Dia adalah Pengagum Iskandar
Zulkarnain, ...Tokoh yang penuh obsesi; ...Tokoh reformasi yang
kontroversi; ...Sang diktator yang kejam; ...Kepala negara yang tahu
diri; ...Khalifah yang konsisten dengan penegakan hukum dan keadilan;
...Negarawan ulung dan masyhur; ...Sultan yang membuat jera pedagang
asing; ...Tokoh yang nasionalisme Aceh-nya begitu kental; ...Tokoh yang
dipuja-puji, Dikagumi dan diidolakan Rakyat Aceh itu. Dialah "Raja Sulaiman", Dialah "Raja Zainal atau Raja Silan"; Dialah "Darma Wangsa Tun Pangkat", Dialah "Abangta Raja Munawar Shah", Dialah "Raja Mahkota Alam", dialah "Pancagah", Dialah "Johan Alam Syah", “dialah "Seri Sultan Perkasa Alam". Terakhir, Dialah ISKANDAR MUDA,
yang selamanya terukir dalam lembaran sejarah yang sukar dilupakan.
Suatu bangsa yang tidak tahu akan sejarahnya, tidak akan mempunyai masa
depan.
![]() |
DHARMA WANGSA TUN PANGKAT |
Cucu kesayangan
Ala ad-Din Riayat Shah Al-Kahar [Sultan Aceh priode: 1588-1604] yang
lahir dari pasangan Putri Raja Indera Bangsa atau Paduka Syah Alam dan
Mansyur Syah ini, sejak kecil dimanjakan. Kakeknya memberi mainan dua
ekor gajah dan dua ekor kuda yang terbuat dari emas dan selalu
didendangkan kisah Iskandar Zulkarnain dalam versi lain, seperti: //Djak lôn timang puték rambôt; //Beungoh seupôt lôn peumanoë;// Beuridjang rajeuk bintang kutôb;//Ék ta leugôt dumna nanggroë”. Tidak tahu kalau kemudian, hikayat tersebut menjadi acuan yang membentuk kepribadiannya.
Prilaku kakeknya, dicurigai
kedua Pamannya, kalau-kalau jabatan Sultan satu saat akan jatuh ke
tangan Iskandar Muda. Untuk mengelak supaya hal ini tidak terjadi, maka
Ali Riayat Syah dan adiknya (keduanya: anak lelaki Ala ad-Din Riayat
Syah) curi start dengan melancarkan kudeta, sekaligus menjebloskan Ayah
dan Ibu kandungnya dalam penjara sampai mati. Syukur, sebelum terjadi
kudeta, Ala ad-Din Riayat Shah Al-Kahar sempat menanda tangani MoU
tentang: Penggunaan Lintas Dagang Selat Malaka dengan Inggeris tahun
1603. Ali Riayat Syah pemangku Sultan Aceh [periode: 1604-1607],
sementara adiknya pemangku Gubernur Pidië. Iskandar Muda, yang waktu itu
berusia 21 tahun, menyaksikan terjadinya peristiwa ini.
Iskandar Muda melancarkan protes
yang ektreem dengan mengajak Pakciknya (Gubernur Pidië) untuk
melancarkan kudeta pula terhadap Ali Riayat Syah. Sialnya usaha ini
gagal dan giliran Iskandar Muda dijebloskan dalam penjara. Bersamaan
dengan itu, Portugis menyerang Aceh lewat pelabuhan Lamno Daya. Ali
Riayat Syah terpaksa melepaskan Iskandar Muda dengan alasan untuk
memimpin perang melawan Portugis. Aceh menang. Di saat inilah,
tiba-tiba, Ali Riayat Syah meninggal. Untuk mengisi jabatan Sultan yang
vacum, Iskandar Muda menempuh jalan pintas dengan cara menghabisi
Pakciknya (Gubernur Pidië). Iskandar Muda menduduki singgasana Sultan
Aceh [priode: 1607-1636]
Karir Iskandar Muda diawali
dengan menertibkan stabilitas politik dalam negeri dengan menyingkirkan
antek-antek Ali Riayat Syah dan menukarnya dengan wajah baru yang loyal.
Ahli waris dari korban reformasi ini, dialihkan menjadi aparat
pemerintah dalam Istana, supaya mudah dikontrol dan semua harta warisan
dikuasai dan dikelola oleh negara. Para saudagar yang sebelumnya
berpengaruh dalam menentukan kebijakan Sultan tidak bisa lagi berkutik.
Setiap tiga hari sekali mereka wajib lapor kepada Sultan. Rakyat
dikerahkan bertanam: padi, lada, pinang, cengkeh, bawang putih, beras
dan barang komoditi lain, guna memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Selain
itu, hasil pertanian rakyat diekport ke Eropah, Canton (Hong Kong) dan
ke negara-negara sahabat di dunia Arab. Infrastruktur politik ekonomi
(MoU antara Aceh-Inggeris - tahun 1603) dimanfaatkan sepenuhnya.
Ketika kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat sudah dirasakan mapan, barulah belanja negara yang
berasal dari: cukai terhadap kapal-kapal dagang atau pengguna yang
melintasi Selat Malaka dan pajak dalam negeri, digunakan untuk membangun
projek politik mega, yakni: menakluki satu-persatu sultan-sultan di
kawasan Dunia Melayu dan meminta supaya menyetor pajak nanggroë, dengan
catatan: tanggungjawab masalah pertahanan keamanan regional berada di
atas pundak ke-Sultanan Aceh. Untuk itu, Iskandar Muda mendatangkan dan
membayar mahal team penasehat yang brilian dan profesional dari Turki
dalam bidang: ekonomi, hukum, politik, strategi militer, pembuatan
perlengkapan perang: kapal Laut, meriam dan senjata taktis; fuqaha,
anggota Parlemen, pakar pertanian, tenaga pengkaji dan peneliti
pengembangan Ilmu pengetahuan umum, sastera dan pendidikan Islam. [baca:
Prof. Hamka: “Dari Perbendaharaan Lama”].
