“Sangat diperlukan sebuah masterplan untuk mengelola peninggalan yang telah didaftarkan sebagai cagar budaya maupun banyak situs yang belum diperhatikan oleh BP3 Aceh dan Sumut.”
Oleh E Edwards McKinnon
Semua orang tahu, sejarah Aceh sebagai suatu kesultanan yang gagah berani muncul di Aceh Besar akhir abad 15 atau awal abad 16 dengan cukup gemilang. Akan tetapi bukti-bukti atau bekas kesultanan itu, yaitu ‘tangible evidence’ sangat terbatas.
Memang ada banyak tulisan dalam beberapa bahasa soal kekayaan dan keagungan Aceh selama beberapa ratus tahun. Banyak naskah juga menceritakan kejadian-kejadian selama masa itu. Hanya, peninggalan fisik tampaknya sangat terbatas.
Situs keraton Kesultanan Aceh telah dihancurkan dan dipunahkan Belanda setelah Aceh ditaklukkan akhir abad 19. Hanya tinggal satu atau dua monumen seperti Gunongan dan Pinto Khob maupun aliran sungai Krueng Daroy sebagai bukti lokasi kerajaan tersebut. (Ismail Sofyan dkk 1990).
Selain itu, yang membuktikan kejayaan Aceh selama kurang lebih lima ratus tahun hanyalah beberapa makam dan batu Aceh yang masih dapat dilihat di beberapa lokasi di Kota Banda Aceh maupun sekitar Aceh Besar dan wilayah lainnya.
Pada umumnya batu-batu nisan Aceh itu kurang dilestarikan. Banyak nisan kuno hilang, digilas, dan dirusak tsunami atau dicuri untuk menjadi batu gosok (akik). Dan walaupun tradisi batu Aceh cukup terkenal, ada tradisi nisan lainnya yang hanya terdapat di beberapa lokasi tertentu yang terpakai pada saat yang sama dengan masa awal persediaan batu Aceh sebagai nisan, yaitu yang disebutkan sebagai nisan ‘plang pleng’.
Selama ini, nisan plang pleng ini terdapat di Gampong Pande (Makam Tuan di Kandang dan Makam Putroe Idjoe) dan salah satu lokasi lainnya di Banda Aceh, di Desa Lamreh, terutama di Ujung Batee Kapal dan Lubhok, di beberapa makam di Pase dan di satu atau dua lokasi di wilayah Daya di pantai barat Aceh.
Sebagian besar lokasi ini, kecuali nisan di Ujung Batee Kapal, telah didaftarkan dan diinventarisasi oleh Guillot & Kalus (2009). Kami telah berusaha mengadakan inventarisasi nisan di bagian daratan di atas Ujung Batee Kapal, karena situs di Desa Lamreh ini dapat dikaitkan dengan nama Lamri, Lamuri, Lanwuli atau Lan-wu-li dalam sumber Arab, Armenia, Cina, Keling dan Melayu sejak abad 9 sampai abad 15 Masehi.
Penemuan di Desa Lamreh
Makam di belakang Kuta Lubhok, di pantai Lhok Lubhok telah dikenalkan Alm Suwedi Montana dkk. setelah kunjungannya pada tahun 1995. Kala itu, dilaporkan dalam majalah Archipel, terdapat nisan Sultan Suleiman bin Abdullah bin Bashir yang wafat pada tahun 608 H, atau 1206 M. Sayangnya makam kuno di belakang Kuta Lubhok telah banyak mengalami gangguan dan kerusakan.
Sampai sekarang makam kuno tersebut belum didaftarkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Aceh dan Sumatera Utara. Nisan Sultan Suleiman itu telah menghilang karena tanggal wafatnya Sultan Suleiman hampir seratus lima puluh tahun lebih awal dari epitaf lainnya di makam itu.
Guillot & Kalus (2008) mencurigai dan menganggap bahwa nisan itu mungkin tak pernah ada atau mungkin saja salah baca. Epitaf-epitaf lainnya di makam Kuta Lubhok itu semuanya dari abad 13 sampai 14 M.
Walaupun Suwedi Montana dan Guillot & Kalus telah mengunjungi makam di Kuta Lubhok, tampaknya mereka tak tahu bahwa ada banyak sekali nisan tua yang merupakan batu Aceh maupun nisan plang pleng di atas daratan tinggi tanjung Ujung Batee Kapal di Desa Lamreh.
