Terletak di Jalan Jenderal Sudirman No 20, rumah bergaya bangunan lama ini nyaris tak ada bedanya dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Warna bangunannya putih dengan pagar yang rendah.
Masuk ke halaman rumah, barulah kita dapat menyaksikan sebuah prasasti yang menandakan bahwa rumah ini tak lain adalah sebuah pustaka yang terbuka dan boleh dikunjungi oleh siapa saja.
Sejatinya rumah ini adalah milik Prof Ali Hasjmy Gubernur Aceh periode 1957-1964. Ia adalah sosok akademisi yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk pendidikan. Ia sangat mencintai buku. Setiap kali bepergian ke luar kota atau ke luar negeri ia selalu membawa pulang oleh-oleh berupa buku.
“Bapak juga pernah menjadi wartawan dan pernah menerbitkan media Nusa Putra di Jakarta,” kata Dahlia, 59 tahun, anak ke lima Ali Hasjmy, kepada The Atjeh Post, Selasa, 6 Maret 2012.
Setelah kita masuk ke dalam rumah barulah kita menemukan aktivitas sebagaimana umumnya sebuah perpustakaan. Ada rak-rak yang berisi buku-buku koleksi pribadi Ali Hasjmy. Ada meja dan kursi yang disediakan bagi pengunjung pustaka. Di dekat pintu masuk disediakan seperangkat sofa kayu bagi tamu-tamu khusus yang datang berkunjung.
Di dinding ruangan kita bisa melihat berbagai pajangan lukisan dan piagam-piagam yang pernah diraih oleh sang Profesor yang pernah menjadi Rektor IAIN Ar Raniry. Selain buku, dalam lemari-lemari juga menyimpan berbagai cinderamata dan plakat penghargaan yang pernah diperoleh oleh Ali Hasjmy. Ada juga tas-tas seminar yang pernah diikuti beliau baik di dalam maupun di luar negeri, lengkap dengan isi makalahnya.
Perpustakaan ini diresmikan pada 15 Januari 1991 oleh Menteri Lingkungan Hidup pada masa itu yang dijabat oleh Emil Salim. Ali Hasjmy sengaja mewaqafkan tanah seluas hampir tiga hektar tersebut untuk masyarakat Aceh.
Di atas tanah tersebut berdiri sebuah rumah yang kemudian dialih fungsikan menjadi pustaka. Di dalamnya menyimpan kira-kira 15 ribu jilid buku dalam berbagai bahasa seperti Aceh, Indonesia, Arab dan Inggris.
Sebelum menjadi perpustakaan, selama berpuluh-puluh tahun buku-buku, dokumen dan naskah tua dan benda budaya itu bermukim dalam Khazanah kamar pribadi Ali Hasjmy.
Setelah menjadi pustaka, rumah ini ditata menjadi empat ruangan utama. Yaitu Khutubkhanah Teungku Chik Kutakarang, dalam ruangan ini berisi kitab atau buku dari berbagai disiplin ilmu seperti agama, sastra budaya, sejarah dan ilmu pengetahuan umum. Bahkan ada buku-buku terbitan abad ke 20. Di dalam ruangan ini juga terdapat Alquran yang ditulis tangan, naskah tua berbahasa Arab Melayu Aceh dan sejumlah buku hikayat Aceh terkenal.
Lalu ada ruang Warisan Budaya Nek Puteh. Dalam ruangan ini terdapat benda budaya Aceh seperti pakaian Aceh, Jurai Aceh (kamar pengantin), dan ratusan benda keramik dalam bentuk piring hias dan telah berusia ratusan tahun.
Ada juga ruang Khazanah A. Hasjmy. Ini adalah ruang pribadi yang menggambarkan secara utuh sosok Ali Hasjmy. Di ruangan ini terdapat dokumen-dokumen sejak ia muda sampai ujung senja hidupnya. Juga ada radio, meja kerja dan pakaian dinas yang pernah dipakainya selama memangku jabatan sebagai Gubernur Aceh.
Terakhir Ruang Teknologi Tradisi Aceh. Dalam ruangan ini kita dapat menyaksikan Teumpeun Pande Meuh dan Teumpeun Pande Beusoe yang menggambarkan cara orang Aceh dulu dalam menempa emas, perak, dan suasa untuk menjadi hiasan, serta cara membuat rencong dan senjata tajam lainnya.
Selain dua pabrik mini tradisional tersebut, juga terdapat Teumpeun Tenunan Kain Sutera yang bermotifkan Aceh asli.
Selain bangunan pustaka, di belakangnya juga terdapat bangunan rumah terpisah yang ditempati oleh salah satu anak Ali Hasjmy. Di sebelahnya dibangun Rumoh Aceh pada tahun 1995 lengkap dengan Balee atau balai dan Krong Padee (tempat penyimpan padi), dan Jingki (alat penumbuk padi tradisional).
“Seperangkat Rumoh Aceh ini memang sengaja dibangun oleh Bapak sebagai warisan budaya Aceh, sehingga ketika ada orang yang berkunjung ke mari mereka tidak hanya melihat pustaka, tetapi juga bisa mempelajari budaya Aceh secara keseluruhan,” kata Dahlia.
Dahlia mengatakan bahwa sudah saatnya Rumoh Aceh ini direnovasi, namun karena keterbatasan biaya hal itu belum terlaksanakan.
Di dekat Balee ada sebuah bedug atau tambo yang usianya telah lebih dari 170 tahun, peninggalan Syekh Abbas atau Teuku Chik Kutakarang.
Azhar, petugas pustaka mengatakan bahwa Tambo ini pernah digunakan oleh Profesor untuk penanda waktu berbuka puasa.
Koleksi buku tentang Aceh boleh dibilang sangat lengkap di pustaka ini, sehingga banyak mahasiswa yang menjadikan buku-buku di sini sebagai rujukan untuk menyelesaikan tugas akhir mereka. Tak hanya mahasiswa lokal, mahasiswa dan turis-turis dari luar negeri juga banyak yang melakukan penelitian di tempat ini.
Kepada The Atjeh Post, Dahlia mengatakan turis-turis tersebut umumnya berasal dari Malaysia, Singapura, Turki dan lainnaya.
Meski pustaka ini dititipkan ke Pemda oleh Ali Hasjmy namun sampai saat ini masih dikelola oleh pihak keluarga. Dahlia mengatakan bahwa setiap tahunnya Pemda hanya mensuplai dana operasional sebesar seratus juta.
Uang itu hanya cukup biaya operasional dan perawatan pustaka. “Kita sangat berterimakasih atas dukungan dari Pemda, namun jumlah itu hanya cukup untuk biaya operasional sehari-hari saja. Belum bisa untuk merenovasi Rumoh Aceh” katanya.
Sumber