BANDA ACEH – Ulama di Aceh menyebutkan, hukuman cambuk yang berlaku di Aceh lebih manusiawi daripada dipenjara, karena hukuman cambuk hanya membuat jera pelaku dan tidak menyiksa, sementara hukuman penjara menghambat kebebasan seseorang beraktifitas, termasuk mencari rezeki bagi keluarganya.
Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Teungku Faisal Ali, menyesalkan pernyataan KontraS yang menyebutkan pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh melanggar hak asasi manusia (HAM) dan konstitusi. “Cambuk di Aceh untuk membuat jera pelangar syariat Islam tidak untuk menyiksa,” kata Teungku Faisal.
Sejauh ini, pemerintah pusat memberikan otonomi khusus kepada Aceh, termasuk penerapan syariat Islam yang diizinkan menerapkan hukuman cambuk melalui UU Tahun 2001 tentang Otsus dan UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. “Jadi Aceh punya hak istimewa dan tidak boleh disamakan seperti daerah lain,” ujar dia.
Ia mengatakan, dibandingkan hukuman cambuk di negara tetangga seperti di Malaysia, Singapura, Aceh juga lebih manusiawi dalam mengeksekusinya, di mana terhukum masih memakai baju, “Beda dengan negara-negara tetangga itu,” ujar Faisal.
Sebelum dicambuk, tambah Fasial, terpidana lebih dulu dipastikan baik secara fisik, mental, dan kesehatannya. Saat dicambuk terpidana juga diharuskan mengenakan pakaian dan daerah dicambuk adalah punggung. “Jika tercambuk berdarah maka pencambukan harus dihentikan. Jika pingsan orang yang dicambuk juga harus segera diberi perawatan,” ujarnya.
Menurutnya, tak semua daerah di dunia ini harus merujuk pada Konvensi PBB sesuai Pasal 16 yang menentang penyiksaan. PBB tak bisa merantai produk hukumnya untuk semua wilayah. Tiap daerah pasti ada nilai-nilai lokal yang harus dihormati, itu bagian dari HAM.
“Di negara-negara Barat seperti di penjara Guantanamo, Amerika Serikat pelanggaran lebih parah terjadi. Di sana orang disiksa, disetrum, dan diinjak-injak. Lalu kenapa Konvensi PBB tidak berlaku di sana? Bandingkan dengan hukuman cambuk di Aceh, itu tidak seberapa,” ujar Faisal.