Kamis, 14 Juli 2011

Foto-foto Keji Penaklukan Aceh Menjadi Kontroversi Di Belanda

Kolonialisme Belanda di Indonesia ternyata juga diabadikan dalam bentuk foto-foto keji. Ada serangkaian foto keji penaklukan Desa Kuta Reh di Aceh yang terus menimbulkan kontroversi, yaitu debat pro dan kontra di Belanda.
Pada salah satu foto itu terlihat mayat-mayat bergelimpangan di bagian bawah, sementara tentara kolonial KNIL tampak di bagian atas membanggakan "kemenangan" mereka. Kemudian juga terlihat bayi masih hidup di dekat kaki salah seorang tentara KNIL. Paulus Bijl melakukan kajian untuk memperoleh gelar doktor terhadap cara orang Belanda menyikapi foto-foto mengerikan itu dari zaman ke zaman.
Foto (1) Kontroversi - (Klik untuk memperbesar)
Pertama-tama Paulus Bijl bertutur bahwa disertasinya berkisar tentang bagaimana khalayak Belanda menengok kembali satu ekspedisi tertentu pada Perang Aceh. Pada ekspedisi itu dibuat foto-foto di beberapa desa Gayo dan Alas yang penduduknya dibantai habis. Yang paling terkenal adalah foto di Alas. Paulus mempelajari bagaimana khalayak Belanda menyikapi foto-foto itu dalam 100 tahun terakhir. Apa makna yang mereka berikan terhadap foto-foto itu. Itulah intisari disertasinya.

Foto-foto itu dibuat oleh tentara, dalam hal ini KNIL. Fotografnya adalah dokter tentara, namanya Henri Neeb. Foto-foto itu dibuat untuk menunjukkan telah dicapai kemajuan. Pada saat itu, sekitar awal Abad XX, kolonialisme Belanda sampai pada periode penaklukkan wilayah-wilayah lain, selain Jawa yang sudah dikuasai sepenuhnya. Namanya penaklukkan wilayah-wilayah seberang.

Itulah sebabnya dikobarkan Perang Aceh. Dalam perang ini ada apa yang disebut ekspedisi ke Gayo dan Alas. Foto-fotonya dibuat untuk menunjukkan bahwa makin banyak wilayah Aceh yang ditaklukkan. Itulah makna foto itu bagi KNIL, tentara kolonial Belanda.

Mengalami Ketegangan

Menarik untuk mengetahui mengapa penaklukan wilayah-wilayah luar Jawa itu dilakukan. Masalahnya, awal Abad XX sudah masuk zaman Politik Etis yang bertujuan meningkatkan derajat pribumi. Menurut Bijl, kolonialisme Belanda waktu itu sedang mengalami ketegangan. Di satu pihak Belanda ingin memberi pendidikan dan pelayanan kesehatan, tapi di pihak lain mereka juga ingin benar-benar menguasai Hindia Belanda. Sebelum pendidikan dan pelayanan kesehatan bisa diberikan, orang harus dikuasai dulu. Karena itu tentara dikirim. Orang-orang setempat tentu saja tidak mau, karena itu mereka melawan.
Foto Kontroversi (2) - (Klik untuk memperbesar)
Gagasannya adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk, baru sesudah itu dilaksanakan Politik Etis. Tapi keduanya memang bertabrakan. Karena itu ada yang berpendapat kolonialisme Belanda merupakan imperialisme etis, atau diberi alasan etis, atau kalau mau lebih tegas lagi, imperialisme itu disirami kuah etis. Itu cuma lapisan etis. Tapi tujuan utamanya adalah menguasai daerah-daerah itu.

Kenyataan bahwa Belanda merasa perlu menunjukkan kekuasaannya, menurut Paulus Bijl itu berkaitan dengan apa yang terjadi di Eropa pada waktu itu. Semua negara Eropa sedang sibuk-sibuknya menaklukkan wilayah-wilayah lain. Orang Prancis, orang Inggris, Jerman juga ikut bergabung. Kalau satu negara Eropa ingin punya kekuasaan, maka dia harus punya koloni.

