"Konflik Aceh telah 7 tahun berakhir. Namun masih banyak kisah haru,
heroik, dan sisi-sisi kemanusiaan yang belum terungkap. Salah satunya
adalah tentang sosok Abdul Halim (52) alias Bang Yan alias Ayah Papua.
Mungkin ia menjadi satu-satunya putra Papua yang berjuang di hutan Aceh.
Kini, saat Aceh mulai damai, ia memendam hasrat untuk memberi contoh
kepada keluarga dan teman-temannya di tanah Papua, tentang bagaimana
berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua, tanpa harus lagi
mengorbankan nyawa manusia."
GAYA bicaranya blak-blakan, logat bahasa Indonesianya masih
seperti orang Papua. Jika bukan dari gaya bicaranya, orang tidak
menyangka kalau pria berperawakan kecil ini adalah orang Papua asli.
Apalagi, rambut kriwil khas Papua, tertutup oleh topi pet berbahan
campuran kain dan karet di kepalanya.
"Saya lahir di Manokwari, tanggal 21 Juli 1950, dari keluarga pejuang OPM (Organisasi Pupua Merdeka). Ayah saya, Pieter Bonsapia adalah salah satu pendiri OPM," ujar Abdul Halim alias Ayah Pupua, dalam bincang-bincang dengan Serambi di sebuah warung kopi, di Uleekareng, Banda Aceh, Sabtu (21/1).
Ia menyeruput kopi dalam-dalam. Rokok kretek merek Dunhill nyaris tidak pernah lepas dari celah dua bibirnya. Padahal, asbak di depan kami nyaris sudah penuh dengan puntung rokok miliknya.
Baru setengah jam duduk, dia sudah minta tambah satu gelas kopi lagi kepada pelayan warung. "Kami di Papua biasanya minum kopi dalam gelas besar," kata dia sambil memeragakan ukuran gelas dengan tangannya.
"Bukan 'kopi' dalam botol?" goda temannya yang juga mantan aktivis GAM. "Kadang-kadang juga," sahut Ayah Papua sambil cengar cengir.
Ayah Papua memang sosok yang enak diajak bicara. Meski baru kenal, dia langsung bisa akrab dan bercerita panjang lebar tentang kisah hidupnya. Mulai dari saat SMA di Sorong, hingga kisah-kisah heroik saat harus bergerilya di Aceh masa konflik dulu.
"Saya lahir di Manokwari, tanggal 21 Juli 1950, dari keluarga pejuang OPM (Organisasi Pupua Merdeka). Ayah saya, Pieter Bonsapia adalah salah satu pendiri OPM," ujar Abdul Halim alias Ayah Pupua, dalam bincang-bincang dengan Serambi di sebuah warung kopi, di Uleekareng, Banda Aceh, Sabtu (21/1).
Ia menyeruput kopi dalam-dalam. Rokok kretek merek Dunhill nyaris tidak pernah lepas dari celah dua bibirnya. Padahal, asbak di depan kami nyaris sudah penuh dengan puntung rokok miliknya.
Baru setengah jam duduk, dia sudah minta tambah satu gelas kopi lagi kepada pelayan warung. "Kami di Papua biasanya minum kopi dalam gelas besar," kata dia sambil memeragakan ukuran gelas dengan tangannya.
"Bukan 'kopi' dalam botol?" goda temannya yang juga mantan aktivis GAM. "Kadang-kadang juga," sahut Ayah Papua sambil cengar cengir.
Ayah Papua memang sosok yang enak diajak bicara. Meski baru kenal, dia langsung bisa akrab dan bercerita panjang lebar tentang kisah hidupnya. Mulai dari saat SMA di Sorong, hingga kisah-kisah heroik saat harus bergerilya di Aceh masa konflik dulu.
