Selasa, 17 April 2012

Samudra Pasai : “Cinta dan Pengkhianatan”


Dengan suara yang masih menahan amarah, Malikuddhahir II kembali berkata, “Katakan kepada Gajah Mada, Malikuddhahir II tidak mau menerima surat perintahnya. Tanah Jawa tidak akan pernah bisa menundukkan Samudera Pasai!”

Di remang subuh yang dingin, di Tahun 1350 yang menentukan, embun pagi di perbatasan Pasai telah pergi bersama jejak langkah kaki yang membawanya berlari.

Pasukan Pasai telah bergerak menuju perkemahan Majapahit. Tombak dan pedang diacungkan. Pasukan berkuda dan gajah melangkah pelan menyembunyikan derapnya pada keheningan pagi.

Saat mata masih menyipit dari bangun tidur, dan penjaga telah lelah menunggu malam agar cepat berlalu, pasukan Majapahit seperti pencuri yang disergap dari persembunyiannya begitu menyadari tiba-tiba saja Pasukan Pasai telah mengepung perkemahan mereka.

Mereka terkesiap. Perkemahan langsung gaduh.

Tetapi terlambat untuk bergerak. Karena seluruh senjata yang berada ditangan pasukan Pasai telah diacungkan ke depan. Tubuh-tubuh pasukan Majapahit yang tidak berbaju itu menggigil bukan karena dingin. Tetapi karena rasa cemas dan takut menyelimuti raga yang bila sedikit saja mereka salah bertindak, ujung tombok atau tebasan pedang mungkin akan melukai badan yang menghantarkannya pada usainya hembusan nafas.

Khaidar mengacungkan pedangnya ke leher Panglima tersebut. Sang Panglima pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak mau gegabah. Pasukannya sudah terkepung oleh pasukan Pasai. Tidak ada yang bisa ia katakan selain hanya diam dan menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

Di antara remang pagi yang disambut matahari, cahaya besi dari pedang Khaidar memantulkan cahaya. Hasil polesan tangan terampil pengrajin pedang Pasai itu membuat Panglima Majapahit mendenguskan nafasnya penuh kegelisahan. Degup dadanya bergetar.

Khaidar memandang kegelisahan Panglima Majapahit dengan sorot mata yang siap menerkam. “Tolong kalian camkan. Tidak ada alasan apapun bagi Majapahit datang ke Pasai dengan ambisi yang sangat memalukan dan tidak terhormat. 

Aku, Khaidar, putra Pasai dari Malikuddhahir akan sangat kejam bagi siapa pun yang mau melecehkan Pasai. Kini, nasib kalian ada di ujung pedangku. Tetapi aku tidak ingin menjadi pecundang seperti kalian. Aku sangat menghormati jiwa kesatria kalian. Ketimbang kalian kembali ke Majapahit dengan tangan kosong karena kekalahan, lebih baik anda bertarung denganku satu lawan satu. 

Kalau anda kalah, aku antarkan kalian ke dermaga untuk kembali ke Majapahit dengan jaminan keselamatan, tetapi kalau aku kalah, kita kembali lagi bertempur di medan perang hingga tetes darah penghabisan.”

***

Mereka adalah tiga generasi, berjuang untuk negeri yang sama, dengan kisah berbeda. Malikussaleh, sang pendiri yang penuh charisma, yang pergi ketika semua rakyat sampai pada puncak cinta terhadap sang raja. Malikuddhahir, terperangkap dalam bara dendam musuh lama, yang nyaris memicu perang saudara yang penuh darah. Malikuddhahir II, terjebak dalam cinta tak sampai, yang membawa pergi jauh dirinya untuk mengobati luka hatinya, namun kemudian kembali menjadi sosok yang gagah perwira.

Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama yang ada di bumi Nusantara. Kerajaan yang makmur dan berdaulat, dengan raja yang adil dan bijaksana. Tapi semua itu berada di ujung tanduk. Samudera Pasai terancam hancur di tangan keserakahan Gajah Mada.


***

(Novel ini dapat dibeli di toko buku gramedia, kharisma dan gunung agung di seluruh indonesia)