BANDA
ACEH- Festival musik sufi internasional yang digelar di lapangan Blang
Padang berhasil menyatukan kesenian Aceh dalam satu panggung. Tarian
Saman Gayo dan Seudati pun bergoyang seirama tetabuhan rapai geleng,
rapai uroh, rapai pasee, ditingkahi lengkingan serunee kale.
Atraksi seni yang dinamai opening art instrumental musik tradisi Aceh
itu tampil sebagai pembuka festival musik sufi pada Jumat (18/11/2011)
malam.
Boleh dikata ini adalah atraksi yang memadukan gerak dan bunyi-bunyian dalam kesenian Aceh. Biasanya, kesenian tradisional Aceh ini tampil sendiri-sendiri.
Saman Gayo adalah tarian yang berasal dari dataran tinggi Gayo. Sedangkan Seudati lebih dikenal di kawasan Aceh pesisir. Namun, tadi malam, dua kesenian itu menyatu di atas panggung, persis seperti pepatah: asam di gunung, garam di laut, menyatu dalam belanga.
Boleh dikata ini adalah atraksi yang memadukan gerak dan bunyi-bunyian dalam kesenian Aceh. Biasanya, kesenian tradisional Aceh ini tampil sendiri-sendiri.
Saman Gayo adalah tarian yang berasal dari dataran tinggi Gayo. Sedangkan Seudati lebih dikenal di kawasan Aceh pesisir. Namun, tadi malam, dua kesenian itu menyatu di atas panggung, persis seperti pepatah: asam di gunung, garam di laut, menyatu dalam belanga.
Rapai pasee adalah rapai yang berukuran besar, dan harus digantung
dengan tali saat dimainkan. Satu rapai pasee bisa mencapai 15-30
kilogram. Sedangkan rapai uroh, merupakan rapai musik yang berukuran
sedang dan dapat dijinjing dengan tangan. Rapai ini dipukul
bersahut-sahutan seperti orang berbicara sambung menyambung. Sedangkan
rapai geleng merupakan tarian Aceh yang menggunakan alat rapai sambil
menari.
Tak ayal, atraksi itu membuat ribuan penonton yang memadati lapangan Blang Padang terpana. Kelebat penari Saman dan Seudati meliuk seirama tetabuhan rapai dan lengkingan serune kalee. Penonton pun seperti terhipnotis.
Di kiri dan kanan panggung, rapai pasee ukuran besar digantung pada kayu penyangga. Tiga puluhan lelaki dengan sigap mengayunkan telapak tangan menabuh rapai sambil menggenjotkan badan untuk mendapatkankekuatan penuh.
Di latar panggung, sekelompok pria lain duduk bersila sembari menabuh rapai musik (uroh). Di posisi paling depan, duduk sebarisan penari Saman Gayo. Di belakangnya, berbaris pemain Seudati dan rapai geleng.
Tak ayal, atraksi itu membuat ribuan penonton yang memadati lapangan Blang Padang terpana. Kelebat penari Saman dan Seudati meliuk seirama tetabuhan rapai dan lengkingan serune kalee. Penonton pun seperti terhipnotis.
Di kiri dan kanan panggung, rapai pasee ukuran besar digantung pada kayu penyangga. Tiga puluhan lelaki dengan sigap mengayunkan telapak tangan menabuh rapai sambil menggenjotkan badan untuk mendapatkankekuatan penuh.
Di latar panggung, sekelompok pria lain duduk bersila sembari menabuh rapai musik (uroh). Di posisi paling depan, duduk sebarisan penari Saman Gayo. Di belakangnya, berbaris pemain Seudati dan rapai geleng.
Di pertengahan atraksi, penari Saman Gayo 'membelah diri' dalam dua barisan ke sisi kiri dan kanan panggung. Di tengahnya, menyusup pemain rapai geleng dan penari saman yang berlarian ke sana kemari sembari menepuk dada dan menjentikkan jarinya. Sementara di sisi kiri kanan panggung, penabuh rapai Pasee tak henti-henti mengayunkan tangan. Di sela-sela itu, tiupan serunee kalee berpadu dengan suara rapai.
Di penghujung atraksi, penyanyi Rafly muncul dari balik panggung,
berkolaborasi dengan penari dan penabuh rapai. Penonton pun histeris.
Riuh rendah tepuk tangan membahana di Blang Padang meski sisa-sisa
rintik hujan masih turun.
"Laila halilallah.. Muhammadar rasulullah,, lailaha ila allah muhammadar Rasulullah,," lantun Rafly dalam kolaborasi tersebut sambil menutup pertunjukan.
"Laila halilallah.. Muhammadar rasulullah,, lailaha ila allah muhammadar Rasulullah,," lantun Rafly dalam kolaborasi tersebut sambil menutup pertunjukan.