Rabu, 09 Januari 2013

9 Negara dengan Peraturan Aneh


Jakarta | Wisatawan perempuan yang traveling ke Kota Lhokseumawe, Aceh, harus siap dengan larangan duduk ngangkang kalau naik motor. Ternyata, masih ada 8 aturan menyetir lainnya yang paling aneh di dunia.

Jangan tertawa dulu, sebab beberapa negara di dunia memang mempunyai peraturan aneh tentang menyetir kendaraan. Peraturannya pun tidak hanya harus dipatuhi oleh masyarakat setempat, tapi juga oleh para traveler yang berkunjung ke sana. Hati-hati, sebab jika melanggar Anda pasti mendapat teguran.

Disusun detikTravel, Rabu (9/1/2013), berikut 9 negara dengan aturan menyetir yang aneh di dunia:

1. Indonesia

Akhir-akhir ini, traveler di Indonesia diramaikan dengan aturan baru di Kota Lhokseumawe, Aceh. Larangan tersebut adalah tidak diperbolehkannya kaum perempuan duduk ngangkang saat dibonceng sepeda motor. Jadi, para perempuan harus duduk menyamping saat dibonceng oleh para lelaki, baik itu teman atau pun suaminya.

Surat edaran larangan ini telah resmi dikeluarkan pada Senin (7/1/2013) lalu. Bagi traveler yang sedang melancong ke Lhokseumawe, Anda akan melihat tempelan surat larangan ini di pusat perbelanjaan, warung, dan masjid.

Larangan ini diberlakukan untuk menjaga adat istiadat dan juga menjaga dari perbuatan maksiat (hal-hal yang tidak diinginkan). Meski begitu, larangan tersebut hingga kini menuai banyak kontroversi. Meski demikian, traveler perempuan di sana harus menaati peraturan yang berlaku.

2. Thailand

Beda lagi dengan peraturan menyetir di Negeri Gajah Putih, Thailand. Di sana, pengemudi laki-laki dilarang membuka baju saat menyetir. Thailand memiliki iklim yang sama dengan Indonesia, yaitu tropis. Pantai-pantai di sana pun menjadi tempat nongkrong favorit.

Meski demikian, Anda tetap harus menggenakan baju jika ingin berkendara di sana. Beda memang dengan di Bali, yang memperbolehkan turis laki-laki bertelanjang dada sambil wara-wiri naik motor. Wah, harus sabar pakai baju sampai tiba di pantai ya!

3. Saudi Arabia

Sama dengan Lhokseumawe, Saudi Arabia memiliki beberapa larangan bagi kaum perempuan. Bedanya, jika di Lhokseumawe perempuan tidak boleh duduk ngangkang saat dibonceng, maka peraturan di Saudi Arabia adalah perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengemudi kendaraan.

Semua perempuan diwajibkan menjadi penumpang, meski dapat menyetir. Saudi Arabia merupakan satu-satunya negara yang tidak memperbolehkan wanita mengemudi mobil sendiri. Jadi, bagi yang perempuan yang mau traveling ke Saudi Arabia ada baiknya menggunakan jasa transportasi umum atau menyewa supir. Rental mobil untuk disopiri sendiri, jelas bukan pilihan.

4. Spanyol

Beranjak ke Eropa, Anda akan dikejutkan dengan beberapa peraturan aneh di sana. Di Spanyol misalnya, Anda tidak boleh menaruh barang-barang belanjaan di kursi belakang mobil. Selain itu, wanita tidak diperbolehkan menyetir dengan lingerie.

Yang aneh lagi, traveler harus tahu tentang peraturan mengenai parkir mobil dan tanggal. Jadi, di beberapa daerah di Spanyol, mobil Anda hanya boleh parkir di depan rumah bernomor ganjil saat tanggal ganjil. Begitu pun saat tanggal genap, Anda hanya boleh parkir di rumah dengan nomor genap. Repot ya?

5. Bulgaria

Nah, kalau di Bulgaria lebih repot lagi peraturannya. Sebab, bagi Anda yang mengemudi mobil diwajibkan membawa beberapa barang penunjang keamanan mobil, seperti segitiga pengaman dan kotak P3K. Tak hanya itu, Anda pun diharuskan membawa rompi terang yang berwarna hijau atau oranye.

Ups, ternyata Anda juga harus diwajibkan membawa tabung pemadam kebakaran di dalam mobil yang dikendarai. Ingat, traveler yang mengemudikan mobil di sana harus cek mobil sewaan dulu sebelum berangkat. Pastikan benda-benda tersebut tersedia di dalam mobil, kalau tidak lengkap siap-siap didenda.

6. Cyprus

Bagi traveler yang gampang haus, jangan pernah menenggak minuman saat menyetir di Cyprus. Mengapa? Sebab apapun minuman dan apapun alasannya, minum saat menyetir di sana dianggap sebagai pelanggaran. Jika memang benar-benar haus, lebih baik Anda menepi dan berhenti sebentar untuk minum. Ingat-ingat ya!

