Shadia Marhaban |
BANDA ACEH | Presiden Liga Inong Acheh
(LINA), Shadia Marhaban, menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang
berpidato di Pertemuan Dewan Keamanan PBB dalam Hari Perempuan
Internasional, Kamis (8/3/2012) di New York, Amerika Serikat, atau
Jumat (9/3/2012) WIB.
Shadia menjadi satu dari tiga orang yang
diberi kesempatan untuk memberikan rekomendasi bagi Dewan Keamanan PBB,
terkait promosi hak-hak perempuan se-dunia.
Demikian rilis yang diterima Kompas dari LINA, Sabtu (10/3/2012) ini.
Kegiatan
yang dinamakan Pertemuan Formula Arria di New York tersebut, merupakan
pertemuan antara para anggota Dewan Keamanan PBB dan ahli dalam isu
tertentu, untuk membahas upaya partisipasi perempuan yang lebih besar
dalam mediasi dan resolusi konflik.
Pertemuan itu mengundang tiga
tokoh untuk berpidato, yaitu Betty Atuku Bigombe, Menteri Negara Sumber
Daya Air dari Uganda; Jamal Benomar, Penasihat Khusus Sekertaris Jendral
untuk Yaman; dan Shadia Marhaban, Presiden Liga Inong Acheh (LINA) dari
Indonesia.
Dalam pidatonya, Shadia mengungkapkan, proses
perdamaian di Aceh merupakan model dunia untuk resolusi konflik. Namun,
sebagaimana terjadi di banyak wilayah konflik, isu perempuan
termarjinalkan dari pembahasan.
Oleh karena itu, perdamaian tidak
hanya tentang mengakhiri kekerasan dan menghancurkan senjata, tetapi
juga membangun masyarakat yang lebih baik, di mana hak-hak semua orang
terlindungi, termasuk pengakuan atas peran perempuan.
Shadia juga
menyayangkan kurangnya komitmen pihak yang bertikai, terhadap pemenuhan
aspek keadilan yang terlihat dari belum terlaksananya Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi.
Ketika proses perdamaian hanya fokus pada pelaku
dan bukan para pembangun perdamaian, serta mengabaikan keberagaman
sosial, maka hal ini dapat berdampak buruk bagi hak-hak perempuan.
Dengan
menekankan Resolusi 1325 DK PBB tentang perempuan, perdamaian, dan
kekerasan, peran perempuan harus diperluas melampaui dinding isu gender.
Perempuan harus didukung kapasitasnya dalam proses transisi politik
pascakonflik.
Upaya ini bisa dilakukan, dengan dukungan organisasi
perempuan dan membangun jaringan dengan lembaga yang relevan baik di
tingkat regional maupun internasional.
Menyoal pengalaman Aceh,
Shadia menutup pidato dengan menyimpulkan bahwa proses perdamaian
bukanlah untuk mengakomodir semua tuntutan para pihak, melainkan mencari
kompromi seimbang antarpihak yang tidak mengabaikan hak-hak rakyat. Hal
itu hanya bisa dilakukan dengan sikap inklusif, sehingga memberikan
martabat bagi solusi perdamaian.
LINA adalah lembaga perempuan
yang berdiri sejak tahun 2006, dan memperjuangkan pemberdayaan sosial
politik bagi perempuan dan kelompok masyarakat sipil generasi muda di
Aceh.
Setelah menjadi satu-satunya negosiator perempuan dalam
perundingan damai di Helsinki tahun 2005 lalu, saat ini Shadia Marhaban
juga menjabat Executive Board Asia Pacific Forum dan peneliti di
Weatherhead Center for International Affairs, Universitas Harvard, AS.