NASRUDDIN (35) bersama rekannya, Azhari (20) tak bisa membayangkan
bagaimana nasib mereka kini jika tak bertemu dan dibantu oleh awak kapal
kargo asal Liberia saat keduanya terkatung-katung di Teluk Benggala
yang mengarah ke Andaman, India akibat perahu mereka mati mesin, sekitar
seminggu lalu.
Seperti diketahui, Nasruddin dan Azhari, nelayan asal Seurapong, Kecamatan Pulo Aceh dilaporkan hilang sejak Kamis 23 Februari 2012. Tiba-tiba tiga hari lalu pihak keluarga menerima kontak telepon yang mengabarkan keduanya diselamatkan sebuah kapal kargo (waktu itu mereka menyebut kapal berbendera Singapura). Keduanya didaratkan oleh kapal tersebut ke Singapura.
Sabtu kemarin, setelah melalui proses serah terima dan pengurusan berbagai dokumen oleh pihak KBRI di Singapura, keduanya telah berada kembali di kampung halaman.
Nasruddin dan Azhari mengisahkan, pada 26 Februari 2012 sekitar pukul 18.45 WIB, saat mereka terapung-apung dui lautan lepas, tiba-tiba di kejauhan terlihat melintas sebuah kapal. Mereka pun menyalakan api sebagai isyarat meminta bantuan. Kapal itu pun mendekat.
Awak kapal mengarahkan lampu sorot kepada mereka. Selama hampir satu jam berlangsung bahasa isyarat karena awak kapal tak ada yang mengerti bahasa Indonesia, apalagi bahasa Aceh.
Kapten dan awak Kapal Kargo Al-Khaznah asal Liberia yang bermuatan gas tujuan ke Jepang itu tampaknya sangat berhati-hati sebelum memberikan bantuan karena sudah sering terjadi ternyata orang yang dibantu adalah perompak. Bahkan untuk meyakinkan bahwa mereka tidak bersenjata, pihak kapal meminta mereka membuka pakaian.
Nasruddin dan Azhari sempat kehilangan akal untuk mengatakan siapa diri mereka sebenarnya. Entah bagaimana, secara spontan keluar teriakan ‘Aceh tsunami’. Diduga dengan kata-kata itulah awak kapal Liberia mengetahui asal kedua korban. Selanjutnya dengan gerak cepat keduanya dibantu.
Ketika sudah berada di atas kapal yang membawa gas tujuan Jepang tersebut, Nasruddin dan Azhari langsung memperoleh nama baru; Aceh Tsunami. Dialog dengan bahasa isyarat terus terjadi, termasuk mereka menceritakan ihwal perahu yang mati mesin hingga terkatung-katung di laut lepas.
“Selama di kapal tersebut, kami diperlakukan sangat istimewa. Mereka merasa sangat senang ketika mengetahui kami dari Aceh. Semua keperluan kami dilayani, termasuk pakaian dan beraneka macam makanan. Kapten kapal dan semua ABK sangat bersahabat,” kenang Nasruddin.
Azhari menceritakan, musibah berawal pada 23 Februari ketika mesin perahu mereka mati. Setelah tiga hari terombang-ambing antara hidup dan mati, mereka pun diselamatkan kapal Liberia tersebut.
“Kami ingat sekali ketika mesin perahu rusak. Saat itu kami berada di sekitar Batee Lhee Blah, Pulo Aceh,” kata Azhari.
Singgah di Singapura
Pada 29 Februari 2012, kargo yang dikomandani Kapten Mr Bastone, memasuki perairan Singapura setelah terlebih dahulu terjadi kontak antara awak kapal dengan KBRI di Negeri Singa tersebut. Dari jarak setengah mil, Nasruddin dan Azhari dijemput dengan sebuah boat. “Suasana haru mewarnai perpisahan kami. Mereka terlihat sedih melepaskan kami. Kami juga tak mampu menahan tangis,” kenang Nasruddin.
Nasruddin dan Azhari dibawa ke KBRI Singapura. Setelah dibuatkan paspor, pada hari Jumat (3/2), mereka dipulangkan dengan pesawat tujuan Medan. Dari Medan mereka dijemput oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Dan, pada Sabtu kemarin, keduanya tiba kembali di kampung halaman.
Selain berterima kasih kepada semua pihak, seperti Muspida Aceh Besar, Basarnas, relawan komunikasi RAPI, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh serta Panglima Laot, keduanya juga berharap bantuan dari pemerintah karena sekarang tak punya apa-apa lagi untuk modal mencari rezeki. “Perahu kami tinggal di lautan lepas ketika kami diselamatkan oleh Kapal Kargo Al-Khaznah,” pungkas Nasruddin dengan penuh harap.