***
Sebagai putra
pejuang, Ayah Papua sudah biasa ditinggal pergi oleh ayahnya. "Pada
tahun 1974, ayah saya hijrah ke Vanuatu, dan mulai saat itu beliau kerap
keluar masuk Papua-Vanuatu melalui jalur ilegal," ungkapnya.Meski kerap ditinggal pergi ayahnya, tak membuat Abdul Halim tertinggal dari segi pendidikan. Selepas SMA di Sorong (kini Papua Barat), Abdul Halim melanjutkan pendidikannya ke Akademi Ilmu Pelayaran Surabaya. Namun, Halim hanya bertahan selama dua tahun. Ia kemudian memutuskan pindah ke Institut Ilmu Pemerintah (IIP) di Jakarta. Namun, lagi-lagi Halim hanya sanggup bertahan selama dua tahun. "Saya baru mendapat sarjana setelah ambil persamaan di Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang," ujarnya.
Ijazah S-1 dari Politeknik Semarang itu tidak disia-siakannya. Dengan dasar tersebut, Halim melanjutkan kuliah untuk mengambil spesialisasi bidang Well Control di University Austin Texas, Amerika Serikat.
Selepas dari Texas, Abdul Halim alias Ayah Papua, mulai bekerja di Continental
Oil Company (Conoco), sebagai tenaga bidang pengeboran minyak lepas
pantai. Pekerjaan ini lah yang mengantarnya bersentuhan dengan Aceh.
"Tahun 1979, saya menikah dengan gadis Aceh Rosdiana Juned, di
Tapanuli
Selatan. Kami kenal di sana (Tapsel)," ujarnya.
Setahun di Tapsel, Abdul Halim dikontrak oleh perusahaan pengeboran minyak Mobil Oil untuk ditugaskan di wilayah Aceh Timur. Di sinilah dia mulai bersentuhan dengan para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Saat itu saya mulai tertarik dengan perjuangan mereka (GAM), tapi saya belum terlibat aktif," ujarnya.
Baru pada tahun 1986, dia mulai mencoba-coba aktif di GAM dengan tugas pertama sebagai petugas di bidang komunikasi (radio). Meski mulai aktif di GAM, Abdul Halim tetap menjalani tugas rutinnya yang pada tahun 1987 menjadi staf pengeboran di perusahaan Medco, subkontrak Mobil Oil di bidang pengeboran.
"Keterlibatan saya di GAM bukan serta merta, melainkan melalui sebuah pemikiran cukup panjang. Akhirnya saya ambil kesimpulan bergabung karena menurut saya ini adalah perjuangan mulia, untuk mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya.
Keputusan Ayah Papua bergabung dengan GAM bukan tanpa konsekwensi, saat pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, Ayah Papua harus meninggalkan pekerjaan yang baru satu tahun digelutinya di Medco.
"Pada tahun 1989 saya hijrah ke Malaysia, dan baru kembali menjelang satu tahun pencabutan status DOM (1998). Setelah status DOM dicabut, kami kembali aktif membangun kekuatan dengan di bawah komando Analfiah Julok.
Sejak itu, berbagai kisah heroik dialaminya. Sebagai pejuang Ayah Papua, jarang berkumpul dengan keluarganya. Kondisi Ayah Papua Cs semakin terjepit saat pemerintah RI menetapkan status Darurat Militer pada tahun 2003.
"Saat itu kami kerap keluar masuk Aceh. Kebanyakan dari kami membuat basis di Kerinci, Jambi. Banyak dari teman-teman kami meninggal di medan perang. Alhamdulillah, saya masih dilindungi, hingga bisa menikmati perdamaian saat ini," ujarnya mengenang.
Dua dari tujuh anaknya (2 perempuan 5 laki-laki), juga aktif di GAM. "Satu orang TNA (tentara GAM) dan satu lainnya sipil," terang dia.
Setahun di Tapsel, Abdul Halim dikontrak oleh perusahaan pengeboran minyak Mobil Oil untuk ditugaskan di wilayah Aceh Timur. Di sinilah dia mulai bersentuhan dengan para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Saat itu saya mulai tertarik dengan perjuangan mereka (GAM), tapi saya belum terlibat aktif," ujarnya.
Baru pada tahun 1986, dia mulai mencoba-coba aktif di GAM dengan tugas pertama sebagai petugas di bidang komunikasi (radio). Meski mulai aktif di GAM, Abdul Halim tetap menjalani tugas rutinnya yang pada tahun 1987 menjadi staf pengeboran di perusahaan Medco, subkontrak Mobil Oil di bidang pengeboran.
