Senin, 20 Februari 2012

Perempuan Aceh Dalam Sejarah


Sejarah Aceh mewariskan banyak cerita khas tentang keterlibatan perempuan, tidak hanya dalam urusan pemerintahan, tapi juga angkatan perang dan lembaga legislatif kerajaan.

Oleh Iskandar Norman (*
Keterlibatan perempuan Aceh dalam politik dan pemerintahan bukanlah cerita baru. Jauh sebelum jender didengungkan, wanita Aceh sudah memperoleh kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam segala urusan.

Dalam bidang militer ada korp tentara wanita, yang langsung terjun ke dalam kancang perang, ada juga yang bertugas di istana. Resimen pengawal istana tersebut dinamai Suke Kawai Istana. Selain itu ada lagi yang disebut Si Pai Inong, yakni korp prajurit wanita.

Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si Pai Inong dipimpin oleh dua Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut Meurah Inseuen. 

Malah menurut Teuku H Ainal Mardhiah Ali dalam tulisannya “Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Masa Kini” dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V, seorang sultan yang dinilainya bodoh dan bejad.

Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketumpuk pimpinan sebagai Sultan, mampu membawa Aceh kemasa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai sekarang.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) korp tentara wanita itu diperbesar dengan membentuk Divisi Kemala Cahaya, yang merupakan divisi pengawal istana, yang dipimpin oleh seorang laksamana wanita. Dalam divisi ini juga dibentuk satu batalion pasukan kawal kehormatan, yang dipilih dari prajurit-prajurit wanita cantik. Mereka ditugaskan untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.

Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentuk Armada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati.

Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil menggagalkan percobaab pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah pimpinan Cournoles dan Frederich de Houtman di perairan Aceh pada tahun 1599 Masehi.

Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu. Karena itu pula, Marie van Zuchtelen, seorang penulis Belanda dalam bukunya “Vrouwelijke Admiral Malahayati” sangat mengagumi dan memuji Malajayati, yang disebutnya cerdik, bijaksana, dan berani dalam memimpin 2.000 prajutir wanita.

Laksamana Malahayati pula yang disuruh Sultan Alauddin Riayat Syah IV, untuk menerima dan menghadap utrusan Ratu Inggris, Sir James Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada 16 Juni 1606. Utusan itu membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh.

Sejarah Aceh juga mewariskan wanita-wanita negarawan, yang ulung sebagai pemimpin seperti: Ratu Nihrasiyah Chadiyn, Sri Ratu Tadjul Alam Syafiatsuddin Syahbaz, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, serta Sri Ratu Kemalat Syah.

Perempuan Aceh di Mahkamah Rakyat

Selain dalam bidang pemerintahan, wanita juga diikutsertakan dalam lembaga kerajaan, seperti Balai Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen-red). Peranan wanita dalam lembaga kerajaan diatur dalam qanun meukuta alam. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif, yang terdiri dari 73 orang wakil rakyat, 16 diantaranya merupakan wanita.

Diantara 73 anggota parlemen itu, 9 orang memegang fungsi wazir atau menteri yang duduk dalam kabinet Sultanah, sisanya 64 orang sebagai anggota parlemen biasa. Daftar nama-nama anggota tertera dalam Qabub Al-Asyu Darussalam (tata negara). Qanun itu kemudian didapatkan kembali di Dayah Almarhum Teuku Tanoh Abe, yang kemudian diambil oleh A Hasimy, saat ia menjabat sebagai Gubernur Aceh.

Seorang penulis Belanda, H C Zentgraaff dalam buku “Atjeh” juga menggambarkan keterlibatan perempuan Aceh dalam perang. Salah satu kisah yang paling menarik baginya adalah peristiwa kematian Teungku Di Barat, yang digambarkannya sebagai kematian yang paling romantis dalam pertempuran melawan Belanda.

Suatu ketika, pasukan marsose Belanda mengetahui keberadaan mereka. Teungku Di Barat beserta istri dan beberapa orang pengikutnya terkepung diantara tebing-tebing dan batu cadas. Pertempuran pun tak terelakkan.

Sebutir peluru Belanda akhirnya mengenai tangan kanan Teungku Di Barat. Namun, istrinya yang sudah berdiri di sampingnya, dengan cekatan mengambil senapan dari tangannya. Wanita itu berdiri di depan suaminya yang bersimbah darah, ia pun terus menembek ke arah pasukan Belanda. Sampai akhirnya, peluru lainnya menembus tubuhnya, ia pun roboh dan tewas bersama suaminya.

