"... Jika kita
kembali seperti dulu, dari serangan sebentar ke sikap bertahan, kita
akan memberikan peluang kepada lawan untuk beristirahat dan kita akan
kehilangan kepercayaan mereka, yang baru saja kita taklukkan. Dan segera
jika mereka itu terlepas dari kita, musuh kita akan menampung mereka
kembali. Makin lama kita akan makin banyak menghadapi perlawanan pasif
para kepala yang telah kita tundukkan, pernyataan tak mampu untuk
memelihara ketertiban...."
dimuat di harian De Java Bode, November 1899
"... selama lebih dari 10 tahun
bertindak dengan energi tanpa mengenal lelah dan pengertian militer yang
meningkat di Sumatera Utara, kita masih jauh dari tujuan akhir;
sesungguhnya untuk mempertahankan apa yang sudah diperoleh, masih tetap
diperlukan pengerahan tenaga besar dari pasukan. Dengan segala kemauan
baik, belum terlihat peralihan berangsur-angsur dari keadaan perang
gerilya ke dalam keadaan damai dengan pemerintahan teratur, yang akan
mengungkapkan dengan terus terang ramalan, kapan operasi akan
berakhir...."
Terbit anonim dalam de Nieuwe
Courant, Juni 1908 Dua karya Snouck Hurgronje itu, bila dibandingkan,
tampak menunjukkan sebuah kebimbangan. Yang pertama, tampak ditulis
dengan nada gahar, sebuah usul tentang bagaimana tak seharusnya
"anak-anak Wilhelmina" menunda menggebuk Tanah Rencong. Sembilan tahun
kemudian (entah kenapa ia menyembunyikan identitasnya), tulisan itu
bagai sebuah pengakuan bahwa tujuan yang diharapkannya tak terlaksana.
Adakah ia merasa nasihatnya telah salah diterapkan? Snouck Hurgronje
datang ke Aceh pada 1891. Anak pendeta dari Oosterhout berusia 34 tahun
itu mengemban misi besar. Saat itu Belanda terombang-ambing oleh
pertanyaan apakah selama ini perang dilakukan dengan cara yang tepat.
Dimulai dari tahun 1873, mereka menjalani perang melawan Aceh selama 16
tahun. Hasilnya, garnisun mereka kocar-kacir.
Bahkan Mayor Jenderal Kohler,
pemimpin agresi pertama, menjadi bangkai. Semakin hari, tentara Kompeni
semakin tak bergerak. Jalan kereta api rusak, kawat telepon yang
menghubungkan benteng satu sama lain digunting. Hikayat Perang
Sabil-sebuah syair perlawanan yang ditulis Teungku Tjhik Pante-yang
mengisahkan perjalanannya naik kapal pulang haji dari Mekah sampai
Penang, dan kemudian disebarkan ke masyarakat oleh Teungku Cik di Tiro
Aceh itu, betul-betul menciptakan syuhada, mujahid-mujahid yang tak
takut mati. Kedatangan pemuda kurus, berjanggut tipis, yang dikenal
karena kenekatannya memasuki Mekah itu, memberikan secercah harapan.
Doktor sastra Arab itu
menyodorkan pergantian taktik militer. Menurut dia, "anak-anak Kincir
Angin" itu tak boleh "menunggu ganda". Pemimpin militer harus dapat
bertindak bebas; memberikan pukulan keras sehingga orang Aceh menjadi
takut, dan tidak menggabungkan diri dengan pemimpin gerombolan yang
berbahaya. Anjuran-anjuran penguasa sipil, menurut Snouck Hurgronje,
sebaiknya didengarkan karena mereka terbiasa dalam keadaan normal.
Jenderal Van Heutz melaksanakannya. Terbukti resepnya manjur. Pada 1903,
Kesultanan Aceh Darussalam menyerah. Tahun itu oleh Belanda ditabalkan
sebagai tahun kemenangan Belanda. Tahun itu juga mereka seolah
menahbiskan sebagai "tahun intelektualitas" Snouck Hurgronje. Namun,
seperti dapat kita baca pada artikelnya tahun 1908 itu, panorama
ketenangan Aceh yang ia lihat adalah panorama dengan ketenteraman semu.
