Rabu, 29 Februari 2012

Snouck Hurgronje, Mekah, dan Aceh


"... Jika kita kembali seperti dulu, dari serangan sebentar ke sikap bertahan, kita akan memberikan peluang kepada lawan untuk beristirahat dan kita akan kehilangan kepercayaan mereka, yang baru saja kita taklukkan. Dan segera jika mereka itu terlepas dari kita, musuh kita akan menampung mereka kembali. Makin lama kita akan makin banyak menghadapi perlawanan pasif para kepala yang telah kita tundukkan, pernyataan tak mampu untuk memelihara ketertiban...."

dimuat di harian De Java Bode, November 1899

"... selama lebih dari 10 tahun bertindak dengan energi tanpa mengenal lelah dan pengertian militer yang meningkat di Sumatera Utara, kita masih jauh dari tujuan akhir; sesungguhnya untuk mempertahankan apa yang sudah diperoleh, masih tetap diperlukan pengerahan tenaga besar dari pasukan. Dengan segala kemauan baik, belum terlihat peralihan berangsur-angsur dari keadaan perang gerilya ke dalam keadaan damai dengan pemerintahan teratur, yang akan mengungkapkan dengan terus terang ramalan, kapan operasi akan berakhir...."

Terbit anonim dalam de Nieuwe Courant, Juni 1908 Dua karya Snouck Hurgronje itu, bila dibandingkan, tampak menunjukkan sebuah kebimbangan. Yang pertama, tampak ditulis dengan nada gahar, sebuah usul tentang bagaimana tak seharusnya "anak-anak Wilhelmina" menunda menggebuk Tanah Rencong. Sembilan tahun kemudian (entah kenapa ia menyembunyikan identitasnya), tulisan itu bagai sebuah pengakuan bahwa tujuan yang diharapkannya tak terlaksana. Adakah ia merasa nasihatnya telah salah diterapkan? Snouck Hurgronje datang ke Aceh pada 1891. Anak pendeta dari Oosterhout berusia 34 tahun itu mengemban misi besar. Saat itu Belanda terombang-ambing oleh pertanyaan apakah selama ini perang dilakukan dengan cara yang tepat. Dimulai dari tahun 1873, mereka menjalani perang melawan Aceh selama 16 tahun. Hasilnya, garnisun mereka kocar-kacir.

Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin agresi pertama, menjadi bangkai. Semakin hari, tentara Kompeni semakin tak bergerak. Jalan kereta api rusak, kawat telepon yang menghubungkan benteng satu sama lain digunting. Hikayat Perang Sabil-sebuah syair perlawanan yang ditulis Teungku Tjhik Pante-yang mengisahkan perjalanannya naik kapal pulang haji dari Mekah sampai Penang, dan kemudian disebarkan ke masyarakat oleh Teungku Cik di Tiro Aceh itu, betul-betul menciptakan syuhada, mujahid-mujahid yang tak takut mati. Kedatangan pemuda kurus, berjanggut tipis, yang dikenal karena kenekatannya memasuki Mekah itu, memberikan secercah harapan.

Doktor sastra Arab itu menyodorkan pergantian taktik militer. Menurut dia, "anak-anak Kincir Angin" itu tak boleh "menunggu ganda". Pemimpin militer harus dapat bertindak bebas; memberikan pukulan keras sehingga orang Aceh menjadi takut, dan tidak menggabungkan diri dengan pemimpin gerombolan yang berbahaya. Anjuran-anjuran penguasa sipil, menurut Snouck Hurgronje, sebaiknya didengarkan karena mereka terbiasa dalam keadaan normal. Jenderal Van Heutz melaksanakannya. Terbukti resepnya manjur. Pada 1903, Kesultanan Aceh Darussalam menyerah. Tahun itu oleh Belanda ditabalkan sebagai tahun kemenangan Belanda. Tahun itu juga mereka seolah menahbiskan sebagai "tahun intelektualitas" Snouck Hurgronje. Namun, seperti dapat kita baca pada artikelnya tahun 1908 itu, panorama ketenangan Aceh yang ia lihat adalah panorama dengan ketenteraman semu.

Sebuah generasi baru yang tidak dipengaruhi perang Aceh, yang diimpikannya, masih jauh dari kenyataan. Ia sadar bahwa watak rakyat Aceh yang dibentuk selama berabad-abad tidak bisa diubah dalam sekejap. Pemberontakan masih terus berlangsung meski sporadis. Cadangan baru sewaktu-waktu terus mengalir menggabungkan diri dengan sejumlah mujahid yang tak pernah turun-turun dari pegunungan. Kita tahu-sesudah kematiannya pun-pada generasi selanjutnya, generasi Daud Beureueh seperti diperlihatkan pada Clash I dan Clash II, adalah generasi "Perang Sabil" kedua. Adakah Snouck merasa kecewa? "Kegagalan bukan hanya ada pada Snouck, tapi kemungkinan juga ada kesalahan interpretasi dari pemerintah kolonial membaca laporan dan nasihat Snouck Hurgronje," tutur Adabi Darban, kandidat doktor sejarah Monash University, Australia.