Saya mengunjungi Benteng Inong Bale di Ujung Batee Kapal (UBK) pada 1997 bersama Drs Nurdin AR, Alm Drs Lukman Nurhakim (waktu itu Kepala Bagian Islam di PuslitArkenas), dan Dr P-Y Manguin dari EFEO.
Saat itu, saya melihat ke bawah dari ujung benteng ke lokasi yang dinamakan Lhok Cut, terdapat jalur air dalam antara karang dari air yang dalam di Krueng Raya ke pantai. Kami turun ke pantai di Lhok Cut dan di sana langsung menemui banyak beling tembikar, bekas crucible (tempat pemasakan logam) dan batuan keramik Cina dari masa Yuan (1278-1360 M) maupun sebuah nisan jenis plang pleng yang waktu itu dibawa ke Museum Negeri Aceh.
Dr Manguin telah mengambil contoh arang dari sebuah crucible di dalam lapisan tanah dasar di Lhok Cut untuk carbon dating (uji karbon). Setelah itu kami sempat kembali beberapa kali ke UBK dengan hasil penemuan beling-beling kuno dan beberapa nisan tua yang dipotret waktu itu. Berdasarkan penemuan tersebut, saya telah susun beberapa tulisan singkat dalam Bahasa Inggris tentang pentingnya peninggalan purbakala di UBK di Desa Lamreh.
Pada 2010 dan awal 2011, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) bersama dengan Singapore Earth Observatory (SEO/NTU) melakukan penggalian teratur di pinggir pantai Lhok Cut dan Lhok Lubhok sebelah barat laut dari benteng Kuta Lubhok.
Di Lhok Cut, berhasil ditemukan banyak tembikar maupun keramik Cina dari masa Yuan. Di pantai Lubhok, tim SEO menemukan sisa-sisa lapisan karang dalam tebing pantai yang telah dihancurkan hingga menyerupai kerikil. Karang ini dianalisis di laboratorium dan diperoleh bukti bahwa telah ada tsunami kuno yang menghantam pantai ini pada 1450 M (keterangan dari K. Sieh 2011).
Awal 2011, ada yang membuka lahan dengan sebuah buldozer pada lahan di atas UBK, tepat di atas lokasi Lhok Cut. Pembukaan lahan ini langsung menunjukkan bahwa lokasi ini bekas pemukiman kuno dari abad 13 atau 14 M.
Deddy Satria, seorang arkeolog independen di Banda Aceh bersama kami menemukan banyak sekali beling kuno, pecahan kaca kuno dari India Selatan, jenis-jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan (India maupun Sri Lanka) dan artefak lainnya dari kerusakan tanah galian di lokasi ini.
Berarti, lokasi ini pernah jadi pemukiman dan merupakan tempat yang cukup ramai sekitar 600-700 tahun lalu. Beling-beling yang dikumpulkan dari atas tanah yang telah dibuldozer itu merupakan pecahan keramik Cina masa Yuan, yaitu mangkuk-mangkuk biru putih dari dapur keramik Jiangxi, pecahan batuan Yuan berglasir hijau dari Fujian, pecahan batuan Cizhou dengan hiasan coklat, dan pecahan batuan Zhejiang dengan glasir hijau (celadon) bermutu tinggi.
Ada juga keramik berglasir biru dari Persia (Iran) maupun sedikit artefak besi maupun tembaga dan batu. Sayangnya lokasi ini maupun situs UBK belum didaftarkan atau dilindungi oleh UU N0.11, Tahun 2010, terutama karena PB3 belum mengerti pentingnya situs yang seluas 200 hektare ini.
Wilayah di atas UBK merupakan suatu pemukiman kuno Islam yang tua sekali dan mungkin saja lebih tua–apabila pembacaan epitaf Sultan Suleiman tersebut benar berasal dari situs Samudera Pase di wilayah Kecamatan Geudong dekat Lhokseumawe.
Telah dibuktikan dengan carbon dating bahwa situs ini telah diduduki sebuah kelompok saudagar Keling sejak pertengahan abad 13, yaitu akhir dinasti Song Selatan dan/atau awal dinasti Yuan di Tiongkok. Mungkin saja kelompok pedagang ini adalah anggota Kelompok Anjuvanam.
