Sabtu, 03 Desember 2011

MENGENAI SEJARAH HUBUNGAN RUSIA - INDONESIA


Catatan yang dibuat oleh pedagang Afanasy Nikitin dari kota Tver mengenai “perjalanannya melampaui tiga laut” – perjalanan ke India (pada tahun 1466-1472) menyampaikan data pertama kepada orang Rusia mengenai adanya suatu negara misterius bernama Shabot yang terletak di Asia Tenggara. Menurut pendapat para ilmuwan apa yang dimaksudkan dengan nama tersebut adalah negara Indonesia dengan pusatnya di pulau Sumatera. Dalam naskah A. Nikitin tercantum data menarik mengenai letaknya negara dongeng yang jauh itu, mengenai kekayaan alamnya, adat-istiadat dan tradisi rakyatnya. Menurut catatannya1negara Shabot yang terletak diantara India dan Cina, telah menjalin hubungan dagang dengan tetangganya dari Utara.
Indonesia selalu menarik perhatian orang Rusia. Nusantara tropis ini berkali-kali dikunjungi oleh pengembara dan peneliti dari Rusia.
Pada awal abad ke-XVI Indonesia dikuasai oleh penjajah dari Eropa. Pada mulanya penjajahnya adalah bangsa Portugis. Setelah “armada agungnya” hancur pada tahun 1588, Portugis yang pada waktu itu bergabung dengan Spanyol, kehilangan Indonesia: dari tangan Portugis Indonesia direbut oleh bangsa Belanda. Pada tahun 1602 pedagang Belanda mendirikan “Syarikat Hindia – Timur Belanda (V.O.C)” yang memperoleh hak untuk mempunyai tentara sendiri, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, mengeluarkan uang dsb. Indonesia menjadi milik Belanda selama 350 tahun. Dalam kurun waktu tersebut rakyat Indonesia memberontak 50 kali melawan penjajahan Belanda.
Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari rakyat Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan konflik Aceh dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lainnya termasuk dari Rusia juga.
Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang, delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang Pemimpin Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan Rusia”. Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan tersebut yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar Negeri. Jawaban Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan menyatakan bahwa pada saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa tidak mungkin “membahas masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi warganegara Rusia berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman diantara Pemerintahan Imperator dengan Belanda”.
Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah perlindungan Rusia.
Kementrian Luar Negeri pada tanggal 24 April 1904 menyampaikan kepada Konsulat Rusia di Singapura bahwa “menurut kesimpulan departemen kelautan yang dihubungi dalam hal ini, bahwa permohonan tersebut tidak mungkin dikabulkan. Maka berdasarkan hal tersebut dan dengan memperhatikan pula bahwa dari segi lain mengabulkan permohonan Sultan dapat menyebabkan kesulitan yang tak diharapkan dengan pihak Belanda yang mempunyai koloni di bagian selatan pulau tersebut, kami mohon agar Anda dengan perkataan yang ramah menolak usulan tersebut dari Sultan Aceh”.
Sebagai akibat dari pengaktifan politik luar negeri di kawasan Timur Jauh pada tahun 90-an di abad ke-XIX, Pemerintah Rusia memperlihatkan perhatiannya terhadap Indonesia. Kapal-kapal militer Rusia dalam pelayarannya ke Vladivostok mulai lebih sering memasuki pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1885, telah dibuka wakil-konsulat tidak tetap Rusia di Batavia (nama Jakarta pada zaman itu). Sesuai dengan saran dari Kementrian Kelautan pada tahun 1893 konsulat tersebut dirubah menjadi konsulat tetap. Namun pembukaan konsulat tidak mendorong perluasan hubungan diantara Rusia dan Indonesia. Perdagangan diantara kedua negara tersebut tidak dijalankan secara langsung, melainkan melalui Belanda, Jerman dan Inggris pada umumnya.
