Masyarakat New York, Amerika Serikat kini
bisa lebih dekat lagi dengan dunia seni Islam setelah Metropolitan
Museum of Art (The Met) meresmikan dibukanya kembali sebuah galeri untuk
seni Tanah Arab, Turki, Iran, Asia Tengah dan Selatan. Selama renovasi
galeri tersebut tutup selama delapan tahun dan mulai disajikan kembali
untuk umum pada 1 November 2011.
Pembukaan
kembali galeri baru tentang seni Islam di museum tersebut dimeriahkan
melalui telewicara Jakarta–New York pada Selasa (29/11) malam–atau
Selasa pagi untuk waktu AS–di sebuah mal di daerah pusat bisnis
Sudirman.
Dalam sambutan pembukaannya, Scot
Marciel, Duta Besar AS untuk Indonesia mengatakan, “Kami ingin Anda
memahami bahwa salah satu museum terpenting di Amerika telah menampilkan
karya-karya ini untuk mengajarkan masyarakat Amerika akan kekayaan
Islam. Dan, menurut saya tidak ada hal yang lebih penting selain
mempelajari budaya orang lain dan belajar untuk menghargainya.”
Amir
Sidharta yang dikenal publik sebagai direktur SIDHartA Auctioneer dan
kurator Museum Universitas Pelita Harapan, sekaligus dosen pada
universitas tersebut, bertindak selaku moderator telewicara antara
publik Jakarta dan pejabat-pejabat The Met.
Dalam
layar LCD tampak tiga pejabat The Met tengah duduk: Thomas Campbell
(direktur dan CEO The Met), Sheila Canby (kurator Patti Cadby Birch dari
Departemen Seni Islam), dan Navina Najat Haidar (kurator dan
administrator Departemen Seni Islam). Mereka memberikan gambaran soal
pembukaan galeri, kontribusi seniman dan pengrajin muslim, dan ulasan
singkat koleksi museum.
“Peresmian
galeri-galeri baru yang luar biasa ini menggarisbawahi misi kami sebagai
museum ensiklopedi dan menyediakan kesempatan publik untuk memahami
kompleksitas seni dan budaya Islam pada masa-masa sangat penting dalam
sejarah dunia,” ungkap Campbell.
Dalams sesi
berikutnya, Navina Najat Haidar mencoba menjawab seorang penanya dari
Jakarta soal reaksi warga New York saat pembukaan galeri tersebut,
mengingat pernah ada ketegangan antara pemerintah dan warga muslim pasca
tragedi 11 September.
Menurut Haidar, rekasi
warga New York sangat luar biasa terutama bagi warga muslim. Mereka
merasa lebih dekat, dalam arti punya kesempatan menampilkan warisan
kebudayan dan bahan penting dari warga muslim untuk dunia.
“Warga
Amerika merangkul kesempatan hidup bersama, dan saya merasa sangat
bangga,” Haidar menambahkan, “Dalam menyongsong abad baru, tentunya kita
akan lebih banyak berhubungan dan lebih banyak pertukaran, ada sesuatu
yang lebih besar lagi dari kita dan kita bisa merayakannya bersama. Kita
sangat menghargai komunitas muslim baik di sini maupun seluruh dunia,
dan itu sangat membahagiakan.”
Galeri baru
tentang kebudayaan Islam itu kini menempati ruangan seluas 1.800 meter
persegi yang terdiri atas 15 ruang pamer baru. Ruangan tersebut
menampilkan jejak peradaban Islam dalam rentang lebih dari 13 abad,
dari Timur Tengah hingga Afrika Utara, Eropa, dan Asia Tengah dan
Selatan. Lebih dari 12.000 karya seni itu diperoleh melalui hadiah dan
pembelian selama rentang 140 tahun sejarah Museum ini.
Koleksi
utama galeri seni Islam di Metropolitan Museum of Art meliputi Ruang
Damaskus dengan ragam hiasan mewah buatan 1707, salah satu contoh
terbaik dari rumah orang kaya di Suriah selama periode Utsmani; kaca,
logam, dan keramik dari Mesir, Suriah, Irak, dan Iran; beberapa karpet
klasik terbaik abad 16 dan 17; Al Quran pada masa awal dan abad
pertengahan, lukisan dari kekaisaran ”Shah Jahan Album; dan elemen
arsitektur seperti mihrab dari abad 14.
Lalu,
apa yang bisa kita pelajari dari semangat pembukaan galeri seni Islam
tersebut untuk konteks perkembangan museum dan seni di Indonesia?
Menurut
Sidharta, Indonesia bisa melihat bagaimana permuseuman di AS sangat
tanggap dalam memperpanjang tangan mereka ke komunitas-komunitas. Upaya
ini menjadi suatu cara untuk menimbulkan rasa bangga dan ikut memiliki
di kalangan masyarakat muslim di Amerika Serikat.
Sidharta
merasa Indonesia perlu belajar soal keseriusan persiapan The Met yang
telah bekerja 8 tahun untuk persiapan fisik dan pengkajian yang sudah
dilakukan sejak tahun 1980an. “Permuseum kita perlu sekali belajar dari
ini,” ungkapnya.
Sebuah museum bukan hanya
wujud fisiknya saja, walau pun itu sangatlah penting,” ungkap Sidharta,
“Museum harus jadi lembaga yang hidup dan berkembang terus, dan bukan
sesuatu yang hanya menunggu kedatangan pengunjung tanpa usaha, atau
makam yang seakan-akan pasti dikunjungi pada musim-musim ziarah.”