H C Snouck Hourgronje merupakan aktor dibalik perang Aceh dengan Belanda. Hasil penelitiannya tentang Aceh dipakai oleh Belanda untuk menaklukkan Aceh. Semuanya terangkum dalam buku “De Atjeher”
Oleh Iskandar Norman
Penelitian Snouck tentang Aceh sudah dimulai sejak ia berada di Mekkah. Ia tertarik terhadap Aceh ketika orang-orang Arab sering memperbincangkan sikap fanatik rakyat Aceh melawan Belanda. Sebagai orang Belanda, Snouck tergerak untuk menyumbangkan usulan ilmiah tentang Aceh kepada pemerintah Belanda, maka penelitian itu pun dilakukan.
Ia mengusulkan kepada Pemerintah Belanda untuk memisahkan Islam dan politik di Aceh. Para jamaah haji yang berangkat dari Aceh harus diawasi, karena ditakutkan ketika pulang dari Arab mereka akan membawa ide panislamisme yang bertentangan dengan kepentingan Belanda di Aceh.
Dari Arab Snouck kemudian kembali ke Leiden, Belanda. Dua tahun di sana, ia menawarkan diri untuk ditugaskan ke Aceh. Pada 9 Februari 1888, Snouck mengajukan proposal penelitiannya tentang Aceh kepada Gubernur Jenderal Belanda. Niatnya itu didukung oleh Direktur Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP) serta Menteri Urusan Negeri Jajahan Belanda.
Kedatangan Snouck ke Aceh sebenarnya atas perintah sangat rahasia dari pemerintah Belanda. Ia naik kapal pos di Inggris sampai Ke Sumatera melalui Pelabuhan Penang. Ia sampai di Penang pada 1 April 1889, kemudian masuk ke pedalaman Aceh sampai ke istana sultan dengan cara memanfaatkan orang Aceh yang dikenalnya di Mekkah.
Gubernur Belanda di Aceh Van Teijn melarangnya masuk ke Aceh, karena Snouck dinilai punya hubungan dengan kaum pelarian Aceh dan berusaha masuk ke Aceh secara gelap. Ia pun kemudian menuju Batavia (Jakarta) dan tiba di sana pada 11 Mei 1889.
Di Batavia Snouck bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Disana ia terus membangun lobi untuk bisa masuk kembali ke Aceh. Karena kepiawaannya dan pengetahuan tentang Islam yang cukup, Direktur Pendidikan Agama dan perindustrian kemudian mendesak Gubernur Jenderal C Pijnacker Hordijk untuk mengabulkan penelitian Snouck soal Aceh.
Lima hari kemudian, 16 Mei 1889 ia mendapat izin untuk melakukan penelitian. Izin itu kemudian diperkuat oleh Raja Belanda pada 22 Juli 1889. Bukan itu saja, pada 15 Maret 1891 Snouck diangkat menjadi penasihat urusan bahasa-bahasa timur dan hukum Islam. Snouck pun kemudian beralih dari seorang ilmuan menjadi politikus.
Pada 9 Juli 1891 Snouck masuk ke Aceh dan menetap di Kutaraja. Ia menjadi orang kepercayaan Van Huetz, seorang jenderal yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Aceh (1904-1909). Setelah melakukan penelitian di Aceh, Snouck kemudian menulis Atjeh Verslag yang berisi laporan kepada Belanda tentang alasan perang Aceh. Tujuh bulan kemudian ia kembali ke Batavia menjadi penasihat urusan pribumi dan Arab.
Sebagai penasihat Snouck sangat berperan dalam memberikan berbagai usulan mengenai perang Aceh. Salah satunya adalah strategi menaklukkan rakyat Aceh yang diberikannya kepada Gubernur Militer Belanda, Johannes Benedictus van Huetsz.
Strategi tersebut adalah mengenyampingkan golongan sultan yang berkedudukan di Keumala, Pidie, setelah kraton dikuasai Belanda. Sebaliknya terus memerangi kaum ulama. Snouck juga menyarankan untuk tidak mau berunding dengan panglima-panglima Aceh pemimpin gerilya.
Selain itu ia menyarankan untuk mendirikan pangkalan militer Belanda di Aceh, serta membangun mesjid dan merperbaiki jalan serta irigasi untuk meraup simpati rakyat Aceh. Siasan Snouck itu pun diterima Van Huetzs dan ia mengangkat Snouck sebagai penasehatnya.
