Cara Aceh membangkitkan diri pascatsunami telah menjadi
contoh baik bagi Jepang. Negeri Sakura itu pun memberi oleh-oleh untuk
Aceh berupa Tsunami Mobile Museum, selain menanami bunga kertas.
Yamamoto dan kawan-kawan saat mempresentasikan Tsunami Mobile Museum kepada peserta workshop internasional di Banda Aceh, 22-26 Desember 2011. (Foto : IST) |
Gempa tektonik dan gelombang tsunami menyapu sebagian Aceh pada 26
Desember 2004. Ratusan ribu jiwa melayang. Jepang, mengalami hal serupa
dengan Aceh pada 11 Maret 2011. Belasan ribu jiwa melayang.
Seperti juga Aceh, masyarakat Jepang pun pernah menghadapi masa
sulit. Terlebih dalam upaya rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana
alam itu. Kerja keras harus tetap dilakukan, karena hidup harus terus
berlanjut.
Sepenggal kalimat itu membuka percakapan saya dengan Prof dr Hayashi
Yukio, Direktur Center for Integrated Area Studies (CIAS), Kyoto
University, Jepang.
Hayashi tak sendiri. Turut bersamanya menemani saya berdiskusi: Prof
dr Yanagisawa Masayuki (ahli bidang pertanian dan agraria), Prof dr
Yamamoto Hiroyuki, Prof dr Hara Shoichiro (ahli bidang area
informatics), dan Prof dr Nishi Yoshimi (ahli bidang penanggulangan
sosial terhadap bencana alam dan konflik).
Hayashi mengatakan, pengalaman masyarakat Aceh yang telah berusaha
dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) pascabencana
alam 26 Desember 2004 sangat membekas di benak masyarakat Jepang.
“Bencana adalah kejadian yang tragis, namun bencana membuka hubungan
baru antara kedua masyarakat yang terlanda bencana alam terdahsyat,
yaitu masyarakat Indonesia (khususnya masyarakat Aceh) dan masyarakat
Jepang,” ujar Hayashi.
Para profesor dari Jepang itu pun berhasrat memperkuat hubungan
kerjasama Aceh-Jepang lebih lanjut. Mereka tak ingin membiarkan hubungan
yang telah terajut itu terbengkalai begitu saja.
Caranya, mereka berinisiatif mengumpulkan pengalaman Aceh
membangkitkan diri pascatsunami 2004 dalam data dan informasi.
Pendokumentasian itu diberi nama Aceh Digital Museum atau Tsunami Mobile
Museum.
Dalam melaksanakannya, Hayashi dibantu Yamamoto dan Nishi. Mereka
kemudian mengumpulkan semua arsip dan data tentang bencana Aceh. Semua
pengalaman masing-masing negara (Aceh dan Jepang) dalam upaya mengatasi
dampak bencana tersebut yang mereka temukan dikumpulkan dan disatukan.
Pengalaman kedua negara itu nantinya bisa dimanfaatkan masyarakat negara
lain yang menghadapi bencana alam di masa mendatang.
Yamamoto dan Nishi mulai mencari bahan pada masa rehab-rekon. Menurut
mereka, masyarakat yang hidup pascabencana di tengah pelaksanaan
rehab-rekon sangat kooperatif (mau berkerjasama). Hal itu membantu
Yamamoto dan Nishi dalam mengumpulkan dan meninjau berbagai informasi
baru untuk membangun komunitas sosial baru.
Mereka paham, saat proses rehab-rekon sedang berjalan, ada banyak
informasi yang tak sempat disusun dan disimpan secara teratur oleh
masyarakat korban bencana. Bahkan ada informasi penting yang dibiarkan
begitu saja. Nah, keduanya memanfaatkan informasi-informasi demikian
untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam pembuatan Tsunami
Mobile Museum.
