Nama Lamno begitu populer, dikarenakan sebagian penduduknya
berciri khas orang Eropa, sehingga sebutan "si Mata Biru" atau "bulek
Lamno" pun tidak terbantahkan ketika kita melihat sosok mereka. Laporan
Lola Alfira dari Radio Fas FM, Meulaboh, Aceh Barat.
Sampai saat ini tidak ada cerita yang pasti soal asal muasal mengapa
si Mata Biru ada di pedalaman desa di bawah kaki gunung Geureute Aceh
Jaya.
Bermata biru
Tidak semua penduduk Lamno yang berada di kecamatan Jaya, kabupaten Aceh
Jaya memiliki postur tinggi, berhidung mancung, berambut pirang,
berkulit putih dan bermata biru kecoklatan. Ciri khas tersebut hanya
dimiliki oleh penduduk asli Daya keturunan Portugis.
Wahidin, salah seorang warga desa Ujong Muloh yang mempunyai darah
keturunan Portugis mengatakan komunitas si Mata Biru atau lebih dikenal
dengan sebutan bulek Lamno, kini sudah berkurang jumlahnya.
"Merupakan keturunan kedelapan karena dari orangtua kami ada yang
kelima dan enam. Di kabupaten Aceh Jaya dan khususnya kecamatan Jaya dan
ada lagi kecamatan Baru, namanya kecamatan Indra Jaya di situ terdapat
beberapa desa yang dihuni oleh penduduk keturunan Portugis yang pada
abad ke-14 sampai ke-16 terdampar di daerah kerajaan Daya," cerita
Wahidin.
"Masyarakat dan kerajaan Daya menahan tentara Portugis, lalu mereka
menikah dengan orang-orang yang berada di sekitar kerajaan Daya.
Desa-desa yang menjadi basis keturunan Portugis penduduknya yaitu desa
Ujong Muloh, Kuala Daya, Gle Jong, Teumareum dan Lambeso, ini umumnya
hampir semua perempuan dan laki-lakinya berciri khas kulit putih, rambut
pirang dan hidung mancung."
Sementara prianya ditambah dengan berbulu di tangan dan bulu dada yang tebal.
"Di Lamno pengaruh Islam luar biasa. Tentara Portugis yang telah
kawin dengan dengan masyarakat Lamno mengikuti agama Islam," kata
Wahidin, warga desa Ujong Muloh.
Dialek
Lamno sebuah wilayah yang terletak di pesisir Barat Aceh, berjarak 86
kilometer dari kota Banda Aceh, ibukota Provinsi. Adat istiadat
Komunitas si Mata Biru sama dengan penduduk Aceh lainnya, hanya dialek
bahasa yang membuat penduduk keturunan Portugis ini menjadi berbeda.
"Menyangkut dengan bahasa masyarakat Lamno berbeda dengan bahasa yang
ada di kota. Orang keturunan Portugis itu menggunakan dialek bahasa
Daya. Umpamanya kalo kamo (kami), bahasa Lamnonya kame atau kamey, (hari
ini) uronyo disebut uronyee."
Ada dua versi cerita tentang asal-usul keberadaan orang Portugis di Lamno.
Versi pertama mengatakan Portugis datang ke Aceh untuk menjajah pada
tahun 1519 dan menikah dengan penduduk setempat, sedangkan versi kedua
mengatakan sebuah kapal perang Portugis yang berisikan ratusan prajurit
terdampar di perairan Lamno.
Kemudian Raja Daya yang berkuasa pada saat itu menyelamatkan prajurit
dan menerima mereka menjadi penduduk setempat, dengan syarat harus
memeluk agama Islam.
Tsunami
Kini keberadaan si Mata Biru atau bulek Lamno keturunan Portugis sudah
berkurang jumlahnya. Desa-desa yang menjadi basis keturunan Portugis
tersebut tersapu oleh dahsyatnya gelombang Tsunami.
Karena imbas tsunami yang luar biasa, keturunan Portugis itu
terpencar. Ada yang ke Banda Aceh, Lhokseumawe dan Meulaboh. Setelah
tsunami mereka kawin dengan orang di sekitar tempat pengungsian.
"Dari hasil perkawinan tersebut sudah ada anak-anak keturunan Portugis berada di luar kecamatan Jaya."
Pemerintah Portugal sendiri telah menyalurkan bantuan pembangunan
fasilitas kesehatan dan pendidikan di kawasan tersebut yang masih
tersisa.
Menurut catatan sejarah yang ada di pusat dokumen induk Aceh, Marco
Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunianya tahun 1292-1295
pernah singgah di kerajaan Daya dan menulis buku tentang kebesaran
kerajaan Daya berbaur dengan prajurit Portugis di Lamno.