“Demikian, wanita itu tegak berdiri di depan suaminya, dan sebuah peluru bersuratan nasib kini meluncur, menembus tubuh wanita itu, kemudian menembus pula tubuh suaminya. Kedua mereka rebahlah dengan seketika. Akhir hayat yang berarti bagi keduanya syahid, yang telah memberikan rasa kebahagiaan, yang tak dapat diduga oleh siapapun betapa besar artinya. Ada beratus-ratus wanita Aceh seperti ini, bahkan boleh jadi ribuan jumlahnya. Dan mereka telah membangkitkan rasa hormat, pun juga pada militer kita,” tulis Zentgraaff.

Menurut Zentgraaff, wanita Aceh, sejak pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya. Sesudah Snouck Hurgronje membeberkan dalam bukunya tentang kehidupan rumah tangga Aceh, secara khas dan tajam, mulailah orang-orang mengadakan penelitian secara sistimatis mengenai wanita Aceh.
Gundik dan Dendam

Pada masa perang, ada beberapa wanita Aceh yang rela menjadi concubine (gundik) opsir-opsir Belanda. Mereka sering menjalankan hubungan bermuka dua. Meski menjadi gundik, mereka tetap menjalin hubungan dengan pejuang Aceh. hubungan rahasia yang sering berakhir dengan pertumpahan darah.

Zentgraaff menceritakan sebuah pengalaman aneh dan unik terjadi pada salah seorang Kapten Belanda. Namun dalam bukunya, Zentgraaff menolak menulis nama kapten itu, dengan berbagai pertimbangan. Kapten tersebut telah mengambil seorang wanita Aceh sebagai gundiknya. Ia ingin belajar banyak tentang bahasa dan adat istiadat Aceh melalui wanita tersebut. Wanita itu pun tidak pernah menyembunyikan perasaan kurang hormat terhadap orang-orang Belanda yang dianggapnya kafir.

Suatu hari Kapten tersebut pulang ke rumah, setelah melakukan patroli. Di belakang rumahnya ia melihat beberapa pejuang Aceh sedang duduk bercengkrama dengan gundiknya. Ia menganal betul orang-orang di belakang rumahnya itu sebagai pejuang Aceh yang sudah berbulan-bulan dicarinya, tapi selalu lolos dari penyergapan.

Mereka bercengkrama dengan santai sambil minum limodane, menghisap cerutu cincin (cerutu nomor satu kala itu) milik kapten tersebut. Tanpa kikuk, para pejuang Aceh itu pun memberi hormat kepada Kapten tersebut. Kapten itu tidak bisa berbuat banyak, karena kalau diumumkan dalam rumahnya ada pejuang Aceh, namanya akan tercemar, dan bisa-bisa pangkatnya akan diturunkan.

Tak mau reputasinya hancur, ia pun membiarkan para pejuang Aceh itu menikmati makanan di rumahnya. “Karena itulah ia terpaksa bersikap bonne mine a mauvais jeu. Tak lama kemudian, berangkatlah para pejuang itu dari rumah kapten, sebelum berangkat tak lupa mereka membungkuk memberi hormat, seolah mengejek sang kapten. Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar para pejuang itu berbulan-bulan dalam hutan belantara, ulas Zentgraaff.

Janda dan Cuak

Wanita Aceh tidak mengakui suaminya, hanya karena ayah dari anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Memilih menjadi janda dari pada disebut istri cuak. Namun tak sedikit pula wanita Aceh yang tersiksa, hanya karena suaminya informan Belanda.

Salah satu kejadian seperti itu, terjadi di Lhong, Aceh Besar pada tahun 1933. menurut Zentgraaff, pada saat itu di sebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.

Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya, pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk di ladangnya. Tak lama kemudian, seorang kolonel Belanda bersama seorang pegawai pemerintah, datang ke desa itu untuk menginterogasi wanita yang telah mengusir suaminya itu.

Ketika ditanya Kolonel tadi, ia menjawab. "Suami saya? Saya tidak punya suami". Jawaban itu diberikannya sambil meludah ke tanah di hadapan sang kolonel. Namun ketika nama suaminya disebut. Ia langsung memotong dan berkata dengan suara lantang. "Dia bukan laki-laki." Kolonel tadi pun geleng-geleng kepala. Bagi wanita itu, suaminya tak ubahnya seorang pengecut, karena menyerah, bukan mati syahid sebagaimana pejuang lainnya.

"Siapapun boleh berkompromi, tetapi pantang bagi wanita Aceh; dia memikul sahamnya dalam bencana perang sebagai pahlawan (srikandi), dan seringkali: sebagai martelares. Kadang-kadang ia menderia lebih hebat lagi dari orang senegerinya dibandingkan dengan siksa yang dilancarkan oleh kompeuni, lebih-lebih kalau ia berdiam di zona di mana silih berganti muncul pasukan kita dan kemudian pihak pemberontak," tulis Zentgraaff.

***

Sumber