JIKA
perempuan selalu mengeluh tentang ketidakberdayaan dirinya dan selalu
saja menjual duka dan kesedihan, maka patutlan bila perempuan itu
dianggap lemah dan tak berdaya. Bila perempuan selalu menuntut haknya
atas nama keadilan namun kemudian hanya untuk eksistensi dan
ekslusifitasnya, maka patutlah jika perempuan itu dituntut untuk lebih
dulu menjalankan kewajibannya. Sebuah bukti ketidakpercayaan diri,
ketidakyakinan pada diri, dan tidak memiliki identitasnya sebagai
perempuan. Duh, coba belajar dari Mahalayati, Tjut Nya' Dhien, Cut
Meutia, dan perempuan-perempuan Aceh lainnya di masa lalu!
Ironis sekali bila perempuan Aceh saat ini tidak merasa hebat sehingga selalu butuh bantuan dan banyak melakukan tuntutan dengan dalih feminisme dan hak asasi. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi mengingat perempuan Aceh sangatlah hebat. Berbeda dengan perempuan di negeri Eropa atau Amerika, peranan mereka dari jaman ke jaman memang masih sangat kurang, sehingga mereka harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Dari dulu juga banyak perempuan Aceh yang sudah menjadi pemimpin, kalau mereka?!
Keumahalayati atau yang lebih dikenal dengan Mahalayati barangkali satu-satunya laksamana perempuan di dunia yang memimpin angkatan laut untuk berperang melawan penjajah. Meskipun beliau adalah seorang anak perempuan dari petinggi kesulatanan Aceh, namun tidak berarti beliau menjadi seorang perempuan manja yang menghargai dirinya mahal dan dinilai secara materi. Bila manja dan tak berdaya, tak mungkin beliau yang ditunjuk oleh Sultan Alauddin II Mansur I Syah untuk menjadi panglima angkatan laut Kesultanan Aceh menggantikan suaminya, seorang pejuang Aceh, yang sudah wafat pada saat itu. Bahkan pada tahun 1602, kekuatan armada beliau telah berhasil membuat Inggris memilih jalan damai, sebuah metode diplomatik untuk dapat masuk ke Selat Malaka. Hebat banget, kan?!
Begitu juga dengan Tjut Nya' Dhien yang terlahir sebagai perempuan Aceh dari keluarga aristokrat yang sangat taat dalam beragama dan beribadah, tidak ada cerita beliau tidak bisa apa-apa. Padahal, apa yang kurang dari beliau, harta, kecantikan, dan kepandaian, semua ada. Duduk-duduk saja menikmati semua saja bisa, tetapi beliau justru memilih untuk turun langsung berperang melawan penjajah. Tidak mudah, lho, melakukan gerilya, mental baja benar-benar harus dimiliki. Agama yang sangat kuat pun tidak menghalangi beliau untuk tidak menjadi seorang pemimpin. Beliau tidak perlu menunjukkan bagaimana cantik, baik, dan relijiusnya beliau dari penampilan, tetapi dari apa yang dilakukannya karena semua itu tak mungkin dilakukan bila hatinya tidak cantik, baik, dan beriman.
Tjut Nyak Meutia, yang juga cantik, berdarah biru, dan berstatus janda, tidak bisa dilecehkan dan direndahkan begitu saja. Nyalinya sangat liar biasa. Pada saat tempat persembuyian beliau ditemukan Belanda pada tahun 1910 di Paya Cicem, beliau tak menyerah begitu saja. Rencong tetap dicabutnya untuk melawan meski beliau harus mati ditembak oleh penjajah. Ini menunjukkan betapa hebatnya perempuan Aceh yang sebenarnya.
Bila ada yang beralasan bahwa para pahlawan perempuan Aceh itu bisa demikian karena mereka adalah bangsawan, jangan salah! Kehebatan perempuan Aceh dari kalangan masyarakat biasa yang bukan pemimpin pun dapat dibuktikan lewat hadih madja dan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh perempuan Aceh pada saat berjuang. Adalah sebuah kehormatan bagi perempuan Aceh bila mampu melepaskan suami dan anak-anaknya untuk pergi berjuang meski tahu besar kemungkinan mereka tak lagi dapat berjumpa. Mati syahid bukan hal yang menakutkan bagi mereka, tetapi kehormatan.
