak
menuju perkemahan Majapahit. Tombak dan pedang diacungkan. Pasukan
berkuda dan gajah melangkah pelan menyembunyikan derapnya pada
keheningan pagi.
Saat mata masih menyipit dari
bangun tidur, dan penjaga telah lelah menunggu malam agar cepat berlalu,
pasukan Majapahit seperti pencuri yang disergap dari persembunyiannya
begitu menyadari tiba-tiba saja Pasukan Pasai telah mengepung perkemahan
mereka.
Mereka terkesiap. Perkemahan langsung gaduh.
Tetapi terlambat untuk bergerak.
Karena seluruh senjata yang berada ditangan pasukan Pasai telah
diacungkan ke depan. Tubuh-tubuh pasukan Majapahit yang tidak berbaju
itu menggigil bukan karena dingin. Tetapi karena rasa cemas dan takut
menyelimuti raga yang bila sedikit saja mereka salah bertindak, ujung
tombok atau tebasan pedang mungkin akan melukai badan yang
menghantarkannya pada usainya hembusan nafas.
Khaidar mengacungkan pedangnya ke
leher Panglima tersebut. Sang Panglima pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Ia tidak mau gegabah. Pasukannya sudah terkepung oleh pasukan Pasai.
Tidak ada yang bisa ia katakan selain hanya diam dan menunggu apa yang
selanjutnya akan terjadi.
Di antara remang pagi yang
disambut matahari, cahaya besi dari pedang Khaidar memantulkan cahaya.
Hasil polesan tangan terampil pengrajin pedang Pasai itu membuat
Panglima Majapahit mendenguskan nafasnya penuh kegelisahan. Degup
dadanya bergetar.
Khaidar memandang kegelisahan
Panglima Majapahit dengan sorot mata yang siap menerkam. “Tolong kalian
camkan. Tidak ada alasan apapun bagi Majapahit datang ke Pasai dengan
ambisi yang sangat memalukan dan tidak terhormat.
Aku, Khaidar, putra Pasai dari
Malikuddhahir akan sangat kejam bagi siapa pun yang mau melecehkan
Pasai. Kini, nasib kalian ada di ujung pedangku. Tetapi aku tidak ingin
menjadi pecundang seperti kalian. Aku sangat menghormati jiwa kesatria
kalian. Ketimbang kalian kembali ke Majapahit dengan tangan kosong
karena kekalahan, lebih baik anda bertarung denganku satu lawan satu.
Kalau anda kalah, aku antarkan
kalian ke dermaga untuk kembali ke Majapahit dengan jaminan keselamatan,
tetapi kalau aku kalah, kita kembali lagi bertempur di medan perang
hingga tetes darah penghabisan.”
***
Mereka adalah tiga generasi,
berjuang untuk negeri yang sama, dengan kisah berbeda. Malikussaleh,
sang pendiri yang penuh charisma, yang pergi ketika semua rakyat sampai
pada puncak cinta terhadap sang raja. Malikuddhahir, terperangkap dalam
bara dendam musuh lama, yang nyaris memicu perang saudara yang penuh
darah. Malikuddhahir II, terjebak dalam cinta tak sampai, yang membawa
pergi jauh dirinya untuk mengobati luka hatinya, namun kemudian kembali
menjadi sosok yang gagah perwira.
Samudra Pasai, kerajaan Islam
pertama yang ada di bumi Nusantara. Kerajaan yang makmur dan berdaulat,
dengan raja yang adil dan bijaksana. Tapi semua itu berada di ujung
tanduk. Samudera Pasai terancam hancur di tangan keserakahan Gajah Mada.
***
(Novel ini dapat dibeli di toko buku gramedia, kharisma dan gunung agung di seluruh indonesia)