Jumat, 02 Desember 2011

Antara Aceh dan Kosovo

 
Tidak mengejutkan bahwa sebelum penandatanganan perjanjian damai Aceh pada bulan Juli 2005, rakyat di propinsi yang penduduknya mayoritas Muslim tersebut menuntut kemerdekaannya. Tuntutan tersebut merupakan balasan atas perlakuan tidak adil dan pelanggaran atas hak-hak yang telah diderita rakyat Aceh selama hampir 30 tahun.
Dapat dimengerti, permintaan maaf yang disampaikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001 atas penderitaan rakyat Aceh di bawah pemerintahan sebelumnya tidak cukup untuk menyelesaikan konflik tersebut. Bahkan ketika Megawati telah menandatangani sebuah undang-undang yang memberikan otonomi lebih besar di Aceh, dan memberikan bagian sangat besar dari pendapatan yang berasal dari sumber-sumber daya alamnya, semua itu juga masih belum cukup. Tidak juga upaya-upaya dialog Presiden Abdurrahman Wahid yang dianggap memadai untuk mengakhiri konflik tersebut.
Ironisnya, perjuangan rakyat Aceh berhadapan dengan oposisi dari umat Muslim Indonesia dari luar Aceh, yang berpikir bahwa kemerdekaan propinsi tersebut berarti berakhirnya negara Indonesia. Tsunami 2004-lah, dan bukan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Muslim) atau silaturahmi (persahabatan) di kalangan Muslim, seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, yang menjadi katalis bagi pembicaraan damai dan perjanjian terakhir.
Pengistiharan kemerdekaan Kosovo pada 17 Februari 2008 yang lalu masih menjadi kenangan bagi masyarakat Aceh khususnya. Kemerdekaan Kosovo sempat menjadi perbincangan hangat di keude-keude kupi seluruh Aceh. Diselah-selah perbincangan itu ada di antara mereka yang berangan-angan kapankah Aceh akan menjadi seperti Kosovo?, ada juga yang masih ragu-ragu dengan apa yang sedang terjadi di Kosovo, yang menarik ada yang pesimis dengan apa yang berlaku di Kosovo akan terjadi di Aceh.
Kelompok inilah telah merasa puas dengan keadaan yang ada sekarang, mereka tidak mau ambil pusing dengan keadaan yang terjadi di luar atau realita yang akan terjadi di Aceh. Bagi mereka yang terpikir hanya apa yang dapat mereka perolehi dan nikmati dengan keadaan Aceh sekarang ini. Keadaan yang sama ini mengingat penulis ketika era pengistiharan kemerdekaan Timur Leste pada 1999. Kemerdekaan Timur Leste juga melahirkan berbagai persepsi dikalangan masyarakat Aceh, sehingga datang inspirasi pemuda Aceh untuk menggerakkan idea perjuangan melalui REFERENDUM ACEH, walapun akhirnya perjuangan ini telah senyap seiring waktu berlalu.
Kemerdekaan Kosovo yang telah di proklamirkan bukanlah sebuah ilusi atau Republik mimpi, tapi ia suatu kenyataan di mana pada abad ke 21 ini telah lahir lagi sebuah Negara baru di dunia. Walapun pengistiharan kemerdekaan Kosovo sempat melahirkan pro dan kontra terutama bagi Negara Rusia dan Serbia, akan tetapi dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa Perdana Menteri Kosovo Hashim Thaci, pada hari minggu tanggal 17 Februari 2008 telah mengumandangkan kemerdekaan Kosovo dari Serbia. Pengistiharan kemerdekaan tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Kosovo dan tarikh itu akan dicatat dengan tinta emas oleh mereka. Kini Kosovo telah menjadi Negara merdeka, bebas, berdaulat, dan berdemokrasi ditanah air sendiri.
Sebenarya bila kita tinjau perjalanan konflik dan perjuangan masyarakat Kosovo agaknya tidak jauh berbeda dengan perjuangan masyarakat Aceh, sebelum diistiharkan menjadi Negara merdeka, Kosovo merupakan wilayah miskin yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Albania yang beragama Islam. Wilayah yang sebagian besar kawasannya adalah daratan yang merupakan salah satu daerah di benua Eropa yang termiskin. Lebih dari setengah penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Meskinpun memiliki sumber kekayaan mineral, namun agrikultur (budi daya pertanian) menjadi kegiatan utama perekonomian penduduk. Sekitar 2 juta jiwa atau 90 persen dari penduduk Kosovo berasal dari suku Albania, 100.000 orang Serbia menetap di Kosovo sebagai eksodus pasca perang non Albanian. Minoritas Serbia ini hidup di kawasan terpisah, dengan pengawasan dari pasukan keamanan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Orang-orang Slavic dan Albania sudah tinggal di Kosovo sejak delapan abad yang lalu.