Kelompok Anjuvanam adalah sebuah kelompok pedagang atau merchantile guild yang terdiri dari anggota beragama Islam (maupun pedagang Yahudi dan Kristen) pada abad 12 sampai 14 M (Karashima & Subbarayalu 2002: 87).
Hubungan jaringan dagang kelompoknya itu berjarak dari Lautan Merah dan Mesir melalui Teluk Persia, India dan Sri Lanka maupun Selat Melaka ke Quanzhou di Cina Selatan.
Sumber-sumber Arab dari abad 9, sumber India dari abad 11, Armenia dari abad ke … dan Cina dari abad 13 semuanya menyebutkan nama Lamreh dalam bentuk bermacam-macam, yaitu Rami, Ramni, Ilamuridesam, Lamuri maupun Lan-wu-li. Berarti pantai Aceh Besar ini cukup terkenal pada masa tersebut.
Situs UBK di Desa Lamreh wajib dilindungi oleh UU No 11 tahun 2010 dan bila perlu dikelola sebagai taman purbakala dan objek wisata budaya khusus sejarah Islam untuk menjadi sebuah profit centre bagi masyarakat setempat. Bukan saja pemandangannya indah, tetapi suasana tanjung itu juga adem sekali.
Di Desa Ladong (Cot Me) pada tahun 1996, seorang petani tambak di Cot Me bernama Hasballah menemukan pecahan keramik kuno di dalam tambaknya. Pernah juga di lokasi sama ditemukan tiga guci kuno dengan isi tulang manusia. Tulang-tulang ini dikubur kembali di lokasi itu.
Setelah dianalisis, pecahan-pecahan keramik maupun tembikar dalam tambak itu merupakan tembikar lokal, keramik batuan Guangdong dari Cina dari masa Song Utara (960-1127 M), keramik lainnya dari dapur Fujian maupun Zhejiang dari Song Selatan (1127-1268 M) maupun Yuan (1278-1360 M).
Ada juga tembikar berglasir dari Persia dan sejenis tembikar halus yang disebutkan Fine Paste Ware (FPW) dari Champa (Vietnam Selatan) yang dianggap diimpor antara abad 9 sampai abad 11 atau awal abad 12. Sebagian penemuan ini adalah lebih tua dari penemuan di UBK.
Awal 2011, keramik sejenis juga ditemukan di sekitar bekas jalur sungai Ladong yang berdekatan dengan benteng Indrapura. Maka kami berpendapat, wilayah ini perlu diselidiki dengan teliti agar menemukan situs pemukiman kuno yang sezaman dengan penemuan Cot Me. Penemuan ini membuktikan, wilayah ini telah diduduki pada masa perkembangan kerajaan Lamri.
Penemuan pecahan keramik ini yang boleh dikatakan sebagai sampah domestik purba, membuktikan bahwa ada pemukiman bersejarah di wilayah Ladong, jauh sebelum kemunculan kesultanan Aceh awal abad 16 dan bangunan benteng Indrapatra pada pertengahan abad 16.
Boleh ditanyakan, kenapa wilayah ini penting pada masah kuno itu. Kemungkinan besar jawabannya adalah air bersih. Tidak jauh dari Cot Me ada sebuah pancuran besar yang sekarang telah dipipakan dan dijalurkan ke wilayah Krueng Raya. Dahulu air dari pancuran ini mengalir ke pantai melalui sungai Ladong yang sekarang hampir kering.
Sementara itu di belakang Desa Lamnga, Kecamatan Neuheun, Aceh Besar, ada bekas aliran sungai yang diubah menjadi tambak ikan. Dalam proses penggalian tambak tersebut, masyarakat mengangkat pecahan keramik dari masa Yuan yang mirip-mirip dengan penemuan di Lhok Cut, Lamreh, maupun beling yang sama dengan penemuan di Gampong Pande maupun Lambaro Neujid.
Pecahan keramik kuno ini terdiri dari batuan asing dari Cina, Muang Thai dan Vietnam. Itu membuktikan, pernah ada pemukiman kuno di wilayah ini. Situs pemukiman ini belum diselidiki secara ilmiah dan dengan ekskavasi (penggalian) teratur. Pun begitu, penemuan ini adalah penambahan cukup penting dalam catatan sejarah Aceh sebelum abad 15.[]
Penemuan di Gampong Pande
Situs Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Banda Aceh, beserta dua makam kuno, yaitu Tengku di Kandang [TK] dan Putroe Ijo, adalah situs pemukiman kuno yang juga mengalami kerusakan dari ‘subsidence’.