Konsul tetap Rusia di Batavia yang pertama dan terakhir, M.M.Bakunin bertugas selama lima tahun (1895 –1899). Tidak hanya sekali beliau mengajukan usulan yang berdasar mengenai pembukaan hubungan dagang langsung diantara Rusia dan Indonesia. Misalnya M.M. Bakunin mengusulkan agar komite Armada Sukarela membuka rute pelayaran reguler diantara Odessa dan Vladivostok dengan singgah di salah satu pelabuhan Indonesia. Disamping ini M.M. Bakunin mengusulkan agar membuat percobaan kultivasi teh Jawa, tembakau Sumatera (delhi) dan tumbuhan lainnya di kawasan selatan Rusia. Namun usulan tersebut tidak mendapat dukungan di lingkungan pemerintahan.
Maka dengan kenyataan demikian pemeliharaan Konsulat tetap Rusia di Batavia menjadi sia-sia, sehingga pada tahun 1899 statusnya diturunkan menjadi tidak tetap, dan pada tahun 1913 konsulat ditutup.
Indonesia yang secara politis tergantung penuh kepada Belanda, tidak berhak untuk mempunyai perwakilan di luar negeri atau menjalin hubungan dengan negara tetangga sekalipun. Seluruh hubungan luar negeri Indonesia dalam bidang ekonomi berada dibawah pengawasan total administrasi kolonial Belanda.
Pada bulan Maret 1942 penguasa Belanda di Indonesia menyerah kepada tentara Jepang yang kemudian menduduki Negara Indonesia.
Setelah Uni Soviet mengumumkan perang terhadap Jepang, dalam suasana kekalahan telak militaris Jepang, pada umumnya terjadi peningkatan gerakan kemerdekaan-pembebasan di kawasan Timur, wakil-wakil gerakan patriotik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno menjadi Presiden pertama Republik, Wakil-Presiden – M.Hatta. Namun Belanda tidak menghentikan usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya dan akhirnya berhasil menduduki kembali sebagian besar wilayah Indonesia. Dalam sidang PBB pada bulan Januari 1946 Uni Soviet yang pertama menentang aksi Belanda terhadap Indonesia.
Pada Januari 1949, Konferensi 19 negara Asia di New Delhi mengajukan tuntutan ke Dewan Keamanan PBB untuk memaksa Belanda membebaskan wilayah yang diduduki dan memberikan kepada Indonesia kedaulatan penuh sebelum tanggal 1 Januari 1950. Pada akhirnya Belanda terpaksa duduk di meja perundingan dengan wakil-wakil Indonesia yang diselenggarakan di Den Haag pada Agustus 1949.
Segera setelah selesainya perundingan, pada tanggal 24 Desember 1949 Duta Besar Belanda di Moscow, Wisser, menyerahkan Nota kepada Wakil Menteri Luar Negeri Uni Soviet A.A.Gromyko, yang menyatakan bahwa sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai di Den Haag diantara Belanda dan delegasi Indonesia pada tanggal 2 Nopember 1949 dan yang telah diratifikasikan oleh parlemen semua negara yang berkepentingan, pada tanggal 27 Desember 1949 dalam upacara resmi, Republik Serikat Indonesia akan menerima kedaulatan penuh atas seluruh wilayah Hindia Belanda dengan perkecualian New Guinea Belanda (Irian Barat), dan dengan akte tersebut Republik Indonesia Serikat akan dinyatakan sebagai negara yang  merdeka dan berdaulat.
Dalam Nota tersebut Pemerintah Belanda juga menyampaikan harapan bahwa “setelah pemberian kedaulatan Pemerintah Uni Soviet akan mengakui negara baru”.
Pada 27 Desember 1949 seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, kecuali Irian Barat diserahkan kepada kedaulatan Indonesia.
