Rabu, 15 Februari 2012

Naskah Kuno Aceh yang Terserak

tarhamidBanda Aceh - Pada pengujung Januari lalu, suasana rumah Tarmizi Abdul Hamid cukup ramai. Belasan peneliti naskah kuno Aceh berkumpul di rumah sederhana di kawasan Lampineung, Banda Aceh.
Di ruang tamu yang sempit, naskah-naskah lama abad ke-17 Masehi itu berserak pada meja ukuran 3x2 meter. Beberapa orang sedang sibuk memperbaiki kitab-kitab lama itu agar tak usang dimakan waktu. Di halaman rumah, meja-meja kecil penuh dengan berbagai macam peralatan di atasnya.
Banyak naskah kuno Aceh yang terbengkalai dan luput dari perhatian. Tarmizi adalah salah satu kolektor naskah kuno di Aceh yang berusaha menyelamatkannya. Naskah itu disimpan di rumahnya, kemudian mendapat perhatian dari Pusat Kajian dan Pendidikan Masyarakat (PKPM) Aceh untuk restorasi dan pemeliharaan agar tetap awet.
Direktur PKPM Aceh, Dr. Mujiburrahman, mengatakan sebulan terakhir pihaknya sibuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan naskah kuno di Aceh. “Umumnya naskah berasal dari masa kerajaan di Aceh,” ujarnya.
Di rumah Tarmizi, tutur Mujib, pihaknya melakukan restorasi dan pemeliharaan sebanyak 30 naskah kuno. Selain itu pihaknya melakukan hal yang sama pada puluhan naskah di Dayah Tgk Tanoh Abee, Aceh Besar.
Menurut Mujib, naskah yang sudah tampak rusak dipelihara dengan menempelkan kertas Washi (Japan tissue). Kertas model tipis ditempel di atas naskah, sehingga tetap terbaca. Kertas Washi yang tebal dipakai untuk melindungi cover naskah yang seperti buku. “Dengan cara ini naskah bisa diselamatkan sampai 5 atau 10 tahun ke depan.”
PKPM sudah melakukan restorasi naskah kuno sejak 2007. Sebelumnya mereka juga melakukan proses pemeliharaan dan digitalisasi naskah pada Museum Aceh dan Pustaka Ali Hasjmy, yang bekerja sama dengan Universitas Leipzig, Jerman.
Menurut Mujib, banyak naskah kuno di Aceh yang terserak di tengah-tengah masyarakat. Naskah umumnya berasal dari abad ke-16, 17, dan 18 Masehi. Hal itu sesuai dengan kajian kertas yang digunakan untuk menulis naskah itu.
Staf PKPM Aceh, Zainal Abidin, mengatakan melihat umur kertas perlu dilihat watermark (cap tinta air) di kertas. Cap itu transparan dan akan terlihat jelas saat kertas diterawang pada sinar matahari. “Umumnya naskah kuno itu mempunyai watermark burung, mahkota, dan bulan sabit tiga,” kata Zainal yang ahli kertas.
Dengan melihat cap itu, tutur Zainal, dapat dipastikan bahwa kertas yang digunakan di Aceh pada abad ke-16 sampai 18 Masehi berasal dari Eropa. “Misalnya, watermark burung, berarti kertasnya berasal dari Venesia, Italia. Daerah itu adalah produsen kertas masa itu,” ujarnya. “Pada abad tersebut, produksi kertas dunia adalah negara-negara Eropa, seperti Italia, Spanyol, Belanda, dan Inggris.”
Naskah kuno Aceh umumnya ditulis dengan huruf Arab dalam tiga bahasa: Arab, Melayu, dan Aceh. Pihak PKPM berharap naskah-naskah tersebut mendapat perhatian dari pemerintah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, mengingat tidak semua orang paham membaca huruf Arab. “Kalau tidak, perlahan khazanah budaya dan naskah kuno akan hilang,” kata Mujib.
Sang pemilik naskah, Tarmizi, mengungkapkan mulai tertarik mengoleksi naskah kuno Aceh pada awal 1995. Saat itu dia mendapat tugas ke Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia dari kantornya. Untuk mengisi waktu luang selama di sana, Tarmizi mengunjungi museum.
Di sebuah museum dia menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip lama itu ke luar negeri. Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu naskah kuno. Impiannya, dia ingin mengumpulkan naskah agar bisa tetap berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi ke depan,” ujarnya.
Di rumahnya, Tarmizi punya 480 naskah kuno yang semuanya dikoleksi sendiri. Isi naskah itu beragam; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fikih Islam, termasuk ilmu perbintangan, ilmu falak. Juga ilmu pengobatan dan hikayat-hikayat.
Dia berharap pemerintah dapat membantunya melestarikan manuskrip dengan mendukung apa yang dilakukannya sekarang, yaitu proses untuk digitalisasi dan mengkaji kembali naskah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Yang penting, bagaimana ilmu dalam naskah-naskah itu mampu dibaca dan dipelajari semua orang,” katanya.
“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” Tarmizi menuturkan.