Kosovo adalah pusat kerajaan Serbia hingga pertengahan abad ke 14, Serbia menganggap Kosovo sebagai tempat kelahiran negaranya. Kekalahan Serbia dipertempuran tahun 1389, menyebabkan selama berabad-abad Kosovo berada di bawah kekuasaan Muslim Ottoman (Usmaniyyah) . Serbia mendapatkan kembali di Kosovo pada tahun 1913 dan propinsi tersebut tergabung sebagai bagian dari federasi Yugoslavia.
Serbia dan suku Albania berlomba untuk menguasai Kosovo sepanjang abad ke 20. Tekanan pada tahun 1960-an terhadap identitas nasional Albania di Kosovo membuka garis toleransi dari Beograd. Etnik Albania mulai memperoleh kedudukan dalam pemerintahan di Kosovo dan Yugoslavia. Pada tahun 1974 konstitusi Yugoslavia memposisikan status Kosovo sebagai propinsi dengan otonomi sendiri, upaya tersebut untuk meminimalisasi keinginan Kosovo untuk merdeka pada tahun 1980 atau setelah meninggalnya presiden Yugoslavia, Tito.
Akan tetapi, kekecewaan atas pengaruh Kosovo terhadap Federasi Yugoslavia di manfaatkan oleh pemimpin selanjutnya, Slobodan Milosevic. Setelah menjadi presiden pada tahun 1989, ia meneruskan untuk melucuti kekuasaan otonomi Kosovo. Pelucutan tersebut telah melahirkan sebuah gerakan perlawanan suku Albania atau di kenal juga dengan istilah gerakan pembebasan Kosovo (Kosovo liberalization Army/KLA).
Gerakan ini berlangsung pada tahun 1990-an yang bertujuan untuk kemerdekaan atau minimal untuk mengembalikan otoritas otonomi bagi masyarakat Kosovo walaupun akhirnya mereka gagal mendapatkannya. Para gerilyawan Kosovo melakukan serangan dan tekanan bersenjata ke Serbia. Serangan tersebut telah memicu tindakan kejam militer Yugoslavia. Slobodan Milosevic menolak kesepakatan komisi Internasional untuk mengakhiri konflik. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Albania di Kosovo, memicu serangan udara NATO melawan Serbia pada bulan Maret 1999.
Ratusan dari ribuan pengungsi membanjiri Albania, Mecodonia dan Montenegro. Ratusan orang menjadi korban akibat konflik tersebut, Militer Serbia diusir paksa bertepatan dengan musim panas pada tahun 1999. sejak saat itu PBB mengambil alih pengawasan pemerintah atas propinsi tersebut. Status Kosovo sebelum merdeka pada bulan Februari 2008 adalah sebagai propinsi dari Serbia, sekaligus merupakan perpecahan dari Yugoslavia. Pengawasan pemerintah berlangsung di bawah naungan PBB. Jumlah penduduk di Kosovo sekitar 1,8 juta hingga 2,4 juta dengan ibu kota Pristina.. Bahasa utama yang digunakan oleh penduduk adalah bahasa Albania dan Serbia. Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk adalah agama Islam dan Kriten.
Sekilas pandang perjuangan masyarakat Kosovo sebelum merdeka memang mereka lalui dengan penuh liku-liku, pengorbanan dan air mata juga membasahi bumi Kosovo, akan tetapi keinginan untuk bertapak di negeri sendiri dan hidup lebih bermartabat telah menyatukan langkah dan keinginan mereka untuk mencapai satu tujuan atau dalam bahasa krennya Udep Saree Matee Syahid. Memang benar pepatah Aceh yang menyatakan "Panee Padee Meuyoe Hana Bijeh" ( padi tidak akan menghasikan panen tanpa ada benih), Meuyoe Ka Meupakat Lampoh Jeurat Tapeugala (kalau kita sudah bersatu semua akan mampu kita laksanakan).
Sebenarnya pepatah Aceh itu telah memberi isyarat yang sangat mendalam bagi masyarakat Aceh agar selalu menjaga kebersamaan serta tidak mudah diadu domba oleh kepentingan orang lain. Masyarakat Aceh perlu berpandangan jauh kedepan. Hendaknya rakyat Aceh makin mematangkan pikiran masyarakat Aceh untuk mengambil pilihan dan kesimpulan siapa sebenarnya yang tidak ikhlas terhadap masa depan Aceh. Kematangan tersebut akan melahirkan nilai suci untuk memilih masa depan yang lebih bermartabat. Akankah apa yang terjadi di Kosovo juga akan terjadi terhadap rakyat Aceh? hanya waktu dan rakyat Aceh yang mampu menjawabnya.
Ungkapan ini mungkin sesuai untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai sebuah bangsa yang pernah merasakan arti kemerdekaan dan kejayaan "Hate Beu Teutap Beusunggoh-Sunggoh, Surak Beurioh Hai Peunerus Bangsa, Dum Geutanyoe Pahlawan Gagah, Tamanoe Beubasah Ta Bela Bangsa", Wallahu'alam.