Jika sekarang perempuan Aceh menjadi tidak hebat lagi, ya, itu salah sendiri, kok! Kenapa tidak kenal pada diri sendiri?! Mengapa tidak belajar untuk menjadi perempuan Aceh yang sejatinya. Tak perlu terus menuntut, tetapi apakah sudah mampu membuktikannya?! Jangan salahkan terus yang lain, tapi buktikan dulu bahwa diri sendiri sudah melakukan kewajibannya sebagai seorang perempuan dan seorang perempuan Aceh sejati yang tak cengeng, tidak manja, dan tak mampu dibeli kemerdekaannya oleh setumpuk harta. Tidak juga sibuk dengan mencari eksistensi, populeritas, pengakuan, dan berebut menjadi seolah yang paling suci. Mana hasil karya kalian?!
Yang paling membuat saya merasa terhina, meskipun saya bukan perempuan Aceh, bila ada, baik pria maupun perempuan Aceh sendiri yang menilai perempuan Aceh hanya dari penampilan semata. Rambut yang dicatlah, pakaian yang ketatlah meski berjilbab, nongkrong dengan para prialah sampai larut malam, itu-itu saja yang dipersoalkan untuk menilai dan mengkategorikan perempuan baik dan islami serta yang "nakal" dan modern. Memangnya dulu para pejuang perempuan Aceh itu pakaiannya bagaimana?! Siapa yang berada di sekitar dan sekeliling mereka?! Apakah dengan penampilan mereka yang menggunakan baju adat Aceh tanpa jilbab dan selalu berada di antara pria siang dan malam, maka mereka bukan perempuan baik-baik dan tidak terhormat?! Duh, masa hanya sampai segitu saja pemikirannya?! Kalau begitu, ganti saja semua foto mereka dengan menggunakan pakaian yang dianggap menutup aurat, biar sekalian hilang semua yang pernah ada di Aceh dan telah membuat Aceh berjaya. Manusia beradab dan terhormat tak akan pernah melupakan sejarahnya dan tak akan pernah berani untuk tidak menghargai jasa pahlawannya.
Tega sekali menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan. Tidak malu sama Tuhan hingga mampu menentukan siapa yang suci dan tidak berdosa?! Apakah diri sendiri sudah benar seorang muslim yang mengikuti aturan dan kaidah yang sudah diberikan Allah?! Bila benar, maka sadar dan tahu persis bahwa nilai itu hanyalah milik Dia dan bukan manusia. Aurat manusia pun ada di dalam hati dan pikiran masing-masing. Meski ditutupi serapat apapun, yang namanya pikiran kotor dan hati yang tidak bersih, dapat tercermin dari pola pikir, bersikap, dan bertutur. Siapa yang salah bila terangsang dan bergairah bila melihat perempuan berjilbab?!
Saya tidak anti jilbab, siapapun berhak untuk memilih menggunakannya atau tidak. Namun bagi saya, memaksa perempuan Aceh menggunakannya, dengan dalih apapun, sudah sangat tidak manusiawi. Allah menciptakan manusia dengan segala perbedaannya, dan manusia menjadi sama karena diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan pilihan. Resiko dan konsekuensi serta tuntunannya sudah ada dan diberikan juga oleh Dia lewat ayat-ayat suci. Urusan surga dan neraka bukan manusia yang menentukan, tetapi Dia. Sehingga, bila ada pemaksaan, buat saya sama saja artinya dengan melecehkan Allah sendiri. Dia saja memberikan kebebasan kepada ciptaannya untuk memilih, dan itulah yang membuat manusia dapat disebut sebagai makhluk yang paling sempurna. Apakah karena manusia maka merasa sudah lebih dari Tuhannya sendiri?! Akal dan budi sudah diberikan, sehingga seharusnya mampu untuk memilih. Jika ada manusia yang memaksa, meski menggunakan atas nama Dia, berarti apa?! Untuk sholat pun harus diawali dengan niat dari dalam hati sendiri, baru bisa mendirikannya, apakah ada yang bisa memaksakannya?!