Banyak nisan di luar benteng lautnya telah dirusak air laut sejak tsunami Desember 2004. Berdasarkan bukti dari nisan di Makam Tengku di Kandang (maupun Putroe Ijo, walaupun tanpa tanggalnya), boleh dikatakan, situs Gampong Pande adalah pemukiman kuno sebelum muncul masa kesultanan Aceh.
Hal ini dapat diperkuat dengan penemuan pecahan keramik masa Song Selatan (abad 13) atau Yuan (abad 13/14) sekitar 100 meter di luar benteng lautnya pada 2007. Kehadiran nisan gaya plang pleng yang berprasasti tahun 849 H, 1446 M [TK 1/03] dan 865 H, atau1460 M [TK 1/04), juga memperkuat kesimpulan ini. Epigraf termuda dari nisan plang pleng di komplek Tengku di Kandang adalah 888 H atau 1483/1484 (Guilot & Kalus 2008: 326-336).
Perlu diingat juga, di halaman sebuah madrasah di Neusu pernah ditemukan prasasti Tamil yang didirikan akhir abad 13 (Subbarayalu 2009: 529). Walaupun batunya sangat aus, sebagian dari tulisan aksara Tamilnya dapat dibaca, yang menyatakan: ada suatu kelompok terkait kegiatan perdagangan dan kaitan dengan pengelolaan emas.
Prasasti ini mungkin saja didirikan oleh kelompok pedagang Tamil Ayyavole atau Ainnurruvar (ataupun Anjuvanam) sekitar tahun 1281 M, berdasarkan aksaranya mirip-mirip dengan aksara prasasti Tamil dari Quanzhou di Fujian yang didirikan pada tahun itu (Subbarayalu 2009: 529).
Hemat saya, walaupun belum ada ekskavasi teratur di Neusu, penemuan ini menunjukkan, di wilayah ini telah ada pemukiman kuno saat itu. Halaman madrasah tersebut perlu diselidiki kembali dengan harapan ada pecahan bata kuno atau sisa tembikar yang dapat dihubungi dengan kegiatan orang-orang Tamil tersebut.
Penemuan di Desa Lambaro Neujid
Pertama kali saya kunjungi Lambaro Neujid, Kecamatan Lambadeuk, Aceh Besar, bersama Alm H Mohd Said pada 1975. Lokasi ini menarik perhatian karena terdapat bekas masjid kuno yang menurut cerita masyarakat setempat telah ditelan laut beberapa tahun silam.
Pada 1980an dan sebelum tsunami 2004, saya sempat datang beberapa kali ke Lambaro Neujid sejak 1975 itu. Dalam tulisan tahun 1988, saya kaitkan Lhok Lambaro dengan kerajaan Lamri atau Lamuri. Ternyata pendapat itu salah. Sekarang sudah jelas bahwa Lamri atau Lamuri pernah terletak di pinggir Krueng Raya, di Desa Lamreh sekarang.
Tetapi, apabila Lamri tak terletak di Lambaro, situs itu ada bekas pemukiman kuno juga, dan boleh ditanyakan pemukiman mana? Kemungkinan besar jawabannya dapat diperoleh dari nama lain di tempat itu, yaitu Pancu.
Sebelum 2004, masih ada kuala yang terkenal sebagai Kuala Bin atau Kuala Kepiting. Ada juga semacam pematang pasir di pinggir laut yang sedang dikuras oleh ombak pasang surut di mana ada makam-makam yang dibuka air laut.
Di belakang pematang tersebut terdapat wilayah yang terendam air pasang dan beberapa kompleks makam yang dikelilingi pagar batu dengan nisan tua dari masa kesultanan, yaitu dari abad 16 ke atas. Di wilayah itu juga ada sawah bernama Blangpandemas, di sekitar Desa Lamguron sekarang. Kabarnya masyarakat seringkali menemukan mata uang kuno, mata cincin, dan sisa perhiasan dari emas di situ.