"Keterlibatan saya di GAM bukan serta merta, melainkan melalui sebuah pemikiran cukup panjang. Akhirnya saya ambil kesimpulan bergabung karena menurut saya ini adalah perjuangan mulia, untuk mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya.
Keputusan Ayah Papua bergabung dengan GAM bukan tanpa konsekwensi, saat pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, Ayah Papua harus meninggalkan pekerjaan yang baru satu tahun digelutinya di Medco.
"Pada tahun 1989 saya hijrah ke Malaysia, dan baru kembali menjelang satu tahun pencabutan status DOM (1998). Setelah status DOM dicabut, kami kembali aktif membangun kekuatan dengan di bawah komando Analfiah Julok.
Sejak itu, berbagai kisah heroik dialaminya. Sebagai pejuang Ayah Papua, jarang berkumpul dengan keluarganya. Kondisi Ayah Papua Cs semakin terjepit saat pemerintah RI menetapkan status Darurat Militer pada tahun 2003.
"Saat itu kami kerap keluar masuk Aceh. Kebanyakan dari kami membuat basis di Kerinci, Jambi. Banyak dari teman-teman kami meninggal di medan perang. Alhamdulillah, saya masih dilindungi, hingga bisa menikmati perdamaian saat ini," ujarnya mengenang.
Dua dari tujuh anaknya (2 perempuan 5 laki-laki), juga aktif di GAM. "Satu orang TNA (tentara GAM) dan satu lainnya sipil," terang dia.
Panggilan Ayah Papua
Abdul Halim (Ayah Papua) |
Saat
tsunami menerjang Aceh 26 Desember 2004, Ayah Papua menjadi salah satu
orang pertama yang paling terpukul. Tanpa memedulikan statusnya sebagai
buronan aparat keamanan, Ayah Papua bekerja keras untuk mengevakuasi
mayat-mayat yang berserakan di seputar Banda Aceh dan Aceh Besar.
"Saat itu, banyak relawan datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka lebih suka memanggil saya Ayah Papua. Padahal nama saya Abdul Halim, sementara saat konflik dulu, saya dikenal dengan nama Sofyan atau Bang Yan," ujarnya.
Sejak menetap di Aceh pada tahun 1980, Abdul Halim alias Ayah
Pupua telah melewati berbagai pengalaman hidup yang akan diceritakan
kepada anak cucunya kelak. Tentang bagaimana ia meninggalkan
pekerjaannya di perusahaan minyak, untuk kemudian keluar masuk hutan
dengan memanggul senjata. Juga tentang bagaimana ia memunguti mayat para
korban konflik dan korban bencana tsunami terdahsyat di abad ini.
Meski usianya sudah berkepala lima, bukan berarti Ayah Papua tidak lagi punya cita-cita. "Saya memendam hasrat untuk membagikan ilmu tentang perdamaian di Aceh ini kepada teman-teman di Papua. Bahwa berjuang itu tidak mutlak dengan senjata. Sudah cukup mereka berjuang puluhan tahun dengan senjata, kini saatnya mereka harus berjuang melalui jalur politik, seperti yang dilakukan teman-teman saya di Aceh," ujarnya.
Ia berpendapat, perdamaian Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, bukan saja telah menyelamatkan nyawa ribuan rakyat Aceh dan Indonesia. Tapi, perdamaian yang melahirkan butir-butir kesepahaman (MoU) Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), juga telah mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh.
"Orang-orang Aceh yang dulu terpinggirkan dan tinggal di desa-desa, kini telah bisa menjadi pemimpin formal yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hasil perjuangan ini juga melahirkan para pemuda kritis dan pintar. Ini merupakan aset bagi Aceh untuk bisa berbicara lebih banyak lagi di tingkat nasional," ujarnya.
"Saat delegasi masyarakat adat Papua dan DPR Papua berkunjung ke Aceh beberapa waktu lalu, saya menyerahkan dokumen MoU Helsinki dan UUPA. Saya bilang, generasi Papua harus banyak belajar ke Aceh, harus banyak orang Papua datang melihat Sabang. Jangan hanya melihat Mereuke saja. Mereka harus sadar bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka berdirinya Indonesia," tambah dia.