Usai meraup bahan, Yamamoto dan rekannya berencana melakukan
symposium dan workshop untuk mengenalkan konsep yang sedang
dikembangkan, yaitu Aceh Digital Museum. Dalam menyusun Aceh Digital
Museum itu, mereka melakukan kajian area informatics, yaitu ilmu
pengetahuan aplikasi informasi berdasarkan hasil pengetahuan.
“Area studies dapat digunakan sebagai alat yang menyusun dan
menyimpan informasi dengan cara terbuka pada umum, agar informasi
tersebut bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat, ujar
Yamamoto.
Area studies merupakan suatu ilmu pengetahuan untuk mengaplikasi
kearifan hasil kajian akademis sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat masing-masing wilayah.
Dengan area studies, hasil kajian politik, ekonomi, agraria, mitigasi
bencana, dan lain lain akan dapat dimanfaatkan sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan lokal dengan cara lebih tepat.
Area studies itu merupakan suatu metodologi yang dapat memudahkan
tukar-menukar informasi dari jenis yang berbeda dengan menggunakan
komputer dan teknologi informasi seperti, sistem database, satelite,
analisa multilinguistik, dan lain lainnya seperti gambar foto,
manuskrip, dokumen-dokumen, buku, catatan tangan yang dapat ditempatkan
di atas peta virtual yang ditetapkan di spasi layar komputer.
Peta virtual menjadi suatu platform yang menghubungkan berbagai
informasi dan memberi suatu gambaran masyarakat lokal dengan kearifan
lokal. Sistem pemetaan itu bisa manfaatkan berbagai informasi sesuai
dengan tujuan masing-masing, misalnya bidang pariwisata bencana,
edutainment, dan kajian sejarah.
Beberapa waktu lalu, Yamamoto, Nishi, dan teman-temannya kemudian
menggelar symposium (workshop) internasional di Banda Aceh selama 22-26
Desember 2011. Workshop itu untuk mempertimbangkan bagaimana konsep
Tsunami Mobile Museum dapat diimplementasikan di Banda Aceh, dalam
rangka refleksi tujuh tahun tsunami Aceh.
Area informatics dalam bentuk Tsunami Mobile Museum, menurut
Yamamoto, tak berfungsi kalau tak ada niat dan minat masyarakat. Perlu
juga kerjasama antara berbagai lembaga dan pihak yang bertanggunjawab
sesuai dengan tujuannya.
“Kalau sudah berhasil menciptakan kerjasama tersebut, kita yakin
bahwa dengan area informatics ini Indonesia, khususnya Aceh, akan
menjadi suatu daerah modal untuk mengembangkan perekonomian kreatif
pascabencana alam, terlebih dengan negara-negara lain di dunia,” kata
Yamamoto.
Mungkin saja Indonesia menjadi teladan penanggulangan bencana alam
secara kreatif bagi negara-negara lain termasuk Jepang yang sedang
menjalankan proses rehab-rekon.
Dalam workshop tersebut, mereka mengajak semua peserta mengumpulkan
masing-masing pengetahuan, pengalaman, informasi, dan misi sendiri untuk
memberi sumbangsih pengetahuan bagi siapa saja.
“Kami dari Kyoto University, Jepang, mengharapkan symposium/workshop
ini akan menjadi suatu penolong untuk membuka halaman baru untuk
hubungan antara masyarakat Indonesia (Aceh) dengan masyarakat Jepang
dalam bidang area informatics,” kata Yamamoto.
“Ini sedikit oleh-oleh dari kami untuk masyarakat Aceh,” sambung
Yamamoto sembari memperlihatkan alamat Tsunami Mobile Museum: http://disaster.net.cias.kyoto-u.ac.jp/Aceh_i/
Di situs itu, terdapat database lengkap mengenai gempa dan tsunami
Sumatera 26 Desember 2004. Ia mulai beroperasi 5 Oktober 2009.[]
Penulis : Hendra Syahputra, adalah Content Manager di Divisi Knowldege
Management–Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC)
Unsyiah.