Itu meningkatkan status. Dan, biasanya terjadi belakangan, juga alasan keuntungan ekonomis. Selain itu juga ada gagasan bisa menjadi bapak, ini punya peran besar di kalangan orang Belanda, ingin menjadi pelindung. Politik Etis itu diwarnai paternalisme. Makanya orang Belanda tertarik untuk melancarkan ekspedisi itu.

Tidak Bisa Berbuat Lain

Foto-foto penaklukan Gayo dan Alas langsung diumumkan oleh kalangan militer, dimuat dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 1905. Foto-foto itu juga dipamerkan di Batavia. Publik Belanda bereaksi penuh keraguan. Langsung muncul debat ramai. Juga karena kolonialisme mengalami ketegangan.

Di satu pihak orang ingin membawa perbaikan, maklum Belanda merasa punya missi di Hindia Belanda. Cita-cita ini tentu saja dihancurkan oleh foto-foto yang kejam itu. Foto-foto ini memperlihatkan bukannya perbaikan yang dibawa ke Hindia melainkan kekejaman yang keji dan mengerikan.

Tapi banyak juga kalangan yang membela foto itu. Mereka di satu pihak memang mengakui bahwa foto-foto itu tidak baik, tetapi Belanda tidak bisa berbuat lain. Apa yang disebut ekspedisi militer itu tetap harus dilakukan. Tentu saja ada juga sejumlah kecil kalangan yang bersikap kritis. Mereka tidak setuju melihat orang-orang yang ditembak langsung.

Yang juga harus ditegaskan adalah bahwa di Belanda siapapun setuju dengan kolonialisme.Mereka setuju mengirim pasukan ke luar Jawa untuk mengendalikan keadaan. Tetapi ribut-ribut muncul dalam soal caranya. Haruskah dengan pendekatan militer atau justru bisa melalui perundingan dan lebih banyak kesabaran? Gagasannya tetap Belanda sebagai pelindung, gagasan yang paternalistis itu dianut dengan jelas oleh siapa saja.

Lebih Baik dari Inggris

Yang terlihat adalah para pembela, pengkritik dan khalayak umum dihinggapi perasaan tidak enak. Muncul pertanyaan seperti apa sebenarnya kolonialisme Belanda? Apa yang dikerjakan Belanda di Hindia? Dan negara apa sebenarnya Belanda itu. Di balik itu orang Belanda menganggap dirinya lebih baik dari Inggris dan Prancis. Belanda harus memperlakukan warga koloninya dengan lebih baik. Dan foto-foto ini jelas memberikan gambaran yang lain.
Foto Kontroversi (3) - Klik untuk memperbesar
Jadi tidaklah bisa dikatakan foto-foto penaklukan Aceh itu ikut memperkuat status Belanda sebagai negara Eropa dengan koloni terbesar. Yang jelas, di wilayah jajahan peningkatan status itu memang terjadi, karena dengan kekerasan yang keji orang-orang itu dilibas. "Dari dulu dan saya yakin sampai sekarang," demikian Paulus Bijl, "Belanda selalu membanggakan diri sebagai negara yang beda dari negara-negara lain." Negara-negara besar main politik kotor. Belanda tidak, Belanda main politik jenis lain. Menteri-menteri waktu itu mengatakan kita bukan imperialis. Kita hanya membawa yang baik-baik.

Tapi di balik perasaan tidak enak itu, Belanda tetap merasa statusnya meningkat. Yang jelas, dalam proyek menaklukkan wilayah-wilayah luar Jawa, dan itu termasuk ekspedisi ke Gayo serta Alas, wilayah-wilayah itu memang berhasil ditundukkan masuk kekuasaan Belanda.

10 tahun kemudian muncullah gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Sebelum itu sudah terbentuk perlawanan terhadap Belanda. Pada saat yang sama Belanda juga membangun negara kolonial. Penaklukan luar Jawa itu berlangsung serempak dengan pembentukan negara kolonial. Dan negara kolonial ini tegak sampai pendudukan Jepang. Jelas sampai saat itu dibangun kekuasaan kolonial.