Memang sesungguhnya, masa-masa itu Snouck juga dikenal sebagai seorang pendukung politik etis. Ia menentang berbagai segi eksploitasi terhadap masyarakat pribumi. Ia menentang segala kebijakan yang hanya memberikan untung materiil negeri Belanda. Setahun setelah "kemenangan" itu, pada 3 Januari 1904, di Batavia ia melayangkan surat rahasia ke Gubernur Jenderal, isinya nasihat-nasihat tentang politik Aceh yang harus dianut sesudah tahun 1903. Intinya, ia menginginkan sebuah pemulihan Aceh. Ia menyodorkan berbagai usul kebijakan praktis yang dianggapnya bisa menghilangkan rasa benci penduduk Aceh karena tindakan bersenjata kolonial yang lama. Inilah agenda yang disebutnya pasifikasi. Memahami riwayat Snouck dan nasihat-nasihatnya serta keterbelahannya antara seorang penganut politik etis sekaligus seorang penganjur "perang total", kita agaknya bisa merefleksikannya pada ambivalensi penanganan Aceh kini.

Saat itu Snouck Hurgronje adalah ilmuwan yang sangat disegani. Dalam usia 18 tahun, ia masuk Fakultas Teologi Universitas Leiden, kemudian pindah ke fakultas sastra jurusan Arab. Bila ia memiliki bakat sebagai peneliti agama, mungkin karena ayahnya adalah pendeta J.J. Snouck Hurgronje. Ibunya, Anna Maria, putri pendeta Christian de Visser. Perkawinan orang tuanya didahului skandal hubungan gelap, sehingga ayahnya dipecat dari Gereja Hermformd di Tholen. Nama Snouck mencuat di kalangan akademis ketika demi pengabdian antropologi ia mempertaruhkan nyawa menyusup ke Mekah, yang terlarang bagi nonmuslim. Tujuan kedatangannya adalah untuk melakukan riset doktornya tentang Perayaan Mekah. Ia tiba di luar musim haji.

Menurut pengakuan Snouck, sebagaimana dapat kita baca dari karya-karyanya, di Mekah ia bertemu dengan beberapa tokoh Indonesia yang tengah menuntut ilmu di sana, antara lain Haji Hasan Mustafa. Pada suatu ketika penyamarannya ini tersingkap sehingga ia hampir dibunuh. Namun berkat usaha Haji Hasan Mustafa-yang berhasil meyakinkan orang-orang di Mekah bahwa Snouck adalah seorang muslim-Snouck akhirnya selamat. Sejak penyelamatan tersebut, antara keduanya terjalin hubungan mesra sampai keduanya berada di Indonesia. Dalam bukunya yang terbit kemudian tentang Mekah, tampak dengan jelas bagaimana pandangan Snouck tentang orang Jawa (baca: Indonesia) yang ia temui di Mekah. Ia menganggap bahwa orang Jawa adalah kelompok manusia yang paling tereksploitasi di Mekah.

Di samping itu ia juga memiliki pandangan yang sangat sinis tentang sejumlah ulama Indonesia yang ia temui di sana, contohnya ulama karismatis Syekh Nawawi Banten. Ia mengejek, meskipun Syekh Nawawi berpuluh tahun hidup di Mekah, bahasa Arab dan cara melafalkan ayat Al-Quran masih memiliki aksen Jawa yang medok. Snouck tertarik memperhatikan gerak-gerik jemaah haji asal Aceh. Ia menganggap, dibandingkan dengan jemaah haji Nusantara lainnya, jemaah haji Aceh lebih memiliki sikap radikal dan fanatik. Di Mekah, seperti disaksikan Snouck Hurgronje, mereka mencari dukungan dari ulama-ulama di sana tentang bagaimana hukumnya berjihad melawan Belanda.

Hurgronje mengikuti pengajian para ulama Aceh di Mekah, "mendaras bersama", memohon kemenangan Perang Aceh. Para jemaah melantunkan teks-teks hadis Bukhari; inilah teks yang dianjurkan oleh pemerintah dan ulama Turki kepada warganya saat Rusia akan menyerang Kerajaan Ottoman. Pada abad ke-19, Aceh tidak memiliki ulama sekaliber Hamzah Fansuri, Syamsuri Sumarghani, Abdullah Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri, ulama-ulama Sumatera abad ke-17 yang pernah belajar di Mekah. Namun mereka dapat menjalin hubungan dengan ulama-ulama besar setempat.