Sebuah generasi baru yang tidak
dipengaruhi perang Aceh, yang diimpikannya, masih jauh dari kenyataan.
Ia sadar bahwa watak rakyat Aceh yang dibentuk selama berabad-abad tidak
bisa diubah dalam sekejap. Pemberontakan masih terus berlangsung meski
sporadis. Cadangan baru sewaktu-waktu terus mengalir menggabungkan diri
dengan sejumlah mujahid yang tak pernah turun-turun dari pegunungan.
Kita tahu-sesudah kematiannya pun-pada generasi selanjutnya, generasi
Daud Beureueh seperti diperlihatkan pada Clash I dan Clash II, adalah
generasi "Perang Sabil" kedua. Adakah Snouck merasa kecewa? "Kegagalan
bukan hanya ada pada Snouck, tapi kemungkinan juga ada kesalahan
interpretasi dari pemerintah kolonial membaca laporan dan nasihat Snouck
Hurgronje," tutur Adabi Darban, kandidat doktor sejarah Monash
University, Australia.
Memang sesungguhnya, masa-masa
itu Snouck juga dikenal sebagai seorang pendukung politik etis. Ia
menentang berbagai segi eksploitasi terhadap masyarakat pribumi. Ia
menentang segala kebijakan yang hanya memberikan untung materiil negeri
Belanda. Setahun setelah "kemenangan" itu, pada 3 Januari 1904, di
Batavia ia melayangkan surat rahasia ke Gubernur Jenderal, isinya
nasihat-nasihat tentang politik Aceh yang harus dianut sesudah tahun
1903. Intinya, ia menginginkan sebuah pemulihan Aceh. Ia menyodorkan
berbagai usul kebijakan praktis yang dianggapnya bisa menghilangkan rasa
benci penduduk Aceh karena tindakan bersenjata kolonial yang lama.
Inilah agenda yang disebutnya pasifikasi. Memahami riwayat Snouck dan
nasihat-nasihatnya serta keterbelahannya antara seorang penganut politik
etis sekaligus seorang penganjur "perang total", kita agaknya bisa
merefleksikannya pada ambivalensi penanganan Aceh kini.
Saat itu Snouck Hurgronje adalah
ilmuwan yang sangat disegani. Dalam usia 18 tahun, ia masuk Fakultas
Teologi Universitas Leiden, kemudian pindah ke fakultas sastra jurusan
Arab. Bila ia memiliki bakat sebagai peneliti agama, mungkin karena
ayahnya adalah pendeta J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya, Anna Maria, putri
pendeta Christian de Visser. Perkawinan orang tuanya didahului skandal
hubungan gelap, sehingga ayahnya dipecat dari Gereja Hermformd di
Tholen. Nama Snouck mencuat di kalangan akademis ketika demi pengabdian
antropologi ia mempertaruhkan nyawa menyusup ke Mekah, yang terlarang
bagi nonmuslim. Tujuan kedatangannya adalah untuk melakukan riset
doktornya tentang Perayaan Mekah. Ia tiba di luar musim haji.
Menurut pengakuan Snouck,
sebagaimana dapat kita baca dari karya-karyanya, di Mekah ia bertemu
dengan beberapa tokoh Indonesia yang tengah menuntut ilmu di sana,
antara lain Haji Hasan Mustafa. Pada suatu ketika penyamarannya ini
tersingkap sehingga ia hampir dibunuh. Namun berkat usaha Haji Hasan
Mustafa-yang berhasil meyakinkan orang-orang di Mekah bahwa Snouck
adalah seorang muslim-Snouck akhirnya selamat. Sejak penyelamatan
tersebut, antara keduanya terjalin hubungan mesra sampai keduanya berada
di Indonesia. Dalam bukunya yang terbit kemudian tentang Mekah, tampak
dengan jelas bagaimana pandangan Snouck tentang orang Jawa (baca:
Indonesia) yang ia temui di Mekah. Ia menganggap bahwa orang Jawa adalah
kelompok manusia yang paling tereksploitasi di Mekah.
