Menilik sejarah panjang Indonesia yang banyak tersandung konflik masa
silam hingga menimbulkan reaksi-reaksi perlawanan dan pemberontakan
beberapa gerakan di daerah karena asumsi ketimpangan dan ketidakadilan
yang mereka rasakan, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua,
Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku Selatan serta Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di Aceh sendiri yang masih menyisakan ribuan misteri yang
belum sepenuhnya terpecahkan.
Aceh memang sudah tak bernafsu
lagi mengumbar perang. Setelah kesepakatan MoU Helsinski 6 tahun silam,
maka tonggak perdamaian pun telah kokoh dipancang dalam harapan baru
peradaban. Namun apa yang pernah terjadi selama fase konflik di masa
silam setidaknya telah menyisakan beragam rentetan kisah dan sejarah
yang rumit dan cukup panjang. Salah satunya adalah perang simbol antara
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI).
Jika
OPM melambangkan dirinya dengan simbol burung cenderawasih dan RMS
dengan burung pondo-nya, maka GAM menunjukkan kedigdayaannya dengan
simbolisasi bouraq dan singa. Hal ini tentu sangat berbeda dengan
pemilihan burung rajawali garuda yang diusung RI sebagai lambang negara.
Melihat
semangat perlawanan GAM melalui genderang perang simbol ini mengungkap
beberapa fakta yang tak sekedar kebetulan belaka. Lambang GAM yang
terdiri dari bouraq-singa dengan mahkota masing-masing, bintang dan
bulan sabit, bendera biru, kuning dan hitam, dua rencong, tulisan Arab
Melayu: Udep Saree, Matee Sajan, Sioen Kafan, Saboh Keureunda serta 8 arah mata angin ini memiliki makna tertentu.
Seperti
bouraq-singa yang bermahkota, misalnya. Bouraq adalah kenderaan Nabi
Muhammad saw. ketika melakukan Isra’-Mi’raj, menurut pemahaman
masyarakat Islam dan tentunya juga menjadi keyakinan pendiri GAM.
Sementara singa adalah lambang dari raja rimba dalam banyak sekali
mitologi yang dibangun di seluruh dunia, terutama di negara-negara Eropa
(hal. 85).
Dalam hal ini, tergambar jelas bahwa GAM ingin
menunjukkan bahwa Aceh berbeda dengan Indonesia, di mana bouraq yang
identik dengan Islam sementara burung garuda rajawali sebagai lambang
negara Indonesia yang merupakan kenderaan Dewa Wishnu diidentikkan
dengan Hindu. Di sini jelas terdapat perbedaan dalam hal ideologi dan
keyakinan antara kedua belah pihak. Sementara singa, secara simbolis
dapat diartikan sebagai bentuk kerajaan Aceh, terutama karena diberi
mahkota.
Selain perbedaan dan pertentangan, GAM juga juga hendak
menunjukkan eksistensi serta kekuatannya dalam hal “menaklukkan” RI
lewat perang lambang-nya. Dua rencong yang terdapat dalam lambang GAM,
secara simbolik seolah hendak menikam keperkasaan burung garuda sebagai
lambang RI. Hal ini diperkuat dengan mitos yang berkembang dalam
masyarakat Aceh sendiri tentang asal-mula penciptaan rencong yang akan
digunakan untuk membunuh seekor burung raksasa sejenis rajawali yang
rakus dan tamak karena melahap semua jenis tanaman, buah-buahan dan
ternak masyarakat. Orang Aceh menyebutnya Geureuda (hal. 139).
Lambang
lainnya yang dikupas adalah bendera. Perbedaan bentuk dan warna
bendera antara GAM dan RI ini juga memiliki nilai-nilai tertentu. Sang
Saka Merah Putih sebagai bendera resmi RI mengandung dua makna sesuai
dengan warnanya. Merah jelas berarti keberanian untuk melawan
penjajahan dan bayang kolonialisme, sementara putih bermakna kesucian
yang muncul dari sikap pengorbanan untuk bangsa dan negara. Bendera GAM
sendiri yang terdiri dari bulan sabit dan triwarna (merah, putih dan
hitam) hendak merepresentasikan keagungan dan kesucian syariat Islam di
bumi Aceh.
Simbol ataupun lambang tak sekedar penegasan
identitas, namun juga sebagai landasan awal penanaman ideologi serta
pembuktian eksistensi. Sebagaimana GAM yang identik dengan separatisme
karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat dan RI dengan
nasionalismenya dan menginginkan Aceh tetap dalam naungan RI. Semua
bentuk, fungsi dan arti lambang-lambang tersebut dibedah dengan
menggunakan pisau semiotika yang menempatkan lambang-lambang itu
sebagai teks budaya untuk dicarikan penanda dan petandanya.
Buku
ini hendak mengatakan kepada kita semua, bahwa perang GAM dan RI di
masa silam tak berbatas pada senjata dan ideologi semata, namun juga
lambang, yang kekuatannya jauh melampaui logika sehingga mampu
menanamkan ideologi, mengerahkan massa untuk kemudian secara bersama
mengangkat senjata.
Judul : Bouraq-Singa Kontra Garuda
Penulis : Indra Jaya Piliang
Penerbit : Penerbit Ombak
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xxiv + 184 Hal.
ISBN : 978-602-8335-40-9
Judul : Bouraq-Singa Kontra Garuda
Penulis : Indra Jaya Piliang
Penerbit : Penerbit Ombak
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xxiv + 184 Hal.
ISBN : 978-602-8335-40-9