Oleh Iskandar Norman
Suku Aceh tak hidup sendiri di Aceh, sembilan suku lainnya ikut menopang provinsi paling barat di Indonesia ini. Dalam keragaman hidup dengan rukun, meski konflik pernah membuat pergesekan.
Sebagaimana dimuat dalam buku Ensiklopedi Aceh, karya Dr Alamsyah dkk, sepuluh suku yang hidup berdampingan di negeri Iskandar Muda ini adalah suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Haloban, dan suku Julu.
Dari zaman dahulu banyak keturunan bangsa asing di tanah Aceh. Bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran Agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain yang semuanya merupakan marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sebaliknya, bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Hal ini dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua seperti nama-nama gampong yang diambil dari bahasa India. Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan, maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang-pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, yang terletak di depan Mesium Negeri Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Banda/ Bandar arti : Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya-Lamno. Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan Nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lamno, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lamno.
Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lamno di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lamno, pimpinan Raja Mereuhoem Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti Marco Polo dan Ibnu Battuta, pernah singgah di tanah Aceh.
Suku Aceh dan Alas
Suku Aceh merupakan suku terbesar di Aceh, tersebar hampir di semua daerah tingkat dua di Aceh. Bahasa sehari-hari juga didominasi oelh bahasa Aceh, meski dengan dialek yang sedikit berbeda.
Sementara Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara (yang lazim disebut Tanah Alas). Kata “alas” dalam bahas Alas berarti “tikar”. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawee Alas (sungai Alas).
Sejak abad ke-18 dan 20 penduduk Tanah Alas semakin bertambah karena migrasi atau kedatangan penduduk dari luar daerah Alas, diantaranya dari Gayo Lues, Aceh, Singkil, Pak-Pak, Karo, Toba, Minang, Mandailing, Jawa dan China. Akibat dari pembauran tersebut mereka membuat marga untuk menampakkan identitasnya masing-masing. Marga yang terdapat di tanah Alas antara lain adalah Selian, Sekedang, Beureueh, Pinem, Mahe, Acih, Seucawan, Ramut, Deski, Klieng, Sambo dan Bangko.
Bahasa Alas mirip dengan bahasa Batak (Karo, Tapanuli dan Fak Fak). Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi dan kemiri, serta mencari barbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau dan sapi.
Gampong atau desa dalam orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenenk moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge (jodoh harus dicari di merge lain).
Seni budaya, Kabupaten Aceh Tenggara memiliki kekayaan budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Aceh. Kesenian tradisional yang telah mendunia adalah Tari Saman yang sering disebut Tari Tangan Seribu.
Seni perang adat alas yang memakai rotan sebagai alat dan tameng, dengan cara saling memukul terhadap lawan. Biasanya sering dilakukan dalam upacara untuk menyambut tamu kehormatan. Kesenian yang menggunakan seruling sebagai medianya. Sering dilantunkan dalam acara adat seperti jagai, sebagai musik pengiring dalam acara perkawinan namun hal ini masih sering didengar walaupun sudah jarang orang yang bisa memainkannya.
Suku Aneuk Jamee
Aneuk Jamee adalah suku terbesar di sepanjang pesisir barat Aceh. Dari segi bahasa, mereka diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau dan menurut cerita, mereka memang berasal dari Ranah Minang. Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang.
H M Zainuddin (1961) menyatakan sewaktu terjadinya Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), banyak orang Minangkabau menghindar dari malapetaka perang tersebut dengan cara bermigrasi menyusuri pantai Barat Aceh (Pasir Karam). Orang-orang Minangkabau yang datang berdomisili di pesisir Barat Aceh itu dianggap sebagai tamu yang berasimilasi dengan penduduk setempat.
Proses asimilasi ini berlangsung secara baik karena persamaan akidah yaitu agama Islam, dengan asimilasi tersebut mereka tidak lagi merasa sebagai orang Minangkabau dan orang Aceh, mereka menyatakan diri sebagai Aneuk jame (Anak tamu). Aneuk Jamee mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Jamee, Bahasa Jamee hampir sama dengan Minangkabau, perbedaannya terletak pada dialek yang sudah dipengaruhi oleh bahasa Aceh. Umumnya mereka berkonsentrasi di Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya dan sebagian kecil di sekitar Meulaboh, Aceh Barat.
Suku Devayan dan Gayo
Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami Kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Salang. Sementara suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di Aceh yakni di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten bener Meriah, dan kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten lainnya, seperti kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur dan kecamatan Beutong di Kabupaten Nagan Raya.
Suku bangsa Gayo terdiri dari tiga kelompok yaitu Gayo Laut mendiami sembilan kecamatan (Kecamatan Takengon, Bebesan, Bukit, Timang Gajah, Bandar, Silih Pegasing, Bintang dan Kecamatan Linge). Gayo Lues mendiami empat Kecamatan di wilayah Aceh Tenggara, Kecamatan Blang Kejeren, Kuta Panjang, Terangon Kecamatan Rikit. Kelompok ini biasa disebut Gayo Belang, Ketiga adalah Gayo Serbajadi, mereka mendiami satu daerah Kabupaten Aceh Timur yaitu Kecamatan Serbajadi. Kelompok ini biasa disebut dengan Gayo Seumamah. Di Kecamatan Serbajadi juga masih ada kelompok kecil lainnya, yaitu Kalul.
Orang Gayo mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Gayo dan setiap kelompok memakai bahasa Gayo dengan dialek berbeda menurut kelompok masing – masing. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya.
Suku Haloban, Julu dan Kluet
Suku Haloban merupakan suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari tujuh desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai. Bahasa haloban masih bertalian erat dengan bahasa Devayan di pulau Simeulue.
Sementara Suku Julu merupakan suatu suku yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil daratan. Suku ini lebih lazim dikenal sebagai suku Singkil. Suku Julu termasuk kelompok suku Pakpak. Suku Pakpak terdiri dari dua kelompok yaitu Pakpak Dairi dan Pakpak Boang. Suku Pakpak Dairi terdapat di Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat di Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan suku Pakpak Boang itulah suku Julu.
Lalu suku Kluet. Suku ini mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan kecamatan Kluet Timur. Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Kluet: bahasa yang mempunyai tiga dialek, di antaranya dialek mengamat, dialek paya Dapur dan Dialek Krueng Kluet. Pada umumnya orang Kluet dapat mengerti ucapan kata dan kalimat-kalimat masing-masing karena yang berbeda dialeknya saja.
Suku Sigulai dan Melayu Tamiang
Suku Sigulai merupakan suatu suku yang mendiami pulau Simeulue bagian utara. Suku ini mayoritas terdapat di kecamatan simeulue Barat dan Kecamatan Alafan. Suku Sigulai juga mendiami sebagian desa di kecamatan Salang, kecamatan Teluk Dalam, dan kecamatan Simeuleue Tengah.
Sementara Suku Melayu Tamiang berada di Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh.
Suku bangsa Tamiang mendiami enam kecamatan Kabupaten Aceh Tamiang, yaitu kecamatan Karang Baru, Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Kecamatan Seruway, Kecamatan Tamiang Hulu, Kecamatan Bendahara. Masyarakat Tamiang dikelompokkan pada dua Kelompok-kelompok bagian Barat adalah Kecamatan Karang Baru Kejuruan Muda dan Tamiang Hulu.
Masyarakat Tamiang mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Tamiang. Bahasa Tamiang banyak persamaannya dengan bahasa Melayu. Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat melayu pesisir timur sumatera lainnya[]