Di samping itu ia juga memiliki
pandangan yang sangat sinis tentang sejumlah ulama Indonesia yang ia
temui di sana, contohnya ulama karismatis Syekh Nawawi Banten. Ia
mengejek, meskipun Syekh Nawawi berpuluh tahun hidup di Mekah, bahasa
Arab dan cara melafalkan ayat Al-Quran masih memiliki aksen Jawa yang
medok. Snouck tertarik memperhatikan gerak-gerik jemaah haji asal Aceh.
Ia menganggap, dibandingkan dengan jemaah haji Nusantara lainnya, jemaah
haji Aceh lebih memiliki sikap radikal dan fanatik. Di Mekah, seperti
disaksikan Snouck Hurgronje, mereka mencari dukungan dari ulama-ulama di
sana tentang bagaimana hukumnya berjihad melawan Belanda.
Hurgronje mengikuti pengajian
para ulama Aceh di Mekah, "mendaras bersama", memohon kemenangan Perang
Aceh. Para jemaah melantunkan teks-teks hadis Bukhari; inilah teks yang
dianjurkan oleh pemerintah dan ulama Turki kepada warganya saat Rusia
akan menyerang Kerajaan Ottoman. Pada abad ke-19, Aceh tidak memiliki
ulama sekaliber Hamzah Fansuri, Syamsuri Sumarghani, Abdullah Singkel,
dan Nuruddin Ar-Raniri, ulama-ulama Sumatera abad ke-17 yang pernah
belajar di Mekah. Namun mereka dapat menjalin hubungan dengan
ulama-ulama besar setempat.
Atas permintaan delegasi Aceh,
misalnya, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, mufti Mekah dan ulama besar
akhir abad ke-19, mengeluarkan fatwa yang isinya jihad melawan Belanda
adalah wajib, karena Belanda adalah penguasa kafir. "Perlu diketahui
bahwa jumlah jemaah haji yang berasal dari Aceh selalu besar," kata
Jajang Jahroni, dosen Fakultas Adab Universitas Islam Jakarta. Setelah
menyelesaikan disertasinya tentang Mekah, Snouck tertarik pergi ke Aceh,
meninggalkan tawaran menjadi lektor mata kuliah bahasa Arab dan hukum
di Leiden. Kunjungannya ke Aceh sebetulnya sangat singkat, hanya dari 16
Juli 1891 sampai 4 Februari 1892. Namun itu menghasilkan kajian tentang
struktur masyarakat dan adat yang sangat mendalam dan basah.
Pada
23 Mei 1982, ia menyampaikan laporan tentang situasi politik agama di
Aceh kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Untuk pertama kalinya
terdapat data etnografi adat-istiadat Aceh yang lengkap. Berdasarkan
data itu, Snouck menyarankan agar pemerintah kolonial tidak mengganggu
kegiatan ibadah atau ritual masyarakat Aceh, tapi memangkas aktivitas
politiknya. Itulah konsep Snouck Hurgronje yang sekarang kita kenal
sebagai "Islam sebagai agama dan Islam sebagai politik". Islam sebagai
politik harus diawasi secara ketat, dan Islam sebagai agama harus
dibiarkan. "Masukan penting yang disampaikan Snouck kepada pemerintah
Belanda: pemerintah harus mengawasi para jemaah haji yang baru pulang
dari Mekah.