Menurut saya, inilah salah satu juga hal lain yang membuat perempuan Aceh kian melemah. Segala sesuatu yang dipaksakan akan membuat manusia tiada lagi memiliki kemampuan untuk menemukan jati dirinya sendiri. Apalagi bila yang selalu dihebohkan adalah soal fisik dan materi terus, baik oleh pria maupun perempuan sendiri. Padahal, jalan untuk dapat menemukan Dia adalah dengan tahu persis apa dan siapa dirinya. Jika kita kenal diri kita sendiri, maka kita akan memiliki kepribadian, jati diri yang kuat, dan tidak mudah goyah. Keimanan dan keyakinan kita tidak perlu lagi harus dipertanyakan ataupun dibuktikan lewat penampilan semata, tetapi oleh pola pikir, sikap, perbuatan, dan hasil karya. Itu juga yang membuat perempuan Aceh di masa lalu hebat dan mampu melawan penjajah. Pertahanan terkuat orang Aceh, bukan pada fisiknya, tetapi pada pemikiran dan hatinya.
Wahai perempuan Aceh, yakin dan banggalah pada diri kalian sendiri. Janganlah merendahkan diri kalian sendiri dengan mengemis dan menjual semua duka nestapa serta ketidakberdayaan kalian. Perempuan bukanlah pria, tetapi takdir sebagai seorang perempuan adalah anugerah yang seharusnya dihargai dan dihormati. Perempuan bukanlah makhluk yang lemah dan tak berdaya, mampu mengandung dan melahirkan anak adalah bukti kekuatan perempuan. Pria adalah pemimpin namun perempuanlah yang menguasai dunia, karena itu tak perlu mengejar eksistensi dan pengakuan. Berhentilah berpikir hanya untuk kesenangan dunia, tetapi bahagiakanlah diri kalian sendiri dan semua dengan menjadi merdeka dalam damai di dalam hati dan pikiran kalian.
Jadilah seorang perempuan sejati, jadilah seorang perempuan Aceh sejati yang benar hebat demi masa depan dan kehidupan yang akan datang. Surga ada di telapak kaki kalian, adalah kewajiban kalian untuk membawa generasi selanjutnya menuju kebahagiaan yang senantiasa. []
Sumber
Ironis sekali bila perempuan Aceh saat ini tidak merasa hebat sehingga selalu butuh bantuan dan banyak melakukan tuntutan dengan dalih feminisme dan hak asasi. Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi mengingat perempuan Aceh sangatlah hebat. Berbeda dengan perempuan di negeri Eropa atau Amerika, peranan mereka dari jaman ke jaman memang masih sangat kurang, sehingga mereka harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Dari dulu juga banyak perempuan Aceh yang sudah menjadi pemimpin, kalau mereka?!
Keumahalayati atau yang lebih dikenal dengan Mahalayati barangkali satu-satunya laksamana perempuan di dunia yang memimpin angkatan laut untuk berperang melawan penjajah. Meskipun beliau adalah seorang anak perempuan dari petinggi kesulatanan Aceh, namun tidak berarti beliau menjadi seorang perempuan manja yang menghargai dirinya mahal dan dinilai secara materi. Bila manja dan tak berdaya, tak mungkin beliau yang ditunjuk oleh Sultan Alauddin II Mansur I Syah untuk menjadi panglima angkatan laut Kesultanan Aceh menggantikan suaminya, seorang pejuang Aceh, yang sudah wafat pada saat itu. Bahkan pada tahun 1602, kekuatan armada beliau telah berhasil membuat Inggris memilih jalan damai, sebuah metode diplomatik untuk dapat masuk ke Selat Malaka. Hebat banget, kan?!
