-----------------------------------------
Saya
tidak tahu harus bersuka cita atau malah berduka ketika beberapa waktu
lalu berkunjung dan membaca sekitar lima belas manuskrip di salah satu
perpustakaan terbesar di London, the British Library.
Saya ‘dipertemukan' oleh Annabel
Teh Gallop, kepala koleksi Asia Tenggara, dengan belasan manuskrip asal
Aceh yang baru dibeli tahun 2004 lalu oleh the British Library dari
sebuah toko buku antik di London, Arthur Probsthain.
British Library sendiri
sebetulnya sangat ketat dan selektif dalam hal pembelian manuskrip,
karena Inggris adalah salah satu negara yang terikat perjanjian dalam
"The 1970 UNESCO Convention", yang tidak memperbolehkan anggotanya untuk
membeli benda cagar budaya negara lain, kecuali benda cagar budaya
tersebut sudah ada di Inggris sebelum tahun 1970.
Berdasarkan sejumlah catatan
yang ditemukan, belasan manuskrip koleksi Probsthain itu sendiri memang
sudah berada di Eropa setidaknya lebih dari 80 tahun yang lalu; mungkin
dibawa pada masa kolonial dari Aceh (entah siapa yang membawanya), dan
kemudian diperjual belikan sampai akhirnya mampir di London!
Ingatan saya tiba-tiba melayang
pada isu tentang perdagangan manuskrip Nusantara di Indonesia ke
Mancanegara! Meski tidak terlihat di permukaan, tidak dapat dibantah
bahwa lalu lintas jual beli manuskrip Nusantara memang terjadi sampai
sekarang, baik melalui cara konvensional maupun dengan memanfaatkan
media jual beli online. Saya beberapa kali menyaksikan sendiri sejumlah
manuskrip itu berpindah tangan!
Sebuah email bahkan pernah
mampir di inbox saya yang meminta dihubungkan kepada siapapun di Eropa
yang bisa membeli manuskrip mushaf al-Quran miliknya. Tentu saja saya
menolak baik-baik, meski sepertinya tawaran serupa ke inbox kawan lain
tetap mengalir. Dalam beberapa kasus, harga manuskrip Nusantara memang
cukup menggiurkan. Sebuah mushaf al-Quran beriluminasi indah asal Bone,
konon pernah terjual seharga 7000 Poundsterling (nyaris Rp. 100jt!).
Bagi sejumlah kawan yang saya
ajak bicara, aktifitas jual beli manuskrip-manuskrip kuno bukan lagi
sebuah berita istimewa. Sebagian mereka malah bergumam datar: "itu kan
sudah biasa". Meski begitu, saya tetap saja terkejut ketika membuka
lembaran manuskrip-manuskrip tua asal abad ke-19 koleksi Probsthain yang
beberapa di antaranya cukup penting.
Salah satu manuskrip itu
berjudul al-haqiqah al-muwafaqah lil-syariah (ilmu tasawuf yang selaras
dengan syariat), karangan seorang ulama India, Fadlullah al-Hindi
al-Burhanpuri (w. 1620). Karya ini merupakan komentar atas kitab goresan
pengarang yang sama, al-Tuhfah al-mursalah ila ruh al-nabi (persembahan
untuk ruh nabi). Berdasar informasi awal dari kawan baik saya, Amiq,
diketahui bahwa salinan naskah ini terdapat di Leiden dengan nomor Or.
7022 (1) dan Or. 7059 (1), tapi tidak terdapat di Perpustakaan Nasional
Jakarta.

Dalam koleksi tersebut juga
terdapat sebuah manuskrip berjudul al-risalah al-syattariyah, dan
silsilah mata rantai tarekat Syattariyah berbahasa melayu yang
menghubungkan murid Aceh dengan ulama terkemuka di Madinah abad ke-17,
tapi tidak melalui jalur khalifah utamanya, Abdurrauf al-Sinkili,
seperti sering disebut oleh para sarjana (Azra 1994).