Sering mereka ini membawa ide
Pan-Islamisme yang bertentangan dengan kepentingan Belanda," kata pakar
Islam Jajang Jahroni. Atas masukan Snouck ini, pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan yang disebut 'Ordonansi Haji', yang antara lain
berisi pembatasan (jemaah dibatasi, ongkos haji dinaikkan, dan birokrasi
yang sangat berbelit-belit). Ordonansi ini diharapkan dapat memutus
hubungan orang Indonesia dengan ide Pan-Islamisme. Snouck juga berusaha
membatasi asimilasi antara orang Arab dan "pribumi". Itu disebabkan
salah satu pemimpin perang Aceh yang pertama adalah orang Arab: Habib
Abdurrachman Al-Zahir. "Beliau adalah ulama dari Yaman yang datang ke
Aceh, diangkat Kesultanan Aceh menjadi duta dan dikirim ke Turki untuk
meminta pertolongan guna menghadapi Belanda, tapi kemudian dia menyerah
ke Belanda," kata Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri
Jakarta.
Meski misinya ke Istanbul tidak
berhasil, ia tetap balik ke Aceh dengan menyamar sebagai orang keling,
mencukur rambut dan jenggotnya. Menurut almarhum Hamid Algadri dalam
bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab Belanda,
Snouck mengupayakan agar orang Arab dan orang Indonesia bermusuhan. Di
antaranya adalah dengan menjadikan orang Arab-di samping orang
Cina-sebagai vreeemde osterlingen (orang asing Timur Jauh) yang
menempati strata kedua dalam strata sosial masyarakat.
Apa kontribusi utama Snouck yang
merombak struktur masyarakat Aceh? "Snouck Hurgronje di Aceh memberikan
kontribusi besar bagi terjadinya pemisahan dan friksi sosial," kata
Azyumardi Arza. Atas dasar penelitiannya di lapangan, Snouck membagi
kepemimpinan di Aceh menjadi dua, yakni kepemimpinan ulama atau teungku
dengan ulebalang atau teuku. Menurut Snouck Hurgronje, kedua
kepemimpinan itu terpisah, tidak ada satu sama lain yang berhubungan.
Padahal ulama dan ulebalang semula adalah dua pilar yang harmonis dan
memiliki saling ketergantungan tinggi. Ungkapan populer masyarakat Aceh
"... hana di gob na di geutanyo, saboh nanggro dua raja... hanya di
tempat kitalah sebuah negeri diperintah dua orang raja..." menunjukkan
fenomena sosial itu.
Snouck Hurgronje menyarankan
kepada pemerintah Belanda untuk mengambil kebijakan merangkul ulebalang
dan menyingkirkan ulama atau para teungku. Menurut Azyumardi, inilah
yang kemudian menyebabkan terjadinya rivalitas dan konflik antara kedua
belah pihak. Soalnya, memang kenyataannya ada juga ulebalang yang juga
merangkap sebagai ulama dan ada juga ulama yang merangkap sebagai
ulebalang. Kesalahan itu, menurut Azyumardi, sama dengan bila ada
ilmuwan yang membagi Jawa atas tiga golongan masyarakat, yakni santri,
abangan, dan priayi. Kenyataannya kita melihat ada priayi yang abangan
dan ada priayi yang santri, dan pada kenyataannya "identitas" mereka
tidak terkotak-kotak seperti itu. Kelemahan utama Snouck Hurgronje, dari
sudut pandang ilmiah, menurut Dr. J.H. Meuleman, dosen di Leiden
sekaligus Ketua Dewan Yayasan Universitas Islam Eropa (Stichting
Islamitische Universiteit van Europa) adalah bahwa ia belum meninggalkan
pandangan yang bersifat hampir umum di antara para ahli Islam dari
dunia Barat pada zamannya.