Begitu juga dengan Tjut Nya' Dhien yang terlahir sebagai perempuan Aceh dari keluarga aristokrat yang sangat taat dalam beragama dan beribadah, tidak ada cerita beliau tidak bisa apa-apa. Padahal, apa yang kurang dari beliau, harta, kecantikan, dan kepandaian, semua ada. Duduk-duduk saja menikmati semua saja bisa, tetapi beliau justru memilih untuk turun langsung berperang melawan penjajah. Tidak mudah, lho, melakukan gerilya, mental baja benar-benar harus dimiliki. Agama yang sangat kuat pun tidak menghalangi beliau untuk tidak menjadi seorang pemimpin. Beliau tidak perlu menunjukkan bagaimana cantik, baik, dan relijiusnya beliau dari penampilan, tetapi dari apa yang dilakukannya karena semua itu tak mungkin dilakukan bila hatinya tidak cantik, baik, dan beriman.
Tjut Nyak Meutia, yang juga cantik, berdarah biru, dan berstatus janda, tidak bisa dilecehkan dan direndahkan begitu saja. Nyalinya sangat liar biasa. Pada saat tempat persembuyian beliau ditemukan Belanda pada tahun 1910 di Paya Cicem, beliau tak menyerah begitu saja. Rencong tetap dicabutnya untuk melawan meski beliau harus mati ditembak oleh penjajah. Ini menunjukkan betapa hebatnya perempuan Aceh yang sebenarnya.
Bila ada yang beralasan bahwa para pahlawan perempuan Aceh itu bisa demikian karena mereka adalah bangsawan, jangan salah! Kehebatan perempuan Aceh dari kalangan masyarakat biasa yang bukan pemimpin pun dapat dibuktikan lewat hadih madja dan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh perempuan Aceh pada saat berjuang. Adalah sebuah kehormatan bagi perempuan Aceh bila mampu melepaskan suami dan anak-anaknya untuk pergi berjuang meski tahu besar kemungkinan mereka tak lagi dapat berjumpa. Mati syahid bukan hal yang menakutkan bagi mereka, tetapi kehormatan.
Jika sekarang perempuan Aceh menjadi tidak hebat lagi, ya, itu salah sendiri, kok! Kenapa tidak kenal pada diri sendiri?! Mengapa tidak belajar untuk menjadi perempuan Aceh yang sejatinya. Tak perlu terus menuntut, tetapi apakah sudah mampu membuktikannya?! Jangan salahkan terus yang lain, tapi buktikan dulu bahwa diri sendiri sudah melakukan kewajibannya sebagai seorang perempuan dan seorang perempuan Aceh sejati yang tak cengeng, tidak manja, dan tak mampu dibeli kemerdekaannya oleh setumpuk harta. Tidak juga sibuk dengan mencari eksistensi, populeritas, pengakuan, dan berebut menjadi seolah yang paling suci. Mana hasil karya kalian?!
Yang paling membuat saya merasa terhina, meskipun saya bukan perempuan Aceh, bila ada, baik pria maupun perempuan Aceh sendiri yang menilai perempuan Aceh hanya dari penampilan semata. Rambut yang dicatlah, pakaian yang ketatlah meski berjilbab, nongkrong dengan para prialah sampai larut malam, itu-itu saja yang dipersoalkan untuk menilai dan mengkategorikan perempuan baik dan islami serta yang "nakal" dan modern. Memangnya dulu para pejuang perempuan Aceh itu pakaiannya bagaimana?! Siapa yang berada di sekitar dan sekeliling mereka?! Apakah dengan penampilan mereka yang menggunakan baju adat Aceh tanpa jilbab dan selalu berada di antara pria siang dan malam, maka mereka bukan perempuan baik-baik dan tidak terhormat?! Duh, masa hanya sampai segitu saja pemikirannya?! Kalau begitu, ganti saja semua foto mereka dengan menggunakan pakaian yang dianggap menutup aurat, biar sekalian hilang semua yang pernah ada di Aceh dan telah membuat Aceh berjaya. Manusia beradab dan terhormat tak akan pernah melupakan sejarahnya dan tak akan pernah berani untuk tidak menghargai jasa pahlawannya.