Pendapat bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka Indonesia, kata Ayah Papua, didasarkan pada lirik lagu "Dari Sabang Sampai Mereuke" ciptaan R. Surarjo. Lirik yang dimaksudnya "Dari Sabang sampai Merauke, Berjajar pulau-pulau,
Sambung-menyambung menjadi satu Itulah Indonesia...."
"Dari lagu itu jelas bahwa pemilik Indonesia sesungguhnya adalah Aceh dan Papua, yang lainnya numpang. Makanya, saya selalu bilang, kalau mau memperbaiki Indonesia, maka perhatikan dulu Aceh dan Papua. Selama ini pemerintah hanya membangun wilayah tengah saja. Sedangkan kerangkanya (Aceh dan Papua) diabaikan. Apa tidak hancur bangsa ini," ujarnya penuh semangat.
Atas dasar itu pula, saat ini Ayah Papua sedang mencoba menjajaki memfasilitasi perdamaian di Papua melalui Interpeace, lembaga yang hingga kini masih mengawal perdamaian di Aceh. Dia akan mengajak para pemuda Aceh untuk menurunkan ilmunya kepada masyarakat di Papua.
"Mereka (warga Papua) harus meningkatkan harkat dan martabat bangsa Papua, tidak hanya sekedar berani mati. Kalau modal nekat, sudah dimiliki pejuang di Papua. Sekarang tinggal dikombinasikan dengan ilmu politik yang mumpuni," katanya.
Lalu apakah kondisi Aceh saat ini sudah cukup ideal? "Belum, masih butuh perjuangan panjang. Tapi saya pikir, Aceh sudah lebih baik daripada Papua. Saya pikir, yang perlu dilakukan di Aceh setelah proses reintegrasi selesai, adalah regenerasi. Secara perlahan, para pemimpin Aceh harus menyerahkan tongkat kepemimpinan di beberapa bidang kepada para pemuda. Sehingga suatu hari nanti, mereka benar-benar telah siap memimpin dan mewujudkan kesejahteraan, serta mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya.
Ayah Papua yang kini aktif di Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Aceh ini juga punya saran kepada pemerintah pusat untuk tidak mengabaikan aspirasi dari para mantan kombatan GAM. "Perjuangan hari ini adalah perjuangan dengan konsentrasi dan penuh perdamaian. Jadi bangsa ini tolong hargai aspirasi mereka. Sebab kalau tidak dihargai, kita akan membuka ruang bagi terjadinya upaya penghancuran kerangka Republik ini," ungkap Ayah Papua.
Mengomentari tentang aksi penembakan yang marak terjadi di Aceh beberapa minggu lalu, Ayah Papua mengaku tidak yakin kalau aksi itu dilakukan oleh para mantan kombatan. Apalagi sampai dikait-kaitkan dengan sentimen anti-Jawa di Aceh.
"Saya sudah merasakan saat bergabung dengan GAM, tidak ada perbedaan ras dan warna kulit. Sekarang juga di PA didoktrin seperti itu, semua penduduk ber- KTP Aceh punya kesempatan yang sama untuk berkiprah di PA. Jadi kami para mantan kombatan, tidak pernah anti dengan pendatang. Bahkan banyak kombatan berasal dari suku Jawa," tukas Ayah Papua.
Sumber : Serambi Indonesia
Meski usianya sudah berkepala lima, bukan berarti Ayah Papua tidak lagi punya cita-cita. "Saya memendam hasrat untuk membagikan ilmu tentang perdamaian di Aceh ini kepada teman-teman di Papua. Bahwa berjuang itu tidak mutlak dengan senjata. Sudah cukup mereka berjuang puluhan tahun dengan senjata, kini saatnya mereka harus berjuang melalui jalur politik, seperti yang dilakukan teman-teman saya di Aceh," ujarnya.
Ia berpendapat, perdamaian Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, bukan saja telah menyelamatkan nyawa ribuan rakyat Aceh dan Indonesia. Tapi, perdamaian yang melahirkan butir-butir kesepahaman (MoU) Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), juga telah mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh.