Pandangan itu adalah bahwa Islam
"yang sebenarnya" adalah Islam yang ditemukan dalam berbagai karya
tertulis "klasik ortodoks" dalam bidang akidah/kalam/fikih, seperti
Asy-Syafi`i, Abu Hanifah. "Dengan kata lain, jika ada praktek dan
pandangan yang terdapat di kalangan orang yang mengaku diri muslim
tetapi berbeda dengan teks klasik, maka Snouck menganggapnya bukan
Islam," kata Meuleman. Itu sebabnya cara pandang Snouck, menurut
Meuleman, menghadapkan "adat" dan "Islam", mempertentangkan "hukum
Islam" dan "hukum adat". Efek hal ini sedemikian besar. Ketika Belanda
sudah tidak lagi berkuasa, saat terjadi revolusi sosial di Aceh pada
zaman Daud Beureueh, terjadilah peristiwa yang "memakan korban anak
sendiri".
Dalam peristiwa Perang Cumbok,
kaum ulebalang ini menjadi sasaran kemarahan masyarakat, banyak
ulebalang yang dibunuh oleh rakyat. "Politik belah bambu, yang satu
ditekan dan yang satu diangkat. Saya kira, itulah yang menimbulkan
perpecahan sosial yang sampai sekarang belum tersembuhkan betul di
Aceh," tutur Azyumardi Azra. Menurut Paul van Teer, penulis Perang Aceh
(De Atjeh-Oorlog), perang itu sendiri meleset dari ekspektasi Snouck.
Snouck keliru dalam memperhitungkan akibat-akibat militer. Cara
penafsiran dan pelaksanaan "pukulan telak" di lapangan ternyata
bervariasi. Menurut Van Teer, rakyat Aceh kian kena pukul dan semakin
dalam mereka tenggelam dalam sikap masa bodoh yang menggerutu.
Di satu pihak, situasi ini
mengakibatkan sikap apatisme dan di pihak lain menyimpan magma yang bisa
meledak secara perorangan ataupun kolektif. Salah penanganan dan
ekspektasi semacam itu agaknya dapat menjadi cermin kita kini. Salah
satu nasihat Snouck, setelah "kemenangan" 1903 itu, adalah sebanyak
mungkin perwira ditugaskan untuk menjalankan pemerintahan sipil di
"wilayah-wilayah rawan". Sebuah kebijakan yang agaknya kini juga diambil
oleh penguasa darurat militer di Aceh. Lima belas anggota AD, 5 anggota
AL, 5 anggota AU, kita tahu, beberapa waktu lalu ditugaskan mengisi
jabatan camat di beberapa daerah Bireuen, Aceh Utara, dan Timur.
Bersamaan dengan itu penyisiran
terus-menerus dilakukan ke masyarakat sipil, ke setiap institusi.
Masyarakat harus mendaftarkan identitasnya lagi dengan KTP merah putih.
Petinggi militer kita telah menyatakan dengan nada bangga bahwa GAM kini
telah "habis" dan mereka berpencar-pencar dalam satuan kecil yang tidak
bisa berkoordinasi. Namun, melihat pengalaman Snouck Hurgronje, bisa
jadi kelak kemudian hari "magma" itu bisa mendidih lagi.
Sesungguhnya pada zaman Snouck
Hurgronje, ada usul agar pemerintahan kolonial tidak menumpas perlawanan
rakyat dengan kekerasan senjata, karena justru itu akan memunculkan
perlawanan baru di banyak daerah. Pendapat ini disokong oleh kalangan
liberalis di Belanda. Mereka menginginkan agar pemerintah kolonial
melakukan pendekatan dengan para pemimpin Aceh secara intens. Inilah
cara yang, apabila dilakukan dengan sabar, akan membuahkan hasil
sebagaimana yang telah ditunjukkan Kolonel Jassin.
Dengan diawali surat-menyurat,
ia mampu meluluhkan ketegaran ulama "batu karang", Daud Beureueh, yang
bertahun-tahun tinggal di pegunungan, untuk turun, kembali ke pangkuan
Republik, tanpa ada setetes darah pun. Satu hal yang harus diingat, oleh
TNI-yang bagi para pengamat mengidap "sindrom Snouck"-pelajaran dari
kisah keberhasilan Snouck adalah: kemenangan dalam perang Aceh sekaligus
dapat menjadi kekalahan.