Van Huetsz juga meniru taktik perang gerilya Aceh dengan membentuk pasukan masrose yang dipimpin oleh Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang menjelajah gunung-gunung seantore Aceh mengejar para gerilyawan Aceh.
Taktik lain yang diberikan Snouck adalah melakukan penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Taktik ini berjalan mulus, seperti pada tahun 1902, Christoffel menculik permaisuri sultan Aceh dan Teuku Putroe di Geulumpang Payong, Pidie.
Sementara pasukan pimpinan Van Der Maaten menawan Putra Sultan Tuanku Ibrahim dan memaksa Tuanku Ibrahim untuk menyerah. Ia pun menyerah dan berdamai dengan Belanda pada 5 januari 1902 di Sigli.
Setelah itu Van Der Maaten juga menyerang Tangse untuk menyerga kelompok Panglima Polim. Tapi Panglima Polem berhasil meloloskan diri. Sebagai gantinya Belanda menangkap Putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga dekatnya. Akibatnya, Panglima Polim pun menyerah di Lhokseumawe pada Desember 1903. setelah itu banyak para Ulee Balang yang menyerah karena keluarganya ditawan.
Bagi para Ulee Balang yang menyerah Van Huetsz menulis Korte Verklaring, yaitu surat pendek yang harus ditandatangi oleh para Ulee Balang dan pemimpin Aceh yang menyerah. Dalam surat itu kepada mereka disuruh mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah jajahan Belanda, berjanji untuk tidak mengadakan hubungan dengan luar negeri, serta patuh terhadap perintah-perintah yang ditetapkan Belanda.
Meski beberap pimpinan wilayah telah menyerah akibat keluarganya ditahan, perlawanan sengit rakyat Aceh terus berlangsung dalam perang baik frontal maupun gerilya. Menghadapi hal itu Snouck kemudian mengusulkan pembersihan dengan taktik membunuh rakyat Aceh.
Taktik ini dilakukan oleh Van Daalen yang menggantikan Van Huetzs. Salah satunya adalah pembunuhan yang terjadi di Kuta Reh pada 14 Juni 1904, hari itu 2.922 orang dibunuh yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan. Namun taktik itu juga tak juga membuat perang Aceh berakhir, perlawanan pecah dimana-mana, sampai akhirnya pada 1906 Snouck kembali ke Belanda.
Empat tahun kemudian, ia menikah dengan Ida Maria, seorang putri pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Tiga tahun setelah menikah ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Leiden, Belanda dan menekuni profesi sebagai Penasihat Menteri Urusan Koloni sampai ia meninggal pada 16 Juli 1936.
Bertemu Habib Abdurrahman
Pertemuan Habib Abdurrachman Az-zahir dengan Snouck Hourgronje di Mekkah adalah awal penelitian akademis berujung politik tentang Aceh. Banyak keterangan Habib tentang Aceh yang menjadi dasar bagi Snouck dalam menyusun Atjeh Verslag untuk memecah belah Aceh.
Cristian Snouch Hurgronje lahir pada 8 Februari 1857 di Tholen, Oosterhout, Belanda. Ia besar dalam lingkungan keluarga penseta protestan, karena itu pula sejak kecil Snouck sudah belajar teologi.
Tamat sekolah menengah pada tagub 1875, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden. Di sinilah ia mendalami teologi dan sastra Arab. Ia berhasil tamat dalam kurun waktu lima tahun dengan predikat cum laude atas desertasinya tentang Makaansche Feest(Perayaan di Makkah-red).
Berbakal kemampuan bahasa Arab, pada tahun 1884 Snouck melanjutkan pendidikan ke Makkah, untuk mempelajari Islam. Di sana ia berhasil menarik hati para ulama setelah memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Pada saat yang sama di Aceh terjadi perang besar-besaran dengan Belanda. Pada 13 Oktober 1887, setelah terjadi perang sengit, Mangkubumi merangkap Menteri Luar Negeri Kerajaan Aceh, Habib Abdurrachaman Az-zahir menyerah dengan syarat kepada Belanda.