Yang menarik sekali bagi saya sebagai seorang arkeolog adalah pecahan keramik dan sampah tua yang muncul di pasir sepanjang pantai Lambaro Neujid itu. Tertua adalah keramik Cina dari masa Song Selatan, maupun dari masa Yuan, Ming dan Qing. Ada juga pecahan keramik dari Burma, Muang Thai dan Vietnam maupun transfer ware dari Europa (Inggris maupun Belanda), dan pecahan botol kaca dari abad 19.
Sumber-sumber Arab menyebutkan, Fansur dan Lamri sering muncul sebagai dua lokasi berdekatan di utara pulau Sumatera (Tibbets 1971: 140). Dalam karangan Wolters, sebuah pelabuhan yang dinamakan P-o lu dalam sumber Cina (disebutkan sebagai ‘paw-law’) terletak di Sumatra bagian utara. Nama P-o lu ini dikaitkan dengan nama Ramni (Wolters 1979: ).
Tentang lokasi Fansur, ada pula suatu hal lainnya yang menarik. Cordier yang menulis tentang lokasi Fansur dalam bukunya (1910?) mengutip pernyataan Valentijn, seorang sejarawan Belanda yang menerbitkan laporannya sekitar pertengahan abad 18, sebagai berikut:
“Fansur adalah tidak lain dari Pantsur yang terkenal, walaupun tidak terkenal lagi oleh nama itu, tetapi sebuah kerajaan yang kita kenal melalui hasil karya Hamzah Pantsuri, seorang penyair yang berasal dari tempat Pantsur tersebut. Pantsur terletak di ujung utara pulau Sumatera, dan sedikit sebelah barat dari Achin. Fansur tersebut pernah penuh dengan kesibukan perdagangan dan masyarakat yang ramai tetapi barangkali akan hilang sama sekali apabila Hamzah Pantsuri tidak memperkenalkan nama tempat tersebut.”
Kala itu, Cordier berkomentar sebagai berikut, “Tidak mungkin ada pemukiman apa pun di sebelah barat dari Aceh” akan tetapi tulisan tersebut sebenarnya berarti “sedikit lebih jauh di sebelah pantai barat Sumatera dari Aceh”.
Tampaknya Cordier masuk perangkap yang biasa menangkap dan menjebak semua peneliti lainnya, karena ia kurang memperhatikan teluk Lhok Pancu, yang biasanya muncul dalam peta dengan nama Lhok Lambaro.
Dalam teks Arab Aja’ib al-Hind yang disusun sekitar 1000 M terdapat sebuah cerita tentang anak kapal yang terkandas di Fansur. Orang itu berhasil menyelamatkan diri dan kembali ke Lamri atau Lamuri, dengan berjalan kaki melalui sebuah teluk di pinggir laut yang bernama Lulubilank. Mereka hanya berjalan pada siang hari karena takut binatang buas bernama zarafa.
Juga diceritakan, wilayah tersebut penuh kanibal, orang yang berekor dan makan daging manusia. Dalam cerita ini ada kaitan tiga lokasi, Fansur, Lulubilank dan Lamri.
Hemat saya, apabila kejadian ini terjadi sebelum tahun 1000 M, tak mungkin orang-orang itu dapat berjalan kaki sepanjang 500 km dari Barus yang dahulu namanya Varocu ke Lamreh dalam suatu wilayah yang tak aman dan penuh ancaman.
Tetapi, apabila lokasi Fansur itu adalah Pancu sekarang, jaraknya hanya sekitar 60 km dan dapat dilewati dalam waktu kurang dari seminggu, walaupun mereka harus menyeberang tiga muara Krueng Aceh yang lebar.
Perjalanan sepanjang 60 km dan selama beberapa hari seperti itu, boleh dikatakan masuk akal. Apalagi ada nama di pantai ini yang boleh dikatakan mungkin saja cocok dengan nama Lulubilank, yaitu Ulee Lheue. Memang ini suatu kemungkinan yang hampir tak mungkin dapat dibuktikan secara pasti tetapi perlu dipertimbangkan.
Pada 1988, semua orang sudah tahu bahwa Fansur itu adalah Barus. Merurut Tibbets, nama Fansur tak ada lagi di Sumatera (1979: 140). Barus sebagai lokasi Fansur sudah muncul dalam banyak tulisan sejarawan barat (Ptak, Guillot, Perret & Heddy Surachman).