Atas permintaan delegasi Aceh, misalnya, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, mufti Mekah dan ulama besar akhir abad ke-19, mengeluarkan fatwa yang isinya jihad melawan Belanda adalah wajib, karena Belanda adalah penguasa kafir. "Perlu diketahui bahwa jumlah jemaah haji yang berasal dari Aceh selalu besar," kata Jajang Jahroni, dosen Fakultas Adab Universitas Islam Jakarta. Setelah menyelesaikan disertasinya tentang Mekah, Snouck tertarik pergi ke Aceh, meninggalkan tawaran menjadi lektor mata kuliah bahasa Arab dan hukum di Leiden. Kunjungannya ke Aceh sebetulnya sangat singkat, hanya dari 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892. Namun itu menghasilkan kajian tentang struktur masyarakat dan adat yang sangat mendalam dan basah.

Pada 23 Mei 1982, ia menyampaikan laporan tentang situasi politik agama di Aceh kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk. Untuk pertama kalinya terdapat data etnografi adat-istiadat Aceh yang lengkap. Berdasarkan data itu, Snouck menyarankan agar pemerintah kolonial tidak mengganggu kegiatan ibadah atau ritual masyarakat Aceh, tapi memangkas aktivitas politiknya. Itulah konsep Snouck Hurgronje yang sekarang kita kenal sebagai "Islam sebagai agama dan Islam sebagai politik". Islam sebagai politik harus diawasi secara ketat, dan Islam sebagai agama harus dibiarkan. "Masukan penting yang disampaikan Snouck kepada pemerintah Belanda: pemerintah harus mengawasi para jemaah haji yang baru pulang dari Mekah.

Sering mereka ini membawa ide Pan-Islamisme yang bertentangan dengan kepentingan Belanda," kata pakar Islam Jajang Jahroni. Atas masukan Snouck ini, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut 'Ordonansi Haji', yang antara lain berisi pembatasan (jemaah dibatasi, ongkos haji dinaikkan, dan birokrasi yang sangat berbelit-belit). Ordonansi ini diharapkan dapat memutus hubungan orang Indonesia dengan ide Pan-Islamisme. Snouck juga berusaha membatasi asimilasi antara orang Arab dan "pribumi". Itu disebabkan salah satu pemimpin perang Aceh yang pertama adalah orang Arab: Habib Abdurrachman Al-Zahir. "Beliau adalah ulama dari Yaman yang datang ke Aceh, diangkat Kesultanan Aceh menjadi duta dan dikirim ke Turki untuk meminta pertolongan guna menghadapi Belanda, tapi kemudian dia menyerah ke Belanda," kata Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta.

Meski misinya ke Istanbul tidak berhasil, ia tetap balik ke Aceh dengan menyamar sebagai orang keling, mencukur rambut dan jenggotnya. Menurut almarhum Hamid Algadri dalam bukunya Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab Belanda, Snouck mengupayakan agar orang Arab dan orang Indonesia bermusuhan. Di antaranya adalah dengan menjadikan orang Arab-di samping orang Cina-sebagai vreeemde osterlingen (orang asing Timur Jauh) yang menempati strata kedua dalam strata sosial masyarakat.

Apa kontribusi utama Snouck yang merombak struktur masyarakat Aceh? "Snouck Hurgronje di Aceh memberikan kontribusi besar bagi terjadinya pemisahan dan friksi sosial," kata Azyumardi Arza. Atas dasar penelitiannya di lapangan, Snouck membagi kepemimpinan di Aceh menjadi dua, yakni kepemimpinan ulama atau teungku dengan ulebalang atau teuku. Menurut Snouck Hurgronje, kedua kepemimpinan itu terpisah, tidak ada satu sama lain yang berhubungan. Padahal ulama dan ulebalang semula adalah dua pilar yang harmonis dan memiliki saling ketergantungan tinggi. Ungkapan populer masyarakat Aceh "... hana di gob na di geutanyo, saboh nanggro dua raja... hanya di tempat kitalah sebuah negeri diperintah dua orang raja..." menunjukkan fenomena sosial itu.

Snouck Hurgronje menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk mengambil kebijakan merangkul ulebalang dan menyingkirkan ulama atau para teungku. Menurut Azyumardi, inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya rivalitas dan konflik antara kedua belah pihak. Soalnya, memang kenyataannya ada juga ulebalang yang juga merangkap sebagai ulama dan ada juga ulama yang merangkap sebagai ulebalang. Kesalahan itu, menurut Azyumardi, sama dengan bila ada ilmuwan yang membagi Jawa atas tiga golongan masyarakat, yakni santri, abangan, dan priayi. Kenyataannya kita melihat ada priayi yang abangan dan ada priayi yang santri, dan pada kenyataannya "identitas" mereka tidak terkotak-kotak seperti itu. Kelemahan utama Snouck Hurgronje, dari sudut pandang ilmiah, menurut Dr. J.H. Meuleman, dosen di Leiden sekaligus Ketua Dewan Yayasan Universitas Islam Eropa (Stichting Islamitische Universiteit van Europa) adalah bahwa ia belum meninggalkan pandangan yang bersifat hampir umum di antara para ahli Islam dari dunia Barat pada zamannya.