Terutama foto-foto penaklukan desa Kuta Reh terlihat mengerikan sekali, banyak orang mati terbantai. Bisakah dikatakan inilah rangkaian foto pertama hasil embeded journalism. Tapi Paulus Bijl buru-buru menambahkan, kita harus tahu pembuat fotonya adalah seorang dokter tentara, ia jelas merupakan bagian tentara. Yang jelas-jelas wartawan embeded adalah harian Deli Courant yang mengirim wartawannya ke beberapa desa itu dan mengirim laporan. Jadi memang ada wartawan, tapi foto-fotonya dibuat oleh seorang dokter tentara yang sekaligus memang fotograf tentara.

Rasisme Garis Pemisah

Sulit dimengerti bagaimana Henri Neeb yang dokter itu, bisa mengabadikan banjir darah yang begitu tidak manusiawi. Bukankah sebagai dokter ia harus menolong mereka yang cedera? Pertama-tama, demikian Paulus Bijl, Henri Neeb bekerja hanya untuk KNIL, tentara kolonial. Di dalamnya juga banyak orang Maluku dan Menado. Kalau prajurit-prajurit itu yang cedera maka dia akan turun tangan. Tapi, Paulus mengakui memang ini ada sesuatu yang aneh. Dokter yang berada di tengah kematian mengerikan seperti ini, dia membiarkannya, bahkan kemudian memotretnya. Ini berkaitan dengan rasisme.

Karena rasisme orang bisa membuat garis pemisah dalam masyarakat kolonial antara orang-orang yang harus tetap hidup dan orang yang bisa mati. Orang-orang Aceh yang terlihat dalam foto ini jelas berada di sisi lain garis pemisah rasial itu. Mereka melawan pembangunan negara kolonial. Perlawanan mereka dihadapi dengan kekerasan yang luar biasa.

Dan dokternya bisa dilihat sebagai orang yang membantu negara kolonial. Dia lebih merupakan dokter negara kolonial katimbang dokter orang biasa. Semua yang memperkuat negara, termasuk juga para prajurit, harus disembuhkan. Kalau ada orang yang tidak membantu pembentukan negara kolonial, bahkan melawannya maka mereka patut dilibas.
Foto Kontroversi (4) 
Itu termasuk perempuan dan kanak-kanak, karena semua warga desa melakukan perlawanan. Pria, perempuan dan anak-anak. Paling sedikit kita hanya tahu soal ini dari laporan orang Belanda. Ini penting karena kita tidak tahu dari sumber lain. Itu memang bisa merupakan gambaran yang salah. Tapi di situ bisa dibaca bahwa segenap warga desa melawan agresi Belanda.

Prajurit Versus Perwira

Dan mereka hanya menggunakan senjata-senjata primitif, tongkat, batu, tidak ada yang istimewa. Juga senjata yang sudah ketinggalan zaman. Sedangkan orang Belanda membawa senjata otomatis, sehingga perang itu sangat tidak berimbang. Karena itu warga desa tidak mungkin bisa menang perang.

Salah satu foto memperlihatkan banyak prajurit yang berdiri di atas mayat-mayat para pemberontak. Dan terlihat betapa sebagian besar prajurit itu bukan orang kulit putih. Dari pelbagai arsip kita tahu bahwa prajurit-prajurit itu berasal dari Sulawesi, di wilayah sekitar Manado dan orang Maluku. Ambon sering disebut sebagai tempat asal orang-orang yang diterima dalam KNIL. Sedangkan semua perwira menengah dan tinggi semuanya orang Eropa.

Orang pribumi tidak boleh menjadi perwira. Itu juga pemisahan yang rasistis. Ada yang bisa menjadi anggota marsosé, tapi ada yang bisa menjadi perwira, cuma yang perwira itu harus orang Eropa.

Sumber http://www.rnw.nl, Radio Netherland Wereldomroep.