Tega sekali menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan. Tidak malu sama Tuhan hingga mampu menentukan siapa yang suci dan tidak berdosa?! Apakah diri sendiri sudah benar seorang muslim yang mengikuti aturan dan kaidah yang sudah diberikan Allah?! Bila benar, maka sadar dan tahu persis bahwa nilai itu hanyalah milik Dia dan bukan manusia. Aurat manusia pun ada di dalam hati dan pikiran masing-masing. Meski ditutupi serapat apapun, yang namanya pikiran kotor dan hati yang tidak bersih, dapat tercermin dari pola pikir, bersikap, dan bertutur. Siapa yang salah bila terangsang dan bergairah bila melihat perempuan berjilbab?!
Saya tidak anti jilbab, siapapun berhak untuk memilih menggunakannya atau tidak. Namun bagi saya, memaksa perempuan Aceh menggunakannya, dengan dalih apapun, sudah sangat tidak manusiawi. Allah menciptakan manusia dengan segala perbedaannya, dan manusia menjadi sama karena diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan pilihan. Resiko dan konsekuensi serta tuntunannya sudah ada dan diberikan juga oleh Dia lewat ayat-ayat suci. Urusan surga dan neraka bukan manusia yang menentukan, tetapi Dia. Sehingga, bila ada pemaksaan, buat saya sama saja artinya dengan melecehkan Allah sendiri. Dia saja memberikan kebebasan kepada ciptaannya untuk memilih, dan itulah yang membuat manusia dapat disebut sebagai makhluk yang paling sempurna. Apakah karena manusia maka merasa sudah lebih dari Tuhannya sendiri?! Akal dan budi sudah diberikan, sehingga seharusnya mampu untuk memilih. Jika ada manusia yang memaksa, meski menggunakan atas nama Dia, berarti apa?! Untuk sholat pun harus diawali dengan niat dari dalam hati sendiri, baru bisa mendirikannya, apakah ada yang bisa memaksakannya?!
Menurut saya, inilah salah satu juga hal lain yang membuat perempuan Aceh kian melemah. Segala sesuatu yang dipaksakan akan membuat manusia tiada lagi memiliki kemampuan untuk menemukan jati dirinya sendiri. Apalagi bila yang selalu dihebohkan adalah soal fisik dan materi terus, baik oleh pria maupun perempuan sendiri. Padahal, jalan untuk dapat menemukan Dia adalah dengan tahu persis apa dan siapa dirinya. Jika kita kenal diri kita sendiri, maka kita akan memiliki kepribadian, jati diri yang kuat, dan tidak mudah goyah. Keimanan dan keyakinan kita tidak perlu lagi harus dipertanyakan ataupun dibuktikan lewat penampilan semata, tetapi oleh pola pikir, sikap, perbuatan, dan hasil karya. Itu juga yang membuat perempuan Aceh di masa lalu hebat dan mampu melawan penjajah. Pertahanan terkuat orang Aceh, bukan pada fisiknya, tetapi pada pemikiran dan hatinya.
Wahai perempuan Aceh, yakin dan banggalah pada diri kalian sendiri. Janganlah merendahkan diri kalian sendiri dengan mengemis dan menjual semua duka nestapa serta ketidakberdayaan kalian. Perempuan bukanlah pria, tetapi takdir sebagai seorang perempuan adalah anugerah yang seharusnya dihargai dan dihormati. Perempuan bukanlah makhluk yang lemah dan tak berdaya, mampu mengandung dan melahirkan anak adalah bukti kekuatan perempuan. Pria adalah pemimpin namun perempuanlah yang menguasai dunia, karena itu tak perlu mengejar eksistensi dan pengakuan. Berhentilah berpikir hanya untuk kesenangan dunia, tetapi bahagiakanlah diri kalian sendiri dan semua dengan menjadi merdeka dalam damai di dalam hati dan pikiran kalian.
Jadilah seorang perempuan sejati, jadilah seorang perempuan Aceh sejati yang benar hebat demi masa depan dan kehidupan yang akan datang. Surga ada di telapak kaki kalian, adalah kewajiban kalian untuk membawa generasi selanjutnya menuju kebahagiaan yang senantiasa. []
Sumber