Pada   25 Januari 1950 A.A.Gromyko menyerahkan Nota Jawaban kepada Duta Wisser dimana Kementrian Luar Negeri Uni Soviet memberitahukan kepada Pemerintah Belanda bahwa “dikarenakan pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag diadakan upacara penyerahan kedaulatan, maka Pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk memberitahukan kepada Pemerintah Rebublik Indonesia Serikat bahwa Pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat, dan menjalin hubungan diplomatik”.
Pada waktu yang sama A.Y. Vyshinskiy mengirim telegram kepada Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Serikat Hatta yang menyatakan bahwa “Pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat dan menjalin hubungan diplomatik”.
Pengumuman resmi TASS mengenai pengakuan Uni Soviet terhadap Indonesia diterbitkan pada tanggal 26 Januari 1950.
Berita mengenai akte tersebut dari Pemerintah Uni Soviet diterima di Indonesia dengan antusias. Pers Jakarta mengapresiasikannya dengan banyaknya publikasi pengumuman dan komentar. Koran ibukota “Merdeka” menerbitkan berita di halaman muka, dengan judul dengan huruf besar “Rusia Soviet mengakui Republik Indonesia Serikat” menempatkan informasi bahwa Menlu Indonesia telah menerima pengumuman resmi dari Pemerintah Rusia mengenai pengakuan Republik. Ditekankan pula bahwa tokoh terkemuka politik dan negarawan Republik telah “menilai positif pengakuan tersebut”. Beberapa anggota pemerintah dan wakil-wakil dari lingkungan penguasa di Jakarta menyampaikan pendapatnya bahwa berkat pengakuan tersebut bertambah pula kesempatan bagi Republik Indonesia Serikat untuk menjadi anggota PBB.
Pada tanggal 2 Pebruari 1950 diselenggarakan sidang kabinet menteri Republik dimana disahkan jawaban pihak Indonesia atas pengumuman Pemerintah Soviet tertanggal 25 Januari 1950. Dalam telegram jawaban Menteri Luar Negeri Indonesia M. Hatta, yang dikirim dari Jakarta ke Moscow pada tanggal 3 Pebruari 1950 mengkonfirmasikan diterimanya telegram dengan keputusan Pemerintah Uni Soviet yang mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat dan merencanakan menjalin hubungan diplomatik. “Menilai dengan sepatutnya keputusan tersebut, saya atas nama Pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan rasa hormat yang besar memberitahukan bahwa kami menilai tinggi pengakuan tersebut.
Pemerintah saya selalu terbuka terhadap mulainya pembicaraan mengenai realisasi hubungan diplomatik”.
Tanggal diterimanya jawaban positif dari Pemerintah Indonesia (3 Pebruari 1950) atas pemberitahuan Pemerintah Soviet mengenai pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dijadikan tanggal pembukaan resmi hubungan diplomatik diantara kedua negara tersebut.
Pada pertengahan bulan Pebruari, Pemerintah Indonesia mendapat usulan dari Pemerintah Soviet untuk memulai pembicaraan. Dalam telegramnya Kementrian Luar Negeri Uni Soviet tertanggal 15 Pebruari 1950 memberitahukan: “Ada dua cara untuk mengadakan pembicaraan, yaitu apakah Anda mengutus wakilnya, atau kami mengutus wakil kami kepada Anda. Kami menyetujui kedua cara tersebut dan kami ingin tahu mana yang lebih berkenan untuk Anda?. Pihak kami menyetujui kedua-duanya.”
Pada 21 Pebruari 1950 Hatta mengirim telegram kepada A.Y.Vyshinskiy dimana beliau menyatakan: “dengan rasa puas kami menyampaikan bahwa kami menerima usulan Anda. Kami akan mengutus wakil-wakil kami untuk mengadakan perundingan. Mengenai tanggal dan susunan delegasi akan kami beritahukan selanjutnya melalui telegram”.
