SYAHDAN, Bahwa
keturunan bangsa Aceh adalah dari tanah Persia. Seperti kita sering
dengar kepanjangan ACEH sebagai Arab, China, Eropah, dan Hindia. Namun
sampai sekarang jarang para sarjana yang mengangkat kisah seperti ini.
Hanya Affan Jamuda dan A.B. Lila Wangsa yang menulis “Peungajaran
Peuturi Droe Keudroe (Pelajaran mengenal diri sendiri)” menyebutkan:
“Wangsa Acheh saboh wangsa nyang jak meunanggroe rot blah barat pulo Ruja. Wangsa nyan asai phon nibak wangsa Achemenia, Wangsa Achemenia nyang asai jih phon bah binak buket Kaukasus di Europa teungoh. Wangsa Achemenia nyang hudep bak thon 2500 GM (gohlom masehi). Wangsa Achemenia saboh wangsa nyang harok meurantoe, sampoe wangsa nyang meusipreuk bansaboh Asia, Afrika, Europa ngon pulo Ruja. Nyang saboh turonan neuweh u tanoh Parsi jeut keuwangsa Parsia, nyang sabih suke neuweh u pulo Ruja, dudoe teuma jeut keu-wangsa Acheh. Wangsa Acheh asai phon nibak wangsa Achemenia-Parsia-Acheh”. Affan Jamuda and AB. Lila Wangsa, Peungajaran Peuturi Droe Keudroe (Pidie: Angkasa Muda, 2000).
Terjemahannya; Bangsa Aceh
adalah satu bangsa yang membangun negeri di sebelah barat Pulau Ruja.
Bangsa ini asalnya dari bangsa Achemenia, bangsa Achemenis berasal dari
sebuah bukit Kaukasus di Eropa Tengah. Bangsa Achemenia hidup sekitar
2500 Tahun sebelum Masehi. Bangsa Achemenia satu bangsa yang suka
merantau, sampai bangsa ini tersebar di seluruh Asia, Afrika, Eropa dan
juga Pulau Ruja. Satu keturunan pindah ke tanah Persia, kemudian menjadi
bangsa Persia, yang satu suku lagi pindah ke Pulau Ruja, kemudian lahir
bangsa Aceh. Bangsa Aceh pertama sekali berasal dari bangsa
Achmenia-Parsia-Acheh).
Tentu saja itu bukan sebuah
kebetulan, jika kemudian kita temukan akar sejarah migrasi manusia dari
Persia, bahkan sebelum Raja Darius (521-486 Sebelum Masehi) yang
menguasai Persia, konon beragama Zoroasther. Raja ini menyebarkan sayap
pemerintahannya sampai Eropa, Anatolia, Mesir, Mesopotamia, dan India
Barat. Dalam buku A History of World Societies disebutkan bahwa: “They
had created “world empire” encompassing of the oldest and most honored
kingdoms and peoples of the ancient Near East.” Jadi, ada benarnya
bahwa penggalan lagu Rafly di atas, yaitu “Beek tabeoh kada wangsa
meutuwah; turounan meugah meuri-ri wangsa; khujja ngoen majja lakap
geupajah; turoenan meugah dorius raja.
Sampai sekarang, bukti sejarah
ini memang masih mengundang sejumlah tanda tanya. Sebab, di dalam
sejarah, selalu disebutkan nama Parsia di dalam sejarah Aceh, namun
jarang yang bisa menarik kembali kemana arah sejarah Aceh sebelum Masehi
atau sebelum Islâm datang ke daerah ini. Pada masa Darius dan anaknya
Xerxes (486-464 Sebelum Masehi), mereka telah membangun suatu monarki
kekuasaan, yang ternyata telah disebutkan sebagai “world empire”
(kerajaan dunia) hingga menjadi cikal bakal beberapa kerajaan di Timur
Tengah.
Kemudian Jamuda dan Lilawangsa
menulis: hon teuka di tanoh Parsi (Iran-Irak jinoe). Sabab musabab
neueuka sampoe roh neumeunanggroe lam pulo ruja. Bak zameun Raja Dorius
neumat keurajeun di Parsia, lam masa nyang kuasa keurajeun Raja Dorius
luah lagoina mulai di Meuser troh u Hindi ngan lam pula Ruja. Lam masa
nyan keu wangsa-ureung bako-bako di nanggroe Parsia neujak duek u
nanggroe blah barat pulo Ruja nyang dudoe neulakap Nanggroe Aceh. Yoh
goh nyang lam tanoh Acheh kana Aulia-Aulia Allah, nyang sahe naggroe
Acheh milek harta Aulia-Aulia Allah (Bangsa Persia sebelum menjadi
bangsa Aceh, pertama kali datang di tanoh Parsia (Iran-Irak sekarang).