Hasilnya, pada ketika itu
berhasil mewujudkan lima kekuatan “The Big Five” dunia sebagai pembina
Islam yang berjaya: Turki, Marokko, Isfahan, Agra dan Aceh Darussalam.
Dalam bidang pertahanan: Aceh memiliki 6000 kapal perang dengan 60.000
personel Angkatan Laut untuk mengamankan dunia Melayu dari kuasa asing:
Portugis, Inggeris, Belanda dan Perancis yang datang hanya untuk
menjarah harta kekayaan alam dunia Melayu. Para pakar pertanian ditugasi
untuk meningkatkan produksi, seperti: Kapur Barus, Padi,
Rempah-rempahan, Cengkeh, Lada hitam-putih, timah putih dan
barang-barang komoditi lain di Sumatera Tengah, barat dan Timur dan
sekaligus mengawasi kualitas barang ekport.
Pedagang asing (Eropah
khususnya) mengaku jera dengan harga barang yang ditetapkan, tetapi
mereka mesti akur, sebab barang-barang komoditi ekpor asal Aceh-Sumatera
diakui berkualitas tinggi dan diperlukan. Dalam dunia perdagangan dan
politik, Iskandar Muda telah menjadi guru kepada bangsa-bangsa Eropah
lewat kebijaksaan politik ekonomi, yang menekankan pentingnya
kebersamaan kepentingan. Doktrin politik Iskandar Muda menanamkan atau
kalau boleh dikatakan sebagai suatu pemaksaan bahwa beliaulah
satu-satunya tokoh pemersatu bangsa-bangsa Melayu yang ditakuti dan
disegani bangsa asing, sehingga imperium Aceh merambah ke seluruh
Sumatera, melebar ke Kalimantan Barat, Malaya dan Jawa Barat. Hal ini
Perancis dalam peta Royaume d‘Achem (Kingdom of Acheh in Sumatra) yang
dibuat oleh Perancis Abad ke -17 nampak jelas. (Lihat: Peta ini dalam:
“Status Acheh Dalam NKRI”, halaman 178).
Penaklukan Dunia Melayu, memang
menyisakan seribu pertanyaan tentang: dendam, darah, kebencian, cinta
dan tahta. Misalnya saja: saat menakluki Perak dan Pahang. Sultan Perak
dihabisi, Putri Sultan Perak diperisteri Iskandar Muda. Sultan Pahang
dibunuh beserta pengawalnya. Kemudian, salah seorang keluarga Sultan
Pahang diboyong dan dinikahi Iskandar Muda. Sebaliknya, anak lelaki
Sultan Pahang -Iskandar Thani- yang ketika Ayahnya dibunuh masih berusia
7 tahun, diselamatkan dan dididik dalam lingkungan Istana Sultan Aceh,
dinikahkan dengan anak perempuan Iskandar Muda dan diwasiatkan mewarisi
tahta Sultan Aceh [priode: 1636-1641]. Putroë Phang (isteri Iskandar
Muda) dipakai sebagai simbol Kanun: “Adat bak po teumeureuhôm, hukôm bak
Sjiah Kiala, Kanun bak Putroë Phang, reusam bak bintara”. Sebaliknya,
dari 21.000 tawanan perang dari Malaya dipenjarakan di Aceh,
sekurang-kurangnya 5000 - 6000 mati kelaparan.
Proyek politik mega Iskandar
Muda sangat mahal harganya. Betapa tidak! Ribuan kapal perang dan
puluhan ribu Angkatan Laut Aceh yang berjuang melawan kuasa asing
(Portugis) di Melaka tidak lagi pulang ke tanah air. Mereka dikabarkan
kandas di Selat Melaka dan terkubur di bumi Malaysia. Biarlah fakta
sejarah ini menjadi saksi, agar semua orang tahu tentang: kemaren, hari
ini dan masa depannya Aceh. Betapa tidak! Dalam kasus Meurah Pupuk
-satu-satunya anak lelaki Iskandar Muda yang akan mewarisi tahta,
divonis hukuman rajam sampai mati oleh Menteri Kehakiman (Sri Raja
Panglima Wazir Mizan), karena tertangkap basah melakukan zina dengan
isteri seorang panglima perang. Sebagai pemimpin, Iskandar Muda
konsekuen dengan penegakan hukum. Beliau berpihak kepada kebenaran,
bukan kepada kejahatan. Kebenaran itu berpihak! Demi kebenaran, bukan
saja menumpahkan darah orang lain; tapi juga berani merajam anak
kandungnya sampai mati di depan umum, kalau memang perlu untuk itu.
Iskandar Muda, di mata ahli
sejarah bagaikan lukisan ekpresionisme (abstrak) yang mengkombinasikan
pelbagai warna kontras di atas kanvas politik. Di mata dan di hati orang
Aceh, Iskandar Muda “bagaikan Iskandar Zulkarnain waktu meninggalkan
Rum untuk menaklukan dunia.” (dennys Lombard, “Kerajaan Aceh Zaman
Iskandar Muda” , hlm. 229. Kisah Iskandar Muda adalah riwayat yang
mengisahkan dan sekaligus mengajarkan tentang keberanian bertindak
sebagai pelakon, bukan menjadi penonton. Wallahu‘aklam bissawab!