Sekarang saya berani berpendapat berbeda. Sepanjang pantai pulau Sumatera memang hanya ada satu lokasi yang dapat dikaitkan dengan nama Fansur (bahasa Melayu), yaitu Pancu (bahasa Aceh).
Di buku Gazeteer Sumatra, diterbitkan oleh US Hydrographic Dept. tahun 1944, muncul di halaman 155 sebuah lokasi yang bernama ‘Panchu’, terletak di 5° 53’ Utara, 95° 19’ Timur, yaitu sebuah kampong, Pancu; sebuah muara, Kuala Pancu; maupun sebuah tanjung, Ujung Pancu.
Dalam buku yang sama nama Lho Lam Baro ditentukan sebagai 5° 40’ Utara, 95° 21’ Timur. Boleh dikatakan kedua lokasi ini ada di tempat hampir sama.
Dalam tulisan sejarah Dinasti Tang, yaitu Xin Tang shu, ada komentar bahwa sebuah tiang setinggi 8 ‘ch’ih’ yang didirikan di P’o lu pada ‘summer solstice’ akan memberikan bayangan sepanjang ‘2 ch’ih, 5 t’sun’, yang cocok sekali untuk lokasi Lambaro Neujid. Dalam tulisannya, Gerini (1909:664), seorang sejarawan Inggris memperkirakan lokasi ini adalah di 5° 50’ U. (+/-20’) (Edwards McKinnon 1988: 120).
Memang di Barus ada kampung Batak yang bernama Fatsur (artinya ‘pancur’), tetapi kampung ini tak terletak di pantai sekarang dan tak pernah di pinggir pantai. Patsur adalah di pedalaman. Pancu, di Lhok Lambaro Neujid adalah di pinggir laut.[]
Pengaruh Tindakan Alam dan Lingkungan
Penemuan sisa-sisa purba sepanjang pantai Aceh Besar diantara Ujung Masammuka, Ujung Pancu, melewati Uleelhuee dan Ladong, sampai ke Krueng Raya, Ujung Batee Kapal dan Lhok Lubhok memberikan bukti nyata tentang sejarah wilayah ini sebelum munculnya Kesultanan Aceh pada akhir abad 15 atau awal abad 16.
Penemuan-penemuan situs purba yang sangat strategis ini adalah penting sekali dalam rangka sejarah Aceh maupun Nusantara. Bukti-bukti ini ada di lokasi sangat strategis di ujung pulau Sumatera. Beberapa sumber-sumber kuno menyatakan, ada dua kerajaan atau negara yang berdekatan di wilayah ini, yaitu Lamri dan Fansur.
Hal ini mendesak kita membahas kembali sejarah yang selama ini diterima begitu saja. Apabila Fansur pernah ada di Lhok Lambaro (Pancu), walaupun penelitian sampai sekarang belum menemukan peninggalan yang dapat dibuktikan berasal dari abad 9 atau 10, maka klaim dari Barus, walaupun terkenal dalam sumber Arab sebagai Fansur sejak akhir abad 15, tak dapat diterima lagi sebagai lokasi Fansur yang asli.
Kami berpendapat ada kekeliruan tentang lokasi Fansur dalam teks-teks Ibn Majid yang ditulis akhir abad 15 itu. Memang tak ada bantahan tentang Barus atau Vorosu sebagai sumber kapur Barus karena semua kapur bermutu tinggi mesti berasal dari wilayah Lau Cinendang dan sekitarnya di wilayah Dairi Pakpak di ulunya Barus.
Mungkin saja laporan-laporan Arab yang menyatakan bahwa kapur itu, yaitu tentang ‘kapur Fansuri’ dari pelabuhan Fansur adalah benar dan dapat diterima, tetapi berasal dari Fansur sebagai sebuah pelabuhan entrepot dan bukan bahan dari wilayah ulu Fansur (Pancu) sendiri.
Bahan berharga seperti kapur Barus dapat dibawa dari Barus ke Fansur yang terletak di lokasi yang lebih strategis di ujung pulau dan diperjualbelikan di sana.
Juga perlu diingat, laporan Ibn Majid itu ditulis tahun 1462 dan 1488 (Tibbets 1979: 192), yaitu sejak pantai Aceh Besar telah dihancurkan gempa bumi besar maupun oleh dua tsunami raksasa, yaitu pada 1390 dan 1450 (Meltzner et al. 2010).