Sebab datang sampai membangun
negeri di Pulau Ruja. Pada masa zaman Raja Darius memegang tampuk
kekuasaan di Persia, pada waktu itu wilayah kekuasaan Raja Darius
sangatlah luas sekali mulai dari Mesir hingga ke India sampai ke Pulau
Ruja. Pada zaman itu berbagai bangsa di negeri Persia berangkat menetap
di sebelah Barat Pulau Ruja kemudian diberinama Nanggroe Aceh. Sebelum
itu di tanah Aceh sudah ada wali-wali Allah, yang jaga negeri Aceh milik
harta-harta Aulia Allah).
Jadi, dapat dipastikan bahwa
asal usul indatu orang Aceh adalah dari Parsia yang datang ke Pulau
Ruja, sebuah pulau yang kemudian diberi nama Aceh. Namun yang menarik
adalah jika benar pada zaman Raja Darius yang beragama Zoroasther sudah
ada Wali-Wali Allah di Aceh, maka pertanyaannya adalah apa benar sudah
ada agama yang menyembah Allah sebelum Masehi.
Sebab ungkapan bahwa Aceh milik atau tanah para Wali juga ditemukan dalam ungkapan lagu Rafly berikut, Han
geu meu kafe ureung Aceh nyang/’Saweub bumoe nyang tanoh Aulia/
Geutem sut nyawong peudong kheun Allah/ Kameunan reusam geutung
pusaka (Tidak akan menjadi Kafir orang Aceh itu/Sebab bumi ini
adalah tanah Aulia/ Rela mengeluarkan nyawa untuk mempertahankan kalimah
Allah/ Begitu adat yang diambil sebagai pusaka)
.Sayangnya semua sejarah itu masih berupa catatan perang. Kegemilangan
Aceh sebagai salah satu kerajaan besar hanya cerita manis.
Ada yang menarik tentang Aceh,
yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat
sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua
suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep
kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian
etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan
merupakan jihad.
Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik
Kuta Karang dengan karyanya kitab Hikayat Prang Sabi yaitu membakar
semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama. Dalam
konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias
bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan
etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri
asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee
lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok
bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”.
Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.
Mengenai asal usul masyarakat
Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee
membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia,
Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok
Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu
dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang.
Pimpinannya diberi gelar dengan
panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut. Sedangkan orang Gayo,
sebagaimana dikutip Gerini (HM. Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan
Dagroian sesuai dengan catatan- catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian
berasal dari kata-kata drang - gayu, yang berarti orang Gayo.
Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu
bisa saja berpunca di dalam masyarakat itu sendiri atau bersumber dari
luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Aceh mempunyai
comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama
sebelum ke bagian Nusantara.
Terakhir, saya ingin menegaskan
bahwa dalam sejarah kebudayaan Aceh, persoalan bersatu dan berpisah
adalah hal yang sangat biasa. Artinya, mereka bisa bersatu dengan
kelompok manapun,namun budaya yang sudah mengakar yang dibalut dengan
kualitas tradisi Islam tidak akan pernah dapat dihentikan. Jiwa
nasionalisme orang Aceh yang menjadi bagian dari Indonesia merupakan
satu nafas dalam perjuangan mereka, sejauh itu tidak dikhianati.
Adapun nasionalisme di Indonesia
walaupun masih didominasi oleh pemahaman kebudayaan Jawa, agaknya
memang telah mewariskan persoalan sejarah yang tercecer. Artinya,
sejarah nasionalisme di Indonesia adalah sejarah yang dikendalikan oleh
pemerintah. Sehingga dinamika kebudayaan di daerah dianggap sebagai
‘aset’ bukan pelaku utama, untuk tidak mengatakan mereka tidak
memberikan arti yang signifikan. Hal ini belum lagi dimana ‘aset’ budaya
Indonesia cenderung dijadikan sebagai objek untuk kepentingan sosial
politik, bukan kepentingan kebudayaan bangsa Indonesia.
* M. Adli Abdullah; adalah dosen dan Sejarawan Aceh