Pandangan itu adalah bahwa Islam "yang sebenarnya" adalah Islam yang ditemukan dalam berbagai karya tertulis "klasik ortodoks" dalam bidang akidah/kalam/fikih, seperti Asy-Syafi`i, Abu Hanifah. "Dengan kata lain, jika ada praktek dan pandangan yang terdapat di kalangan orang yang mengaku diri muslim tetapi berbeda dengan teks klasik, maka Snouck menganggapnya bukan Islam," kata Meuleman. Itu sebabnya cara pandang Snouck, menurut Meuleman, menghadapkan "adat" dan "Islam", mempertentangkan "hukum Islam" dan "hukum adat". Efek hal ini sedemikian besar. Ketika Belanda sudah tidak lagi berkuasa, saat terjadi revolusi sosial di Aceh pada zaman Daud Beureueh, terjadilah peristiwa yang "memakan korban anak sendiri".

Dalam peristiwa Perang Cumbok, kaum ulebalang ini menjadi sasaran kemarahan masyarakat, banyak ulebalang yang dibunuh oleh rakyat. "Politik belah bambu, yang satu ditekan dan yang satu diangkat. Saya kira, itulah yang menimbulkan perpecahan sosial yang sampai sekarang belum tersembuhkan betul di Aceh," tutur Azyumardi Azra. Menurut Paul van Teer, penulis Perang Aceh (De Atjeh-Oorlog), perang itu sendiri meleset dari ekspektasi Snouck. Snouck keliru dalam memperhitungkan akibat-akibat militer. Cara penafsiran dan pelaksanaan "pukulan telak" di lapangan ternyata bervariasi. Menurut Van Teer, rakyat Aceh kian kena pukul dan semakin dalam mereka tenggelam dalam sikap masa bodoh yang menggerutu.

Di satu pihak, situasi ini mengakibatkan sikap apatisme dan di pihak lain menyimpan magma yang bisa meledak secara perorangan ataupun kolektif. Salah penanganan dan ekspektasi semacam itu agaknya dapat menjadi cermin kita kini. Salah satu nasihat Snouck, setelah "kemenangan" 1903 itu, adalah sebanyak mungkin perwira ditugaskan untuk menjalankan pemerintahan sipil di "wilayah-wilayah rawan". Sebuah kebijakan yang agaknya kini juga diambil oleh penguasa darurat militer di Aceh. Lima belas anggota AD, 5 anggota AL, 5 anggota AU, kita tahu, beberapa waktu lalu ditugaskan mengisi jabatan camat di beberapa daerah Bireuen, Aceh Utara, dan Timur.

Bersamaan dengan itu penyisiran terus-menerus dilakukan ke masyarakat sipil, ke setiap institusi. Masyarakat harus mendaftarkan identitasnya lagi dengan KTP merah putih. Petinggi militer kita telah menyatakan dengan nada bangga bahwa GAM kini telah "habis" dan mereka berpencar-pencar dalam satuan kecil yang tidak bisa berkoordinasi. Namun, melihat pengalaman Snouck Hurgronje, bisa jadi kelak kemudian hari "magma" itu bisa mendidih lagi.

Sesungguhnya pada zaman Snouck Hurgronje, ada usul agar pemerintahan kolonial tidak menumpas perlawanan rakyat dengan kekerasan senjata, karena justru itu akan memunculkan perlawanan baru di banyak daerah. Pendapat ini disokong oleh kalangan liberalis di Belanda. Mereka menginginkan agar pemerintah kolonial melakukan pendekatan dengan para pemimpin Aceh secara intens. Inilah cara yang, apabila dilakukan dengan sabar, akan membuahkan hasil sebagaimana yang telah ditunjukkan Kolonel Jassin.

Dengan diawali surat-menyurat, ia mampu meluluhkan ketegaran ulama "batu karang", Daud Beureueh, yang bertahun-tahun tinggal di pegunungan, untuk turun, kembali ke pangkuan Republik, tanpa ada setetes darah pun. Satu hal yang harus diingat, oleh TNI-yang bagi para pengamat mengidap "sindrom Snouck"-pelajaran dari kisah keberhasilan Snouck adalah: kemenangan dalam perang Aceh sekaligus dapat menjadi kekalahan.