Minggu, 04 Maret 2012

Kyoto Dimasa Kekaisaran dan Kini

Kyoto | Dahulu kala, Kyoto adalah ibukota pemerintahan kekaisaran Jepang yang sangat terkenal. Kebudayaannya pun masih lekat hingga kini, termasuk profesi sebagai Geisha.

Di masa silam, Kyoto adalah simbol kekuatan kekaisaran Jepang. Bahkan lebih berkuasa ketimbang Tokyo, yang kini menjadi ibukota Negeri Matahari Terbit.

Sekarang, Kyoto merupakan pusat teknologi canggih. Namun, di balik kekiniannya, kota ini ternyata masih menyimpan budaya yang tak lekang waktu, terlihat dari kehidupan penduduknya.

Misalnya saja Umeka, gadis berusia 16 tahun yang berprofesi sebagai Geiko, istilah untuk Geisha atau wanita penghibur di Kyoto. Umeka memilih jadi Geiko karena sang ayah menginginkannya menemukan pekerjaan tradisional ala Jepang.

Ia melupakan nama asli dan menggantinya jadi Umeko yang secara harafiah berarti kebahagiaan. Umeka menyebut dirinya wanita karir independen. Kliennya harus direkomendasikan dan meneleponnya untuk menghadiri berbagai jamuan.

Umeka bisa ditemui di distrik Geiko Kyoto, Kamishichiken. Ia menari, bermain musik tradisional, menuangkan sake dan bercakap dengan para tamu. Jangan anggap ia murahan, pakaiannya dibuat khusus yang satu saja bisa bernilai US$12 ribu.

Kemudian ada Yoko Okamoto, instruktur aikido ternama dan salah satu yang paling dihormati di Jepang. Ia memiliki sekolah bela diri (dojo) sendiri, sejak tiga tahun lalu. Beberapa muridnya orang asing yang datang ke Kyoto khusus untuk belajar aikido.

Sebelum pulang ke Jepang untuk membangun komunitas aikido, perempuan ini sempat tinggal di Portland, Oregon, AS selama 14 tahun. Kegiatannya amat rutin. Ia bangun pukul 05.00, bermeditasi dan mulai mengajar.

Di Jepang, instruktur perempuan amat tak biasa. Namun, Okamoto yang bertemu suaminya di sebuah dojo itu tak mempedulikannya. Ia tak membedakan jenis kelamin murid-muridnya karena manusia memiliki kelebihan-kekurangan masing-masing.

Lalu ada pembuat tikar khas Jepang (tatami), Yuzo Nakamura. Ia bekerja di perusahaan keluarga yang didirikan pada 1818. Bisnis kecil itu berupa bengkel di depan rumah keluarganya, di sebuah daerah lama Kyoto.

Keluarga ini membuat tatami dengan tangan, menjahir lapisan demi lapisan bersama dan memasoknya untuk berbagai kuil di Kyoto. Menantu dan cucu Nakamura ikut membantunya.

Pengrajin tradisional masih menjadi industri yang besar di Kyoto. Namun, Nakamura khawatir, orang Jepang yang menggunakan tatami di rumahnya makin sedikit. Meski begitu, pria berusia 82 tahun ini belum mau pensiun.

Ilmuwan modern juga menjadi bagian dari kehidupan Kyoto. Yakni Dr. Taka-aki Sato, pemimpin tim riset di salah satu perusahaan besar di kota tersebut, Shimadzu. Mereka mencari cara-cara baru untuk mendeteksi kanker.

Sato bekerja untuk perusahaan itu setelah ia berhenti menjadi akademisi di AS. Shimadzu didirikan pada akhir abad ke-19, pada masa industrialisasi Kyoto setelah kaisar pindah ke Tokyo.

Yang dilakukan Sato dan Shimadzu merupakan usaha bersama seluruh kota, agar mereka menemukan tempatnya di dunia modern. Perusahaan tersebut memproduksiscannermedis dan mesin canggih untuk laboratorium.

Sekitar tiga ribu warga Kyoto bekerja untuk Shimidzu, di lingkungan super disiplin. Ada rutinitas seperti olahraga setiap pagi dan makan siang bersama selama 45 menit istirahat siang.