Rabu, 15 Februari 2012

Mengintip Jejak Peradaban Islam di Metropolitan Museum of Art

Mengintip Jejak Peradaban Islam di Metropolitan Museum of ArtMasyarakat New York, Amerika Serikat kini bisa lebih dekat lagi dengan dunia seni Islam setelah Metropolitan Museum of Art (The Met) meresmikan dibukanya kembali sebuah galeri untuk seni Tanah Arab, Turki, Iran, Asia Tengah dan Selatan. Selama renovasi galeri tersebut tutup selama delapan tahun dan mulai disajikan kembali untuk umum pada 1 November 2011.

Pembukaan kembali galeri baru tentang seni Islam di museum tersebut dimeriahkan melalui telewicara Jakarta–New York pada Selasa (29/11) malam–atau Selasa pagi untuk waktu AS–di sebuah mal di daerah pusat bisnis Sudirman. 

Dalam sambutan pembukaannya, Scot Marciel, Duta Besar AS untuk Indonesia mengatakan, “Kami ingin Anda memahami bahwa salah satu museum terpenting di Amerika telah menampilkan karya-karya ini untuk mengajarkan masyarakat Amerika akan kekayaan Islam. Dan, menurut saya tidak ada hal yang lebih penting selain mempelajari budaya orang lain dan belajar untuk menghargainya.” 

Amir Sidharta yang dikenal publik sebagai direktur SIDHartA Auctioneer dan kurator Museum Universitas Pelita Harapan, sekaligus dosen pada universitas tersebut, bertindak selaku moderator telewicara antara publik Jakarta dan pejabat-pejabat The Met.

Dalam layar LCD tampak tiga pejabat The Met tengah duduk: Thomas Campbell (direktur dan CEO The Met), Sheila Canby (kurator Patti Cadby Birch dari Departemen Seni Islam), dan Navina Najat Haidar (kurator dan administrator Departemen Seni Islam). Mereka memberikan gambaran soal pembukaan galeri, kontribusi seniman dan pengrajin muslim, dan ulasan singkat koleksi museum. 

“Peresmian galeri-galeri baru yang luar biasa ini menggarisbawahi misi kami sebagai museum ensiklopedi dan menyediakan kesempatan publik untuk memahami kompleksitas seni dan budaya Islam pada masa-masa sangat penting dalam sejarah dunia,” ungkap Campbell.

Dalams sesi berikutnya, Navina Najat Haidar mencoba menjawab seorang penanya dari Jakarta soal reaksi warga New York saat pembukaan galeri tersebut, mengingat pernah ada ketegangan antara pemerintah dan warga muslim pasca tragedi 11 September. 

Menurut Haidar, rekasi warga New York sangat luar biasa terutama bagi warga muslim. Mereka merasa lebih dekat, dalam arti punya kesempatan menampilkan warisan kebudayan dan bahan penting dari warga muslim untuk dunia. 

“Warga Amerika merangkul kesempatan hidup bersama, dan saya merasa sangat bangga,” Haidar menambahkan, “Dalam menyongsong abad baru, tentunya kita akan lebih banyak berhubungan dan lebih banyak pertukaran, ada sesuatu yang lebih besar lagi dari kita dan kita bisa merayakannya bersama. Kita sangat menghargai komunitas muslim baik di sini maupun seluruh dunia, dan itu sangat membahagiakan.”

Galeri baru tentang kebudayaan Islam itu kini menempati ruangan seluas 1.800 meter persegi yang terdiri atas 15 ruang pamer baru. Ruangan tersebut menampilkan jejak  peradaban Islam dalam rentang lebih dari 13 abad, dari Timur Tengah hingga Afrika Utara, Eropa, dan Asia Tengah dan Selatan. Lebih dari 12.000 karya seni itu diperoleh melalui hadiah dan pembelian selama rentang 140 tahun sejarah Museum ini.

Koleksi utama galeri seni Islam di Metropolitan Museum of Art meliputi Ruang Damaskus dengan ragam hiasan mewah buatan 1707, salah satu contoh terbaik dari rumah orang kaya di Suriah selama periode Utsmani; kaca, logam, dan keramik dari Mesir, Suriah, Irak, dan Iran; beberapa karpet klasik terbaik abad 16 dan 17; Al Quran pada masa awal dan abad pertengahan, lukisan dari kekaisaran ”Shah Jahan Album; dan elemen arsitektur seperti mihrab dari abad 14.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari semangat pembukaan galeri seni Islam tersebut untuk konteks perkembangan museum dan seni di Indonesia? 

Menurut Sidharta, Indonesia bisa melihat bagaimana permuseuman di AS sangat tanggap dalam memperpanjang tangan mereka ke komunitas-komunitas. Upaya ini menjadi suatu cara untuk menimbulkan rasa bangga dan ikut memiliki di kalangan masyarakat muslim di Amerika Serikat. 

Sidharta  merasa Indonesia perlu belajar soal keseriusan  persiapan The Met yang telah bekerja 8 tahun untuk persiapan fisik dan pengkajian yang sudah dilakukan sejak tahun 1980an. “Permuseum kita perlu sekali belajar dari ini,” ungkapnya.

Sebuah museum bukan hanya wujud fisiknya saja, walau pun itu sangatlah penting,” ungkap Sidharta, “Museum harus jadi lembaga yang hidup dan berkembang terus, dan bukan sesuatu yang hanya menunggu kedatangan pengunjung tanpa usaha, atau makam yang seakan-akan pasti dikunjungi pada musim-musim ziarah.”