Seperti diketahui, Nasruddin dan Azhari, nelayan asal Seurapong, Kecamatan Pulo Aceh dilaporkan hilang sejak Kamis 23 Februari 2012. Tiba-tiba tiga hari lalu pihak keluarga menerima kontak telepon yang mengabarkan keduanya diselamatkan sebuah kapal kargo (waktu itu mereka menyebut kapal berbendera Singapura). Keduanya didaratkan oleh kapal tersebut ke Singapura.
Sabtu kemarin, setelah melalui proses serah terima dan pengurusan berbagai dokumen oleh pihak KBRI di Singapura, keduanya telah berada kembali di kampung halaman.
Nasruddin dan Azhari mengisahkan, pada 26 Februari 2012 sekitar pukul 18.45 WIB, saat mereka terapung-apung dui lautan lepas, tiba-tiba di kejauhan terlihat melintas sebuah kapal. Mereka pun menyalakan api sebagai isyarat meminta bantuan. Kapal itu pun mendekat.
Awak kapal mengarahkan lampu sorot kepada mereka. Selama hampir satu jam berlangsung bahasa isyarat karena awak kapal tak ada yang mengerti bahasa Indonesia, apalagi bahasa Aceh.
Kapten dan awak Kapal Kargo Al-Khaznah asal Liberia yang bermuatan gas tujuan ke Jepang itu tampaknya sangat berhati-hati sebelum memberikan bantuan karena sudah sering terjadi ternyata orang yang dibantu adalah perompak. Bahkan untuk meyakinkan bahwa mereka tidak bersenjata, pihak kapal meminta mereka membuka pakaian.
Nasruddin dan Azhari sempat kehilangan akal untuk mengatakan siapa diri mereka sebenarnya. Entah bagaimana, secara spontan keluar teriakan ‘Aceh tsunami’. Diduga dengan kata-kata itulah awak kapal Liberia mengetahui asal kedua korban. Selanjutnya dengan gerak cepat keduanya dibantu.
Ketika sudah berada di atas kapal yang membawa gas tujuan Jepang tersebut, Nasruddin dan Azhari langsung memperoleh nama baru; Aceh Tsunami. Dialog dengan bahasa isyarat terus terjadi, termasuk mereka menceritakan ihwal perahu yang mati mesin hingga terkatung-katung di laut lepas.
“Selama di kapal tersebut, kami diperlakukan sangat istimewa. Mereka merasa sangat senang ketika mengetahui kami dari Aceh. Semua keperluan kami dilayani, termasuk pakaian dan beraneka macam makanan. Kapten kapal dan semua ABK sangat bersahabat,” kenang Nasruddin.
Azhari menceritakan, musibah berawal pada 23 Februari ketika mesin perahu mereka mati. Setelah tiga hari terombang-ambing antara hidup dan mati, mereka pun diselamatkan kapal Liberia tersebut.
“Kami ingat sekali ketika mesin perahu rusak. Saat itu kami berada di sekitar Batee Lhee Blah, Pulo Aceh,” kata Azhari.
Singgah di Singapura
Pada 29 Februari 2012, kargo yang dikomandani Kapten Mr Bastone, memasuki perairan Singapura setelah terlebih dahulu terjadi kontak antara awak kapal dengan KBRI di Negeri Singa tersebut. Dari jarak setengah mil, Nasruddin dan Azhari dijemput dengan sebuah boat. “Suasana haru mewarnai perpisahan kami. Mereka terlihat sedih melepaskan kami. Kami juga tak mampu menahan tangis,” kenang Nasruddin.
Nasruddin dan Azhari dibawa ke KBRI Singapura. Setelah dibuatkan paspor, pada hari Jumat (3/2), mereka dipulangkan dengan pesawat tujuan Medan. Dari Medan mereka dijemput oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh. Dan, pada Sabtu kemarin, keduanya tiba kembali di kampung halaman.
Selain berterima kasih kepada semua pihak, seperti Muspida Aceh Besar, Basarnas, relawan komunikasi RAPI, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh serta Panglima Laot, keduanya juga berharap bantuan dari pemerintah karena sekarang tak punya apa-apa lagi untuk modal mencari rezeki. “Perahu kami tinggal di lautan lepas ketika kami diselamatkan oleh Kapal Kargo Al-Khaznah,” pungkas Nasruddin dengan penuh harap.
Sumber