Rumoh Geudong terletak di desa
Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak
125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini menempati
posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur 95,75-96,20
derajat.
Menurut alkisah dari penuturan
ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja
Lamkuta, putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar
200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah
tersebut sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang
diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.
Namun, Raja Lamkuta akhirnya
tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung yang dilakukan oleh
tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang di
dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta
dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh
Geudong.
Tidak berhenti begitu saja
perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih
lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap
Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung
Rumoh Geudong.
Pada masa-masa berikutnya, Rumoh
Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman,
Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang
masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati
oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein.
Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku
Muhammad.
Pengurusan Rumoh Geudong sekaran
ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman.
Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga,
dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan
anak Teuku Keujren Gade.
Laksana Peti Mati
Sebelum Rumoh Geudong digunakan
sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak April 1990. Masih menurut ahli
waris, penempatan sejumlah personal aparat militer pada saat itu hanya
sementara, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh
Geudong merasa keberatan, namun para anggota Kopassus yang terlanjur
menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus “rumah tahanan”
dan tidak mau pindah lagi.
Baru
pada tahun 1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang
ditandatangani Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan
pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus
halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering
diganggu.
Memang ikhwal adanya sebuah peti
mati yang berisikan kain kafan berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup
membuat mistis para penghuninya. Dari peti mati inilah sering keluar
makhlus halus yang berwujud harimau. Menurut penuturan dari pemilik
rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah dalam peti tersebut
merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang
meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh Belanda.
Ada gangguan yang memang
dirasakan oleh para aparat di tempat itu, misalnya aparat yang beragama
non muslim yang tidur di rumah atas (rumah Aceh), secara tiba-tiba
‘diturunkan’ ke rumah bawah. Pada tahun 1992, sempat terjadi juga
penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota Kopassus yang menembak
mati temannya sendiri karena ia bermimpi didatangi harimau yang
menyuruhnya menembak temannya itu.
Karena beberapa peristiwa ini
sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan beberapa bulan saja di
Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan kemudian terpaksa pindah ke Desa
Amud. Namun, karena alasan kurang strategis untuk sebuah pos operasi
militer, anggota Kopassus memindahkan lagi posnya dari Amud ke Rumoh
Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama terkenal, Abu Kuta Krueng
untuk memindahkan makhlus halus yang sering menghantui mereka yang
berada di dalam peti mati melalui sebuah acara ritual kenduri (hajatan
kecil).
Sebelum Ditarik Kopassus Masih Menculik
Selasa 18 agustus 1998, Dua
anggota Kopassus masih mencoba menculik keluarga salah seorang korban di
Desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara, kendati pasukannya sudah
akan ditarik dari Pidie ke Lhokseumawe. Korban penculikan itu adalah
keluarga Mohammad Yunus Ahmad, korban penculikan, 28 Maret 1998 lalu
yang hingga kini belum kembali. Rumah Yunus di Desa Nibong, didatangi
dua anggota Koppasus yang mengendarai mobil Toyota Kijang bernomor
polisi BK 1655 LR.
Kopassus semula hendak
mengangkut istri Yunus, Ny Zaubaidah Cut (37 tahun). Zaubaidah kebetulan
tak ada di rumah. Karena kecewa, Kopassus yang dari Pos Sattis Bilie
Aron itu, mengambil ibu Ny. Zaubidah dan seorang anak Yunus yang masih
berusia 15 tahun. Karena belum berhasil membawa Ny Zaubaidah, dua
anggota Kopassus itu memarkir mobilnya di simpang jalan Blang Malu
menunggu kedatangan Ny Zaubaidah.
Penduduk yang mengetahui
penculikan ibu, anak dan rencana penculikan Ny Zubaidah, menunggu Ny
Zaubaidah di persimpangan lainnya dan mencegat perempuan itu pulang ke
rumah. Penduduk kemudian membawa Ny Zaubaidah ke Sub Den-POM, Sigli.
Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo,
menelepon Koramil Mutiara agar mobil Kijang Kopassus itu ditahan.
Dua anggota Koramil Mutiara
dengan sepeda motor menahan dua anggota Kopassus itu. Petugas Koramil
itu kemudian menggiring mobil Kijang Kopassus hingga ke Markas Koramil
Mutiara. Namun, sebelum petugas POM datang ke Koramil Mutiara, kedua
angota Kopassus sudah kabur. "Saya akan cari mereka itu. Saya belum tahu
namanya. Bisa jadi mereka oknum, atau cuak-cuak itu," kata Hartoyo.***
Tak Ada Lagi Jerit Kesakitan Di Rumoh Geudong
Warga sekitar Rumoh Geudong
(rumah gedung), markas Kopassus yang dipakai sebagai tempat penahanan
dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak lagi mendengar teriakan
kesakitan dan menyaksikan penyiksaan yang dilakukan Kopassus. Perasaan
lega masyarakat itu muncul seiring ditariknya pasukan ABRI dari seluruh
wilayah Aceh.
"Kami sudah tak sanggup lagi
mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh Geudong itu.
Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar
jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu-lagu dari tape
yang diputar keras-keras waktu penyiksaan," kata seorang warga Desa
Aron, tempat marksa Kopassus itu berada. Kepergian Kopassus dari Aron
disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong
mengeluh. Kopassus meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening
telepon.
"Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati,"
kata pemilik rumah itu. Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di
wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk
biaya operasional Kopassus. Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu
dipakai Kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah,
kendaraan, dan sebagainya. "Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai Kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat," ujar seorang warga. ***
Berakhirnya Tanda Luka
Pos Sattis atau lebih dikenal
dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi masyrakat Pidie. Meledaknya
pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang mempunyai luas tanah
150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh - Medan
sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya masyarakat di luar Aceh,
bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
oleh aparat negara (Pa’i, -istilah TNI/Polri bagi rakyat Aceh) telah
melampaui akal sehat mereka.
Menurut keterangan masyarakat
setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus
1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah itu dibakar massa), Rumoh
Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari 50 orang
laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau
Keamana-Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang korban,
ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia
telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami
penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat
Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali
dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai
tahun 1998.
Saat Tim Komnas HAM melakukan
penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan
berbagai barang bukti seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran
70 cm yang sebagian telah remuk serta bercak-bercak darah pada
dinding-dinding rumah.
Selain itu, tim juga melakukan
penyisiran dengan penggalian tanah di halaman Rumoh Geudong yang diduga
dijadikan tempat sebagai tempat kuburan massal. Setelah dilakukan
penggalian, tim hanya menemukan tulang jari, tangan, rambut kepala dan
tulang kaki serta serpihan-serpihan tulang lainnya dari kerangka
manusia.
Bagi masyarakat Aceh, kebencian
terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi
oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kejahatan
kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah dterjadi di rumah itu.
Tepat tanggal 12 Agustus 1998,
sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin
Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut dalam rangka mencari bukti-bukti
kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa. Tentu hal ini sangat
disayangkan, karena telah hilangnya bukti penanda sejarah atau monumen
historis adanya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi
di tempat ini.
Namun, lain lagi menurut ahli
waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah tersebut ternyata sejak tahun
1945, pernah dicoba baka oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu
gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah dan menyerang
para pelakunya. Dan entah kenapa setelah dijadikan sebagai Pos Sattis
oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.
Menurut penuturan terakhir dari
ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad: “Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang
‘minta dibakar’, karena tak ingin sejarahnya ternoda. Kalau dibikin
monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong sebagai tempat
pembantaian. Sedangkan sejarah perjuangannnya bisa-bisa dilupakan
orang.”
Inilah kisah tragis Rumoh
Geudong, pada masa Belanda dan Jepang, rumah besar ini justru menjadi
pusat perjuangan membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia. Semoga
kisah ini menjadi sebuah sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh
rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang
bisa diambil untuk anak cucu nantinya.[]
*******