"Orang-orang Aceh yang dulu terpinggirkan dan tinggal di desa-desa, kini telah bisa menjadi pemimpin formal yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hasil perjuangan ini juga melahirkan para pemuda kritis dan pintar. Ini merupakan aset bagi Aceh untuk bisa berbicara lebih banyak lagi di tingkat nasional," ujarnya.
"Saat delegasi masyarakat adat Papua dan DPR Papua berkunjung ke Aceh beberapa waktu lalu, saya menyerahkan dokumen MoU Helsinki dan UUPA. Saya bilang, generasi Papua harus banyak belajar ke Aceh, harus banyak orang Papua datang melihat Sabang. Jangan hanya melihat Mereuke saja. Mereka harus sadar bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka berdirinya Indonesia," tambah dia.
Pendapat bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka Indonesia, kata Ayah Papua, didasarkan pada lirik lagu "Dari Sabang Sampai Mereuke" ciptaan R. Surarjo. Lirik yang dimaksudnya "Dari Sabang sampai Merauke, Berjajar pulau-pulau,
Sambung-menyambung menjadi satu Itulah Indonesia...."
"Dari lagu itu jelas bahwa pemilik Indonesia sesungguhnya adalah Aceh dan Papua, yang lainnya numpang. Makanya, saya selalu bilang, kalau mau memperbaiki Indonesia, maka perhatikan dulu Aceh dan Papua. Selama ini pemerintah hanya membangun wilayah tengah saja. Sedangkan kerangkanya (Aceh dan Papua) diabaikan. Apa tidak hancur bangsa ini," ujarnya penuh semangat.
Atas dasar itu pula, saat ini Ayah Papua sedang mencoba menjajaki memfasilitasi perdamaian di Papua melalui Interpeace, lembaga yang hingga kini masih mengawal perdamaian di Aceh. Dia akan mengajak para pemuda Aceh untuk menurunkan ilmunya kepada masyarakat di Papua.
"Mereka (warga Papua) harus meningkatkan harkat dan martabat bangsa Papua, tidak hanya sekedar berani mati. Kalau modal nekat, sudah dimiliki pejuang di Papua. Sekarang tinggal dikombinasikan dengan ilmu politik yang mumpuni," katanya.
Lalu apakah kondisi Aceh saat ini sudah cukup ideal? "Belum, masih butuh perjuangan panjang. Tapi saya pikir, Aceh sudah lebih baik daripada Papua. Saya pikir, yang perlu dilakukan di Aceh setelah proses reintegrasi selesai, adalah regenerasi. Secara perlahan, para pemimpin Aceh harus menyerahkan tongkat kepemimpinan di beberapa bidang kepada para pemuda. Sehingga suatu hari nanti, mereka benar-benar telah siap memimpin dan mewujudkan kesejahteraan, serta mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya.
Ayah Papua yang kini aktif di Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Aceh ini juga punya saran kepada pemerintah pusat untuk tidak mengabaikan aspirasi dari para mantan kombatan GAM. "Perjuangan hari ini adalah perjuangan dengan konsentrasi dan penuh perdamaian. Jadi bangsa ini tolong hargai aspirasi mereka. Sebab kalau tidak dihargai, kita akan membuka ruang bagi terjadinya upaya penghancuran kerangka Republik ini," ungkap Ayah Papua.
Mengomentari tentang aksi penembakan yang marak terjadi di Aceh beberapa minggu lalu, Ayah Papua mengaku tidak yakin kalau aksi itu dilakukan oleh para mantan kombatan. Apalagi sampai dikait-kaitkan dengan sentimen anti-Jawa di Aceh.
"Saya sudah merasakan saat bergabung dengan GAM, tidak ada perbedaan ras dan warna kulit. Sekarang juga di PA didoktrin seperti itu, semua penduduk ber- KTP Aceh punya kesempatan yang sama untuk berkiprah di PA. Jadi kami para mantan kombatan, tidak pernah anti dengan pendatang. Bahkan banyak kombatan berasal dari suku Jawa," tukas Ayah Papua.
Sumber : Serambi Indonesia