Dengan demikian, waktu itu pelabuhan Fansur di Lhok Pancu (sekarang Lhok Lambaro Neujid) sudah menghilang atau masih dalam keadaan memprihatinkan. Gempa-gempa bumi kuno tersebut atau gempa berikutnya mengakibatkan wilayah pantai sepanjang kl 60 km dari Ujung Makammuka sampai dengan Ujung Batee Kapal mulai tenggalam (berarti mengalami ‘seismic subsidence’).
Diingat juga, pantai Aceh Besar terletak di antara dua cabang dari garis Sumatra Fault, suatu kerusakan geologis. Satu cabang sebelah barat yang mengarah ke Pulau Weh masuk ke laut di Lhok Lambaro Neujid dan satu lagi, sebelah timur masuk ke laut di dekat pelabuhan Malahayati, yaitu di Kreung Raya (Page & al 1979).
Berdasarakan kenyataan geologis ini, boleh dikatakan wilayah ini tak stabil dan mengalami penurunan seismic. Mungkin saja awalnya, proses ini cukup kecil tetapi sejak awal abad 20, proses tersebut bergerak lebih cepat, walaupun hanya beberapa sentimeter per tahun dengan akibat bekas permukiman Fansur kuno maupun pematang pasir pantai yang masih ada di Lhok Lambaro Neujid pada tahun 1980an telah ditelan arus dan ombak-ombak laut. Bekas bangunan maupun permukiman purba, makam dan sampah kuno masih dapat dilihat dibawa air maupun waktu air surut di sekitar Lhok Lambaro Neujid.
Tindakan alam dan lingkungan, yaitu gempa bumi maupun tsunami dan kegiatan seismic lainnya telah mempengaruhi perkembangan sejarah di wilayah Aceh. Kehilangan pelabuhan Fansur, sebuah entrepot kuno dan tempat asal kapur Fansuri, yaitu nama kapur Barus yang terkenal oleh pedagang Arab sejak abad 9, telah mempengaruhi perkembangan sosio-politik di wilayah Aceh dari pertengahan abad 15.
Kejadian-kejadian di Asia selatan, yaitu di India Selatan maupun Sri Lanka mungkin saja mempengaruhi perkembangan kerajaan Samudera Pase di pantai yang selamat sebelah barat di Selat Melaka pada masa itu juga.
Kesultanan Aceh berkembang dalam suatu keadaan di mana ketika kerajaan-kerajaan sebelumnya di wilayah ini telah dirusak atau dihancurkan (Fansur) dan hilang atau diperlemah (Lamri) oleh tindakan alam.
Pengaruh pedagang-pedagang Muslim terutama dari India, yang hadir di beberapa pelabuhan Sumatera pada akhir abad 12 sudah pasti mempengaruhi perkembangan sosio-politik dan ekonomi masa itu. Perkembangan produksi lada di wilayah itu mungkin juga mempengaruhi perkembangan masa kesultanan (Perret & Heddy Surachman 2011).
Lamri dan Fansur adalah dua buah kerajaan kontemporer yang berdekatan satu dengan lainnya. Apabila Pancu adalah Fansur, maka lokasi ini, hanya 12 km sebelah barat dari Kota Banda Aceh sekarang dan berada pada pantai yang sama, sangat berdekatan dengan Gampong Pande maupun lokasi pusat kesultanan Aceh abad 16/17.
Berarti, Kesultanan Aceh menjadi pewaris kegiatan perdagangan ramai yang pernah ada di Fansur maupun di Lamri pada masa sebelumnya. Dan sebenarnya bukan fenomena baru untuk wilayah strategis seperti ini.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka Pemerintah Aceh dimohon melestarikan peninggalan-peninggalan purba maupun budaya di Aceh demi mendukung perkembangan pendidikan dan ekonomi masyarakat maupun perkembangan parawisata budaya setempat.
Sangat diperlukan sebuah masterplan untuk mengelola peninggalan yang telah didaftarkan sebagai cagar budaya maupun banyak situs yang belum diperhatikan oleh BP3 Aceh dan Sumut.[]
E Edwards McKinnon, peneliti di Research Associate, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Ia memperoleh gelar PhD MA (Cornell) dan FRAS (London).