Lembaran manuskrip lainnya yang
tidak kurang bernilai, berisi ‘catatan harian’ seorang pimpinan Dayah
terkemuka di Aceh awal abad ke-19 berbahasa Melayu, yang antara lain
menulis hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak laki-lakinya,
yang kelak hingga awal abad ke-19 menggantikan posisinya sebagai
pimpinan tertinggi Dayah tersebut dan turut berjuang melawan
kolonialisme Belanda.
Dalam pandangan sejarawan mazhab
Annales, catatan-catatan ‘ringan bersejarah’ semisal ini jelas cukup
penting untuk merekonstruksi aneka aktifitas kehidupan masyarakat
sehari-hari pada masa lalu. Dan Aceh memiliki kekhasan tersendiri karena
menyimpan kategori manuskrip seperti itu yang sepertinya masih banyak
tercecer.
Zawiyah Tanoh Abee di Seulimeum
Aceh besar misalnya. Sejumlah koleksi manuskrip yang pernah kami
deskripsikan (Fathurahman dkk. 2010) memuat informasi sejenis, dan
syukurnya sampai saat ini, setahu saya, manuskripnya masih tersimpan
dengan baik di tempatnya.
Mengapa saya perlu bersuka cita?
Karena saya seorang peneliti. Tidak ada kepuasan tertinggi selain
menjumpai sumber data otentik yang berguna buat penelitian, dan kemudian
menerbitkannya.
Tapi mengapa saya perlu berduka?
Karena kita masih juga tidak berdaya melindungi benda-benda cagar
budaya semacam itu untuk tidak beranjak dari bumi pertiwi!
Kita tidak bisa menyalahkan
lembaga atau negara, seperti the British Library, atau Perpustakaan
Negara Malaysia misalnya, yang dengan sah membeli manuskrip-manuskrip
Nusantara itu dari tangan penjual, atau toko buku yang jelas-jelas
memiliki izin usaha.
Bahkan mungkin kita patut
berterima kasih karena manuskrip-manuskrip itu kemudian dirawat dengan
baik, ‘naik pangkat’ menjadi bagian dari koleksi perpustakaan ternama
dunia, dan yang penting: aksesnya terbuka untuk umum. Ini belum tentu
dilakukan jika manuskrip itu berada di ‘kampung halamannya’ sendiri.
Kita juga tidak bisa menghardik
belaka para pedagang benda antik yang menjajakan manuskrip kepada
pembeli Mancanegara, karena mereka tidak punya pilihan pembeli pribumi
yang berani menawar dengan harga sepadan.
Pun kita tidak berhak
menyudutkan para ahli waris yang terpaksa melego manuskrip miliknya
sebagai barang dagangan, selama kita tidak melakukan penghargaan dan
perhatian apapun untuk membantu melestarikan dan merawatnya. Apalagi
biasanya mereka harus bergulat dengan kebutuhan dasar yang belum
tersantuni dengan baik.
Yang harus difikirkan adalah
mengapa kita belum punya sistem yang efektif agar masyarakat lebih
memilih menjual manuskripnya ke museum atau perpustakaan di negeri
sendiri? Saya yakin haqqul yakin, para pemilik manuskrip itu masih punya
rasa nasionalisme, jika mereka punya pilihan!
![]() |
The British Library London |
Apakah kita belum
mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan pedagang luar? Saya tidak
terlalu yakin! Buktinya beberapa tahun pasca Tsunami lalu, melalui Badan
Rehabilitisi dan Rekonstruksi (BRR), Museum Negeri Aceh mampu membeli
sejumlah manuskrip dari masyarakat dengan harga yang cukup tinggi, dan
kini menjadi tambahan koleksinya. Tentu kita tidak perlu menunggu
datangnya tsunami untuk menjadi sebuah bangsa yang beradab! Ini soal
political will saja.
Kita sudah beruntung mewarisi
budaya tulis yang mahakaya, yang mencirikan sebagai masyarakat beradab
(civilized) pada masa lalu. Tapi itu tidak berarti apa-apa, jika secara
perlahan kita sendiri ‘menghancurkannya’.
* Penullis : Chairperson of the Indonesian Association for Nusantara Manuscripts (Manassa).