Banda Aceh -
Pada pengujung Januari lalu, suasana rumah Tarmizi Abdul Hamid cukup
ramai. Belasan peneliti naskah kuno Aceh berkumpul di rumah sederhana di
kawasan Lampineung, Banda Aceh.
Di ruang tamu yang sempit, naskah-naskah lama abad ke-17 Masehi itu
berserak pada meja ukuran 3x2 meter. Beberapa orang sedang sibuk
memperbaiki kitab-kitab lama itu agar tak usang dimakan waktu. Di
halaman rumah, meja-meja kecil penuh dengan berbagai macam peralatan di
atasnya.
Banyak naskah kuno Aceh yang terbengkalai dan luput dari perhatian.
Tarmizi adalah salah satu kolektor naskah kuno di Aceh yang berusaha
menyelamatkannya. Naskah itu disimpan di rumahnya, kemudian mendapat
perhatian dari Pusat Kajian dan Pendidikan Masyarakat (PKPM) Aceh untuk
restorasi dan pemeliharaan agar tetap awet.
Direktur PKPM Aceh, Dr. Mujiburrahman, mengatakan sebulan terakhir
pihaknya sibuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan naskah kuno di Aceh.
“Umumnya naskah berasal dari masa kerajaan di Aceh,” ujarnya.
Di rumah Tarmizi, tutur Mujib, pihaknya melakukan restorasi dan
pemeliharaan sebanyak 30 naskah kuno. Selain itu pihaknya melakukan hal
yang sama pada puluhan naskah di Dayah Tgk Tanoh Abee, Aceh Besar.
Menurut Mujib, naskah yang sudah tampak rusak dipelihara dengan menempelkan kertas Washi (Japan tissue). Kertas model tipis ditempel di atas naskah, sehingga tetap terbaca. Kertas Washi yang tebal dipakai untuk melindungi cover naskah yang seperti buku. “Dengan cara ini naskah bisa diselamatkan sampai 5 atau 10 tahun ke depan.”
PKPM sudah melakukan restorasi naskah kuno sejak 2007. Sebelumnya
mereka juga melakukan proses pemeliharaan dan digitalisasi naskah pada
Museum Aceh dan Pustaka Ali Hasjmy, yang bekerja sama dengan Universitas
Leipzig, Jerman.
Menurut Mujib, banyak naskah kuno di Aceh yang terserak di
tengah-tengah masyarakat. Naskah umumnya berasal dari abad ke-16, 17,
dan 18 Masehi. Hal itu sesuai dengan kajian kertas yang digunakan untuk
menulis naskah itu.
Staf PKPM Aceh, Zainal Abidin, mengatakan melihat umur kertas perlu dilihat watermark
(cap tinta air) di kertas. Cap itu transparan dan akan terlihat jelas
saat kertas diterawang pada sinar matahari. “Umumnya naskah kuno itu
mempunyai watermark burung, mahkota, dan bulan sabit tiga,” kata Zainal yang ahli kertas.
Dengan melihat cap itu, tutur Zainal, dapat dipastikan bahwa kertas
yang digunakan di Aceh pada abad ke-16 sampai 18 Masehi berasal dari
Eropa. “Misalnya, watermark burung, berarti kertasnya berasal
dari Venesia, Italia. Daerah itu adalah produsen kertas masa itu,”
ujarnya. “Pada abad tersebut, produksi kertas dunia adalah negara-negara
Eropa, seperti Italia, Spanyol, Belanda, dan Inggris.”
Naskah
kuno Aceh umumnya ditulis dengan huruf Arab dalam tiga bahasa: Arab,
Melayu, dan Aceh. Pihak PKPM berharap naskah-naskah tersebut mendapat
perhatian dari pemerintah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,
mengingat tidak semua orang paham membaca huruf Arab. “Kalau tidak,
perlahan khazanah budaya dan naskah kuno akan hilang,” kata Mujib.
Sang pemilik naskah, Tarmizi, mengungkapkan mulai tertarik mengoleksi
naskah kuno Aceh pada awal 1995. Saat itu dia mendapat tugas ke Brunei
Darussalam, Singapura, dan Malaysia dari kantornya. Untuk mengisi waktu
luang selama di sana, Tarmizi mengunjungi museum.
Di sebuah museum dia menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang
berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha
untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip
lama itu ke luar negeri. Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu
naskah kuno. Impiannya, dia ingin mengumpulkan naskah agar bisa tetap
berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi
ke depan,” ujarnya.
Di rumahnya, Tarmizi punya 480 naskah kuno yang semuanya dikoleksi
sendiri. Isi naskah itu beragam; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi),
agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fikih Islam,
termasuk ilmu perbintangan, ilmu falak. Juga ilmu pengobatan dan
hikayat-hikayat.
Dia berharap pemerintah dapat membantunya melestarikan manuskrip
dengan mendukung apa yang dilakukannya sekarang, yaitu proses untuk
digitalisasi dan mengkaji kembali naskah untuk diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia. “Yang penting, bagaimana ilmu dalam naskah-naskah itu
mampu dibaca dan dipelajari semua orang,” katanya.
“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa
diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal
kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” Tarmizi menuturkan.