Masyarakat Indonesia membahas secara luas perspektif-perspektif hubungan Soviet-Indonesia: misalnya, pada awal bulan Maret anggota Parlemen dari Partai Nasional Manai Sophian mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah mengenai rencana lanjutannya guna menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Pada tanggal 11 Maret, dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat, M. Hatta mengumumkan bahwa kini sedang dilakukan pembentukan delegasi Pemerintah yang dikepalai oleh L.N.Palar untuk melaksanakan pembicaraan di Moskow mengenai langkah-langkah konkrit dalam rangka menjalin hubungan diplomatik.
Pada tanggal 11 April, Hatta mengirim telegram kepada A.Y.Vyshinskiy dimana beliau menyatakan: “Delegasi Indonesia dalam rangka mengadakan pembicaraan mengenai pertukaran misi diplomatik berangkat dari Jakarta ke Moscow pada tanggal 15 April 1950”.
Dalam susunan delegasi Indonesia terdapat Lambertus Nicodemus Palar – kepala delegasi, Sujono Hadinoto – pemimpin fraksi PNI di parlemen, Jusuf Wibisono – anggota parlemen, wakil ketua partai Masyumi, dan Mohammad Yamin – ketua seksi parlemen untuk bidang urusan luar negeri, beserta Rubiyono – sekretaris dan Nuradi – penerjemah.
Delegasi tiba di Moscow pada tanggal 29 April. Pada tanggal 3 Mei kepala delegasi menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri Uni Soviet A.Y.Vyshinskiy surat dari Perdana menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Serikat, M.Hatta yang menyatakan bahwa Palar diberikan wewenang untuk mengadakan pembicaraan mengenai pertukaran perwakilan diplomatik dengan Uni Soviet.
Pada tanggal 3 dan 5 Mei delegasi diterima oleh A.Y.Vyshinskiy. Waktu resepsi pada tanggal 5 Mei Palar menyatakan bahwa keputusan Pemerintah Uni Soviet untuk mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat memberi harapan bagi masyarakat Indonesia bahwa Uni Soviet akan mendukung permintaan Indonesia menjadi anggota Persatuan Bangsa-Bangsa. Palar menambahkan bahwa hal ini dikaitkan Pemerintah Indonesia dengan pertukaran perwakilan diplomatik diantara Uni Soviet dan Indonesia.
Atas pernyataan Palar A.Y.Vyshinskiy menjawab bahwa “pada pembahasan di Persatuan Bangsa-Bangsa, permintaan Indonesia untuk menjadi anggota PBB, Pemerintah Soviet akan membahas masalah ini dengan bertimbang rasa”.
Palar menyampaikan juga pertimbangannya bahwa sebelum pertukaran perwakilan diplomatik dilakukan sebaiknya diawali dengan pengiriman kelompok kecil oleh masing-masing negara, yaitu Uni Soviet ke Jakarta dan Indonesia ke Moscow guna melakukan pekerjaan yang diperlukan untuk mempersiapkan penempatan perwakilan. (Pada pembicaraan telah disepakati bahwa perwakilan akan mempunyai status kedutaan).
Pertanyaan Vyshinskiy bagaimana pendapat delegasi mengenai pembicaraan lanjutan, dijwab oleh Palar: langkah-langkah berikutnya harus berupa pertukaran Nota-Nota mengenai perjanjian diplomatik untuk masing-masing Duta.
Setibanya di Jakarta pada tanggal 15 Mei Palar menyatakan bahwa delegasi telah menyelesaikan tugas yang diberikan dan beliau sendiri puas dengan hasil pembicaraan di Moscow. Pada malam hari yang sama Palar, Hadinoto, Wibisono dan Yamin diterima oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 16 Mei, Kabinet Menteri Republik Indonesia mendengarkan laporan delegasi mengenai hasil pembicaraan di Uni Soviet. Dalam sidang tersebut Soekarno turut hadir. Komunike resmi yang dipublikasikan setelah sidang, menyatakan mengenai tercapainya persetujuan diantara Uni Soviet dan Indonesia untuk mengadakan pertukaran kedutaan dan didapatkannya dukungan dari pemerintah Uni Soviet terhadap keanggotaan Indonesia di PBB.
