BANDA
ACEH - Bagi penikmat kuliner Aceh, nama ayam tangkap bukan lagi hal
baru. Tampilannya unik dan cita rasa yang khas dari ayam kampungnya
membuat penikmatnya ketagihan. Apalagi bila dipadu dengan sambal ganja,
hmmm...tentu rasanya akan lebih menggoda.
Ayam tangkap sering juga disebut sebagai ayam sampah atau ayam rempah.
"Sampah" dimaksud berarti salah satu bumbu yang diracik dari dedaunan
seperti daun salam koja atau daun temurui. Aromanya khas dan menggugah
selera makan. Karena juga dicampur rajangan daun pandan yang wangi,
cabai hijau, dan bawang goreng.
Ayamnya dipotong kecil-kecil, sebesar ibu jari. Setelah dilumuri bumbu halus maka ayam digoreng dengan minyak panas. Setelah ayam hampir matang barulah dimasukkan daun-daun tadi.
Di Banda Aceh mencari warung makan yang menyajikan menu ayam tangkap sangatlah mudah. Salah satunya Rumah Makan Aceh Rayeuk yang terdapat di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh.
Rumah makan ini sudah ada sejak tahun 2000. Namun baru pada tahun 2002 mengusung nama Rumah Makan Aceh Rayeuk. Restauran ini telah memiliki cabang di beberapa wilayah seperti Lhokseumawe dan Meulaboh. Di Banda Aceh sendiri mereka memiliki tiga cabang di Lampeneurut, Gani, dan Lueng Bata.
Ayam tangkap memiliki rasa spesial, gurih dan garing. Rempah-rempah yang digunakan dari citarasa tradisional Aceh seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, dan garam. Namun, yang membuat rasa ayam tangkap di warung ini berbeda adalah ramuan khusus yang telah menjadi resep andalan.
“Ayam tangkap di sini memakai rempah-rempah khusus yang telah diolah menjadi cair sebagai tambahan bumbunya, jadi rasanya lebih gurih dan enak,” kata Iwan, pramusaji di rumah makan tersebut kepada The Atjeh Post, Selasa 21 Februari 2012.
Tak heran, kata Iwan, karena resep andalannya ini setiap harinya sekitar 50 sampai 100 ayam kampung dengan bobot di bawah satu kilogram berakhir di kuali. Usia ayam juga sangat diperhatikan, agar kualitas dan cita rasa dagingnya tetap terjaga. Rata-rata usia ayam yang mereka pilih berusia empat bulan karena tekstur dagingnya masih empuk dan manis.
Untuk peminat kuliner ini, rumah makan tersebut saban hari menerima tamu-tamu dari kalangan beragam. Artis ibu kota pernah mampir kemari. Ada juga pejabat, para profesional hingga masyarakat umum.
Saban hari, kata Iwan, 15 karyawan di rumah makan itu melayani 100 hingga 200 tamu. Tak hanya dinikmati di tempat, ayam tangkap juga bisa dibawa pulang atau dijadikan oleh-oleh bagi tamu-tamu yang berasal dari luar Aceh. Omset yang didapat juga sangat besar, rata-rata Rp8 juta per hari dengan keuntungan bersih sekitar 40 persen.
Ketika mencicipi hidangan ini, ada satu hal lagi yang tak boleh dilewati: sambal ganja. Tentu saja ini bukan diracik dari daun ganja. Iwan membeberkan rahasianya. Udang sabu (udang kecil) digiling halus dengan belimbing sayur atau boh limeng. “Namun, orang-orang dari luar Aceh banyak yang menyebutnya sambal ganja,” ujar Iwan sambil tertawa.
Tertarik mencoba, mungkin Anda menyambanginya. Selain menu andalan ayam tangkap, di rumah makan ini juga disediakan menu khas Aceh lainnya seperti dendeng, kuah pliek u, dan keumamah.
Ayamnya dipotong kecil-kecil, sebesar ibu jari. Setelah dilumuri bumbu halus maka ayam digoreng dengan minyak panas. Setelah ayam hampir matang barulah dimasukkan daun-daun tadi.
Di Banda Aceh mencari warung makan yang menyajikan menu ayam tangkap sangatlah mudah. Salah satunya Rumah Makan Aceh Rayeuk yang terdapat di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh.
Rumah makan ini sudah ada sejak tahun 2000. Namun baru pada tahun 2002 mengusung nama Rumah Makan Aceh Rayeuk. Restauran ini telah memiliki cabang di beberapa wilayah seperti Lhokseumawe dan Meulaboh. Di Banda Aceh sendiri mereka memiliki tiga cabang di Lampeneurut, Gani, dan Lueng Bata.
Ayam tangkap memiliki rasa spesial, gurih dan garing. Rempah-rempah yang digunakan dari citarasa tradisional Aceh seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, dan garam. Namun, yang membuat rasa ayam tangkap di warung ini berbeda adalah ramuan khusus yang telah menjadi resep andalan.
“Ayam tangkap di sini memakai rempah-rempah khusus yang telah diolah menjadi cair sebagai tambahan bumbunya, jadi rasanya lebih gurih dan enak,” kata Iwan, pramusaji di rumah makan tersebut kepada The Atjeh Post, Selasa 21 Februari 2012.
Tak heran, kata Iwan, karena resep andalannya ini setiap harinya sekitar 50 sampai 100 ayam kampung dengan bobot di bawah satu kilogram berakhir di kuali. Usia ayam juga sangat diperhatikan, agar kualitas dan cita rasa dagingnya tetap terjaga. Rata-rata usia ayam yang mereka pilih berusia empat bulan karena tekstur dagingnya masih empuk dan manis.
Untuk peminat kuliner ini, rumah makan tersebut saban hari menerima tamu-tamu dari kalangan beragam. Artis ibu kota pernah mampir kemari. Ada juga pejabat, para profesional hingga masyarakat umum.
Saban hari, kata Iwan, 15 karyawan di rumah makan itu melayani 100 hingga 200 tamu. Tak hanya dinikmati di tempat, ayam tangkap juga bisa dibawa pulang atau dijadikan oleh-oleh bagi tamu-tamu yang berasal dari luar Aceh. Omset yang didapat juga sangat besar, rata-rata Rp8 juta per hari dengan keuntungan bersih sekitar 40 persen.
Ketika mencicipi hidangan ini, ada satu hal lagi yang tak boleh dilewati: sambal ganja. Tentu saja ini bukan diracik dari daun ganja. Iwan membeberkan rahasianya. Udang sabu (udang kecil) digiling halus dengan belimbing sayur atau boh limeng. “Namun, orang-orang dari luar Aceh banyak yang menyebutnya sambal ganja,” ujar Iwan sambil tertawa.
Tertarik mencoba, mungkin Anda menyambanginya. Selain menu andalan ayam tangkap, di rumah makan ini juga disediakan menu khas Aceh lainnya seperti dendeng, kuah pliek u, dan keumamah.