Kamis, 26 April 2012

Perdamaian Aceh tak Boleh Setback

Gubernur Aceh terpilih Zaini Abdullah didampingi Pemangku Wali Nanggroe Malik Mahmud saat bertemu dengan Prof Jimly Ashidiqqie, di Jakarta, Rabu (25/4

JAKARTA - Perdamaian yang sudah dicapai di Aceh tidak boleh setback (mengalami kemunduran). Soalnya, stabilitas politik di Aceh  akan menjadi tolok ukur bagi daerah lainnya seperti Papua.

Guru Besar Hukum Tata Usaha Negara Universitas Indonesia, Prof Dr Jimly Ashiddiqie, mengatakan hal itu saat mendapat kunjungan kehormatan gubernur Aceh terpilih, dr Zaini Abdullah di kantornya, Gedung BPPT, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (25/4) pagi.

“Damai ini harus bisa terus berjalan, harus dilanjutkan. Aceh juga merupakan laboratorium Islam,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.

Dalam pertemuan yang berlangsung 1,5 jam itu, Prof Jimly menawarkan konsep ‘ecocracy’ untuk Aceh yang akan memperkuat ‘green democracy’ demi pemerintahan yang lebih baik.

Versi Jimly, Aceh harus menjadi ‘green province’ dalam segala hal, apalagi dr Zaini memiliki pengalaman di luar negeri.

Jimly lebih lanjut mengatakan bahwa di Indonesia harus dibangun paham keanekaragaman, mengingat begitu banyak potensi keanekaragaman (diversity). Ia contohkan Aceh dengan status otonomi khususnya yang tidak mungkin disamakan dengan provinsi lain.

Selanjutnya Prof Jimly mengharapkan Aceh menjadi lebih baik lagi di masa mendatanng di bawah kepemimpinan duet Zaini-Muzakir Manaf.

“Kami hanya bisa bantu dari Jakarta,” demikian Prof Jimly seraya menyebutkan dirinya sangat surprise atas perolehan suara pasangan “Zikir” yang melaju sampai 55 persen lebih dalam pilkada 9 April lalu.

Setelah roadshow ke beberapa pejabat Jakarta, pasangan gubernur/wakil gubernur Aceh terpilih, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf melanjutkan serangkaian kunjungan ke duta besar (dubes) negara sahabat.

Sepanjang Rabu (25/4), pemimpin Aceh yang baru itu bersama Pemangku Wali Nanggroe Malik Mahmud, Zakaria Saman, dan sejumlah tokoh teras Partai Aceh, bertemu dengan Dubes Swedia dan Perwakilan Eropa. Sehari sebelumnya bertemu Dubes Australia.

Dubes Swedia Ewa Polano menilai kemenangan pasangan Zaini-Muzakir sebagai fase memasuki era baru menuju pemerintahan yang diharapkan sesuai MoU Helsinki.

“Dubes Swedia menyampaikan selamat atas kemenangan yang diraih pasangan Zikir,” kata Jubir Partai Aceh Fachrul Razi mengutip pernyataan Dubes Polano.

Pemerintah Swedia menyatakan kesediaan dan komitmennya membantu pembangunan Aceh sesuai dengan kebutuhan di Aceh berdasarkan implementasi MoU Helsinki.

Langkah awal yang akan dilakukan, menurut dubes, adalah    membantu proses demokrasi, pemberdayaan ekonomi, pembangunan air bersih, serta membantu bidang kehutanan dan memfasilitasi hidupnya perekonomian Aceh.

Dalam pertemuan itu juga dibicarakan konsep Aceh ke depan sesuai visi misi gubernur/wakil gubernur terpilih dan Aceh berharap didukung negara negara Eropa dan dapat mengadopsi model-model yang ada di Swedia seperti bidang pemerintahan, antikorupsi, pendidikan, lingkungan, serta hak asasi manusia.

Dalam bidang kesehatan dr Zaini menawarkan kerja sama dengan Pemerintah Swedia dalam bentuk peningkatan kapasitas tenaga medis serta penyediaan beasiswa untuk putra-putri Aceh.

Menurut Razi, kedutaan Swedia akan memfasilitasi beberapa SDM yang ada di Swedia dalam upaya kerja sama dan studi banding serta capacity building, khususnya mempelajari sistem rumah sakit di Swedia.

Saat pertemuan di Perwakilan Uni Eropa, delegasi Aceh diterima Charles Whiteley (Acting Head of Delegation/Charge d’Affaires). Pertemuan tersebut membicarakan perkembangan bantuan Uni Eropa kepada Aceh sejak 2005 sampai 2012.

Uni Eropa menyatakan tetap memberi perhatian kepada Aceh yang baru saja menyelesaikan pilkada damai.

Dalam kesempatan itu Dubes Eropa menyampaikan rencana persiapan kedatangan mediator perundingan RI-GAM Martti Ahtisaari ke Aceh pascapilkada.