Syaratnya, ia akan menetap di Mekkah dengan menerima uang tahunan atas tanggungan pemerintah Kolonial Belanda, senilai 10.000 dollar Amerika. Bagi Belanda, menyerahnya Habib Abdurrahman merupakan sebuah kesuksesan besar. Pada 24 November 1887, Habib Abdurrahman dikirim ke Jeddah dengan menumpang kapal Hr Ms Cuaracao.
Pasukan Belanda pun eforia terhadap keberhasilan tersebut. Malah, Mayor Macleod, seorang opsir Belanda, memplesetkan lagu “Faldera dera” yang popular saat itu, untuk menggambarkan kesuksesan itu. Bunyinya:
Nun di sana terapung istana samudra
Namanya Cuaracao
Habib yang berani akan dibawa
Ke Mekkah tujuan nyata
Kini ia berdendang riang faldera dera
Untuk gubernemen kita
Banyaknya sekian ribua dolar sebulan
Tidak cerdikkah saya?
Kisah membeli kebaikan musuh dengan suapan, merupakan upaya yang gencar dilakukan Belanda menaklukkan para pemimpin Aceh kala itu. Termasuk menggaji kaum Ulee Balang sebagai kaki tangannya.
Meski Habib Abdurrahman sudah di Mekkah, Belanda terus melakukan hubungan korespondensi dengannya, untuk mengetahui seluk beluk dan kelemahan masyarakat Aceh. Dari Mekkah, pada 3 Muharram 1302 atau Oktober 1884, Habib Abdurrahman mengirim surat kepada pemerintah Hindia Belanda di Aceh. Isinya, sebuah usulan bentuk administrasi pemerintahan Aceh nyang menurutnya akan diterima oleh rakyat Aceh.
Dalam surat itu Habib Abdurrahman mengusulkan agar Belanda membentuk administrasi pemerintahan yang baru di Aceh, yakni mengangkat seorang muslimin yang mempunyai pemikiran yang cemerlang, berasal dari keturunan ninggrat dan faham akan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan Aceh.
Masih menurut Habib Abdurrahman dalam surat tadi, orang tersebut harus diberi gelar raja atau sederajat, sebagai administrator yang bekerja untuk Belanda atas nama seluruh rakyat Aceh. Orang tersebut juga harus mampu menjadi penyeimbang antara hukum agama dengan hukum duniawi.
Maka menurut Habib Abdurrahman, bila orang seperti itu diangkat sebagai pemimpin rakyat Aceh, maka rakyat Aceh akan mengikutinya. Diakhir surat itu, Habib Abdurrahman membubuhkan tanda tangganya yang disertai stempel rijksbestuurder dari Pemerintah Aceh.
Tapi saran Habib tidak ditanggapi Gubernur Hindia Belanda. Karena kecewa, Habib kemudian menyerahkan dokumen/naskah-naskah tentang Aceh pada tahun 1886 kepada Snouck.
Naskah itu oleh Snouck kemudian diberikan kepada Ministerie van Kolonieen (Menteri Jajahan Belanda). Sebagai ilmuan Snouck juga menawarkan diri untuk melakukan penelitian di Aceh agar bisa memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang Aceh untuk menaklukkannya.
Pada 9 Juli 1891 Snouck masuk ke Aceh dan menetap di Kutaraja. Ia menjadi orang kepercayaan Van Huetz, seorang jenderal yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Aceh (1904-1909). Setelah melakukan penelitian di Aceh, Snouck kemudian menulis Atjeh Verslag yang berisi laporan kepada Belanda tentan alasan perang Aceh.
Atjeh Verslag merupakan laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasehat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher.
Nasehat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil.
Selain itu Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik deviden et impera. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik. Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.
Van Heutsz adalah seorang petempur murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu menerapkan nasihat pertama Snouck; mematahkan perlawanan secara keras. Tapi Van Heutsz ternyata harus melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit diredam.
Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Inilah yang menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.
Dalam lingkup internal mereka, perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan yang lain yaitu tentang posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis pengurangan pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur Militer.
Namun segala taktik Snouck itu ternyata tidak sepenuhnya mampu meredam perlawanan rakyat Aceh terhadap pendudukan Belanda. Malah sampai Snouck kembali ke Belanda sebagai Penasihat Menteri Urusan Koloni dan meninggal disana pada 16 Juli 1936 perang Aceh melawan Belanda masih berkecamuk.[]