Pada bulan Agustus 1950 Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik dengan 34 negara.
Kementrian Luar Negeri Indonesia menghadapi tugas berat, yaitu mendirikan misi diplomatiknya, terutama di negara-negara terbesar di dunia, serta melengkapi susunan kepegawaian dengan kader-kader nasional. Pada akhir tahun Indonesia telah mempunyai 28 misi diluar negeri dengan status yang berbeda-beda: 17 – di Asia, 6 – di Eropa, 4 – di Amerika, dan 1- di Afrika. Pada keseluruhan ke-28 misi ini bekerja 94 diplomat dan pegawai konsulat Indonesia. Akibat tidak adanya tenaga kerja sendiri yang berkualifikasi dalam jumlah yang cukup, maka untuk tahap awal terpaksa mengundang beberapa diplomat Belanda untuk bekerja di dinas luar negeri Republik Indonesia. Selanjutnya dengan bertahap seluruh diplomat Belanda digantikan oleh orang Indonesia.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan September 1950 Uni Soviet membantu Indonesia menjadi anggota PBB.
Pada tanggal 9 Pebruari 1953, wakil kepala komisi bidang urusan luar negeri Dewan Perwakilan Rakyat O.Rondonuwu (kelompok nasionalis), anggota parlemen D.Gondokusumo (Partai Rakyat Nasional), Asraruddin (Partai Buruh), Djokoprawiro (Partai Indonesia Agung) dan M.Nitimihardjo (partai Murba) mengajukan kepada Dewan agar membahas proyek resolusi mengenai pertukaran secepatnya perwakilan diplomatik dengan Uni Soviet. Pencipta draft resolusi menyatakan bahwa “politik luar negeri Indonesia yang netral akan belum sempurna sampai dengan Uni Soviet dan Indonesia melaksanakan pertukaran perwakilan diplomatik…Pembukaan kedutaan akan memperbesar kesempatan untuk menukarkan bahan baku dari Indonesia, misalnya karet, dengan peralatan industri dari Rusia”.
Pada tanggal 9 April 1953 Dewan Perwakilan Rakyat dengan 82 suara setuju dan 42 suara tidak setuju, menyetujui resolusi O.Rondonuwu mengenai pertukaran perwakilan dengan Uni Soviet pada tahun yang sama, yaitu 1953.
Pada sidang VIII DK PBB yang dilakukan pada September 1953 di New York, Menteri Luar Negeri Indonesia Soekarno secara lisan memberitahukan kepada kepala delegasi Soviet  A.Y.Vyshinskiy mengenai niat pemerintah Indonesia membuka kedutaannya di Uni Soviet. Sebagai penegasannya pada 30 Nopember, Sunaryo mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Uni Soviet dimana sekali lagi dinyatakan mengenai niat pemerintah Indonesia membuka kedutaannya di Moscow dalam waktu dekat. “Saya akan sangat berterima kasih apabila Bapak Yang Mulia memberitahukan apakah usulan ini dapat diterima oleh Pemerintah Uni Soviet”.
Pada tanggal 17 Desember, Menteri Luar Negeri Uni Soviet menginformasikan Sunaryo bahwa “usulan dari Pemerintah Indonesia tersebut mendapat sambutan positif dari Pemerintah Soviet. Pada gilirannya Pemerintah Soviet siap mengirim Duta Besar Uni Soviet ke Jakarta”.
