Hamzah adalah salah seorang sufi dari Barus dan mengabdikan dirinya di kerajaan Aceh Darussalam. Ia merupakan prototipe sufi yang kaya dan inovatif. salah satu hasil karyanya adalah sya’ir-sya’ir mistik dalam bahasa melayu yang khas yang masih mempengaruhi puisi-puisi spiritual sampai zaman sekarang. dalam tulisan ini saya hanya mencoba memaparkan sepintas latar belakang kehidupan sang pujangga sufi dari Aceh ini.
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi
Beroleh Khilafat ‘Ilmu yang ‘Ali
Daripada ‘Abd Qadir Jailani
Nun di sana, di pelataran sungai singkil, pada masa kejayaan kerajaan Pasai hidup dua orang ulama besar bersaudara, yakni Ali al-Fansuri dan Hamzah al-Fansuri. Pada saat itu kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Aliddin Riayat Syah Said Mukammil (997-1011 H atau 1589 – 1604). Mereka mendirikan pusat pendidikan di pantai Barat Aceh. Syaikh Ali al-Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan, sementara adiknya Syaikh Hamzah Fansuri mendirikan dayah Obah di Rundeng, Simpang Kiri. Dalam tubuh kedua kakak beradik ini masih mengalir darah Persia. Namun tidak jelas, apakah Bapak ataukah kakek mereka sebagai orang Persia asli. Menurut Ali Hasjmy, (1987:43), merekalah yang menjadi cikal bakal perkembangan pemikiran tasawuf di Aceh kemudian hari.
Kebanyakan sarjana yang mengkaji tasawuf Nusantara, khususnya yang berkaitan dengan Hamzah Fansuri, tidak mengakui keterangan Hasjmy, sebab Hasjmy tidak mengemukakan bukti-bukti otentik sejarah yang mendukung pendapatnya. Hanya Mohc. Saghir Abdullah (1996:12) yang menyatakan bahwa ada kemungkinan Hasjmy benar, sebab ia adalah sejarawan dan budayawan Aceh, selain mengenai sejarah, ia juga mengenal kultur Aceh. Karenanya boleh jadi ia mengetahui riwayat tentang Hamzah melalui cerita yang berkembang dalam masyarakat Aceh.
Dari kajian-kajian yang telah dilakukan oleh para ahli, umumnya mereka menyatakan bahwa ia lahir di Barus, sebuah daerah di kota Fansur (sekarang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), yang pada saat itu merupakan kota perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Aceh. Hal ini jelas terlihat dalam sya’ir yang penulis kemukakan di atas. Sementara “Shahr Nawi” dalam Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi berarti Hamzah mendapatkan pengalaman ruhani atau kelahiran secara spiritual di tempat tersebut. Braginsky (1998: 450) memastikan bahwa Shahr Nawi sama sekali tidak ada kaitannya dengan tempat kelahiran secara fisik. Di sini Hamzah mengalami ‘keadaan fana’, dan menemui wujud dirinya yang sejati sehingga seakan-akan ia dilahirkan kembali.
Berkaitan dengan masa hidupnya, para sarjana banyak berpegang pada catatan laporan perjalanan Sir James Lancaster ke kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1602. Menurut Azyumardi Azra, Lancaster pergi ke Aceh untuk membicarakan masalah perjanjian damai antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Aceh. Ia berunding dengan dua tokoh terkemuka yang ditunjuk Sultan, satu disebutnya dengan –istilah Sir James Lancaster,- chiefe of bishope (uskup kepala) dan yang lain bisho (uskup). Uskup kepala digambarkan memiliki kemulian dan dihormati oleh Raja dan masyarakat. Sementara ‘uskup’ sebenarnya tidak layak untuk mengikuti pertemuan formal seperti itu, karena penampilannya yang acak-acakan dan informal, meskipun ia mengerti bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. (1990: 167). Ali Hasyimy meyakini kalau ‘uskup kepala’ yang ada dalam laporan itu adalah Hamzah Fansuri, sebab ia pada saat itu telah menjadi tokoh yang menonjol dan terkenal dalam masyarakat.
Kalau pendapat ini diterima, maka diperkirakan Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad 17. Dengan kenyataan ini berarti Hamzah Fansuri hidup pada masa kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1589 – 1604) sampai periode awal kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. (w. 1936). Karenanya dapat pula dipastikan ia menyaksikan masa-masa keemasan dan kejayaan pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dan otomatis memberikan andil besar dalam perkembangan pemikiran dan praktek keagamaan, khususnya tasawuf.
Pendidikan dasar Hamzah diperolehnya di daerah Fansur. Sebagaimana dikatakan Hasjmy bahwa Fansur pada masa itu, selain dikenal sebagai kota perdagangan kapur barus, di sana juga menjadi kota pendidikan. Karenanya tidak heran kalau di sana pula Hamzah Fansuri belajar di masa kecilnya.
Kemudian, dengan bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf Hamzah lama mengembara ke berbagai negara di dunia, misalnya ke Baghdad pusat pengembangan tarekat Qadiriyah, Makkah, Madinah dan berbagai kota ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan dalam muhibah encarian ilmu pengetahuannya, Hamzah Fansuri juga mengembara ke Banten (Jawa Barat) dan keseluruh tanah Jawa. Ia juga menjajaki semenanjung tanah Melayu, India, Parsi, Arab. Karenanya disebut juga Hamzah Fansuri mahir dalam ilmu fiqh, tasawuf, filsafat, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastera daln lainnya. Demikian juga ia juga menguasai bahasa Arab, Urdu, Parsi, Melayu dan bahasa Jawa.
Ia adalah sufi pengembara. Ini pula yang menjadi salah satu sebab Nuruddin Ar-Raniry tidak memasukkan nama dan aktifitas Hamzah dalam buku sejarah Aceh yang dikarangnya, Bustanul Salatin. (Ada juga kemungkinan disebabkan oleh alasan politis, di mana Ar-Raniry adalah penentang keras ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa Hamzah Fansuri, karena dianggap sebagai ajaran Wihdatul Wujud yang panteistik).
Namun demikian keterlibatannya dalam pembangunan dan pengembangan kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa disangkal. Ia merupakan Syaikhul Islam pada masa awal kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Dalam sistem kesultanan Aceh, Syaikhul Islam adalah orang terbesar kedua dan memiliki pengaruh besar dalam kerajaan setelah Sultan. Bahkan tidak jarang Sultan sendiri secara defacto berada di bawah pengaruh Syaikhul Islam.