Pada upacara penyerahan surat kepercayaan kepada Kepala Presidium Dewan Tertinggi Uni Soviet K.E.Voroshilov di Kremlin, yang diadakan pada tanggal 13 April 1954, Duta Besar Indonesia pertama untuk Uni Soviet Subandrio atas nama pemerintahnya menyatakan bahwa rakyat Indonesia telah lama mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan diplomatik, serta hubungan persahabatan yang erat diantara kedua negara. Duta Besar menekankan bahwa menjalin hubungan persahabatan yang didasari persamaan hak, baik dengan Uni Soviet maupun dengan negara-negara dan masyarakat dunia lainnya, membuka kesempatan bagi Republik Indonesia membuat hubungan erat dengan Uni Soviet dalam bidang ekonomi, yang mana akan membuka kesempatan menggunakan kemajuan teknik dan pengalaman Uni Soviet dengan tujuan menaikan taraf hidup rakyat Indonesia.
Perdana Menteri Sastroamidjoyo pada tanggal 16 Agustus 1954 melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang pelaksanaan keputusannya mengenai pertukaran perwakilan diplomatik dengan Uni Soviet. Dia memberitahukan anggotanya mengenai keikutsertaan Indonesia dalam kerja beberapa konferensi internasional. Seiring dengan keikut sertaan dalam sidang Majelis Umum PBB, Indonesia mengirim delegasinya untuk ikut rapat Dana Moneter Internasional, MOT, konferensi mengenai permasalahan pelayaran (Ceylon), ke Konferensi Islam Ekonomi Internasional (KII) di Karachi dan pertemuan internasional lainnya.
Pada tanggal 14 September 1954 Duta Besar Luar Biasa dan Dengan Kuasa Penuh Uni Soviet di Indonesia D.A.Zhukov datang ke Jakarta. Beliau memberikan pengumuman kepada pers dimana atas nama rakyat Uni Soviet beliau menyampaikan sambutan yang hangat serta kehendak agar rakyat Indonesia memperoleh kebahagiaan, kemakmuran, dan meyakinkan bahwa “perkembangan hubungan diplomatik diantara Uni Soviet dan Republik Indonesia akan mempunyai dampak positif terhadap perluasan kerjasama negara kita dalam bidang politik, ekonomi dan budaya, yang mana akan mendorong perluasan dan penguatan persahabatan, serta mengabdi pada kepentingan perdamaian dunia dan keamanan internasional”.
Pada tanggal 20 September, Duta Besar D.A.Zhukov menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Soekarno. Dalam Dokumen yang ditandatangani oleh Kepala Presidium Dewan Tertinggi Uni Soviet K.E.Voroshilov secara khusus menekankan bahwa “dengan menganut politik yang mempererat hubungan antara negara-negara dan dengan keinginan mengembangkan hubungan persahabatan diantara Uni Soviet dan Indonesia, maka Presidium Dewan Tertinggi Uni Soviet memutuskan dan di hadapan Anda mengangkat Tuan Dmitriy Aleksandrovich Zhukov menjadi Duta Besar kami yang Luar Biasa dan Dengan Kuasa Penuh “.
Dokumen pertama, yang merupakan suatu hasil periode awal dalam hubungan diantara Uni Soviet dan Indonesia adalah Pernyataan Bersama Uni Soviet – Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 11 September 1956 di Moscow oleh Wakil Satu Menteri Luar Negeri Uni Soviet A.A.Gromyko dan Menteri Luar Negeri Indonesia R. Abdulgani. Isi dokumen tersebut membuktikan bahwa hubungan didirikan atas dasar lima prinsip yang diketahui oleh seluruh dunia, yaitu saling menghormati keutuhan teritori dan kedaulatan, tidak menyerang, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara, persamaan dan saling menguntungkan, hidup berdampingan secara damai.
Dalam pernyataan bersama ditandai juga dengan tercapainya kesepakatan diantara kedua belah pihak mengenai pengaturan kerjasama dalam bidang perdagangan dan ekonomi-teknik yang dilakukan berdasarkan prinsip persamaan dan saling menguntungkan. Keputusan Uni Soviet dan Indonesia untuk mengembangkan kerjasama dalam bidang budaya, melakukan pertukaran delegasi, mahasiswa dan budayawan mempunyai arti penting dalam tercapainya pengertian yang mendalam diantara kedua negara kami.