7. Swiss

Bagi traveler yang suka bermain salju atau melihat danau-danau cantik, Swiss adalah tempatnya. Namun, ada hal yang harus Anda perhatikan saat menyetir di sana. Jika Anda menyetir di Swiss dan memakai kacamata hitam, maka Anda wajib membawa pasangan kacamata tersebut.

Aneh memang, Anda tidak boleh memiliki satu kacamata hitam saja saat menyetir di sana. Minimal Anda harus punya dua kacamata hitam. Hmm, pikir-pikir lagi kalau mau bergaya ya?

8. Swedia

Di Indonesia, sepeda motor wajib menyalakan lampu meski saat siang hari. Akan tetapi, di Swedia justru mobil yang harus menyalakan lampu. Ingat-ingat bagi traveler Indonesia yang mau berlibur ke Swedia, nyalakan selalu lampu mobil saat sedang menyetir di sana.

9. AS

Di Negeri Paman Sam, AS, traveler harus mengetahui peraturan penting tentang berkendara. Jika ditilang, Anda harus duduk di dalam mobil dan menunggu polisi datang menghampiri. Jika Anda keluar dari mobil saat polisi belum datang menghampiri, Anda bisa ditembak karena alasan keamanan.

Tak hanya itu, jangan buka sabuk pengaman sebelum polisi menghampiri Anda. Jadi bagi traveler yang ditilang di sana, duduk manis saja di dalam mobil dan terus gunakan sabuk pengaman sampai polisi tiba.

Itulah 9 negara dengan peraturan menyetir yang aneh di dunia. Ingatlah baik-baik peraturan di tiap negara dan tetap menyetir dengan waspada. 


Sumber : Detik Travel

Selasa, 18 Desember 2012

Inilah Isi Traktat Inggris dengan Negara-Negara Asia

A Collection of Treaties, Engagements, and Sunud relating to India and Neighbouring Countries, Vol. 1, 1862.
Pada 1862, terbit sebuah buku berjudul A Collection of Treaties, Engagements, and Sunud relating to India and Neighbouring Countries. Dengan ketebalan 355 halaman di luar kata pengantar dan catatan kaki, buku volume satu yang diterbitkan oleh Savielle and Cranenburgh, Bengal Printing Company Limited, London, ini memuat perjanjian dagang dan militer yang berkaitan dengan Bengal, Burmah, dan Kepulauan Timur.
Dari negara-negara tersebut, banyak yang sudah mengubah namanya pasca apa yang disebut Perang Dunia II. Sebut saja Bengal, yang sebagiannya kini bernama Bangladesh; atau Siam yang berubah menjadi Thailand. Meski demikian, ada juga negara-negara yang kini menjadi provinsi atau kabupaten sebuah negara, seperti Aceh, Deli, Langkat, atau Siak, yang kini berada di dalam Indonesia; atau Johore dan Selangor yang kini menjadi negara-negara bagian dari Malaysia.
Meski demikian, ada juga yang negara lama tersebut masih bisa ditemukan hingga kini, baik secara utuh maupun sebagian dari wilayahnya masih sama, seperti Singapura atau Korea.
Dalam pengantarnya, buku ini dikatakan disusun dari naskah-naskah resmi Kantor Luar Negeri Inggris dan dimaksudkan untuk keperluan resmi. Penyusunan buku volume satu ini didasarkan pada koleksi Perjanjian yang sudah pernah diterbitkan pada 1845, 1853, dan 1812. Dan di dalamnya terdapat barang-barang beserta harga perdagangan di masa itu.
Perjanjian-perjanjian yang ada di buku tersebut tentu saja tak dapat ditampilkan seluruhnya secara utuh, baik dari jumlah negaranya maupun keseluruhan perjanjian yang dilakukan oleh satu negara. Dari ratusan negara yang berdagang dengan Inggris, hanya sepuluh saja yang diambil, yakni Burmah (Burma), Salengore (Selangor), Johore (Johor), Singapore (Singapura), Acheen (Aceh), Delly (Deli), Batta (Batak), Langkat, Siack Sri Endrapoora (Siak Sri Inderapura), dan Siam (Thailand).
Dalam penulisan ini, sejumlah ejaan ada yang dibiarkan sebagaimana aslinya dan ada juga yang diperbaharui untuk kemudahan membaca.
Naskah ini diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu/Indonesia oleh Fajar Riadi dan Vicky Rosalina.

—————————————————-

BURMAH (Burma)
Dipercayai bahwa tidak ada perjanjian yang terjadi sebelumnya antara pemerintah Inggris di India dengan Raja Burmah, sampai terjadinya perjanjian Yandaboo, yang berakhir pada 24 Februari 1826. Pada periode di mana pemerintah Inggris di India direpresentasikan oleh sebuah badan perdagangan, dan bukan kekuatan yang berdaulat, perutusan yang dikirim dari gubernur telah menduduki Bengal dan Madras untuk melakukan perdagangan di Burmah. Pabrik didirikan di Syrian, dekat dengan Rangoon dan Negrais.
Pada 1757, sebuah perjanjian disebutkan telah dibuat bersama Pemerintah Burmah. Seorang Kepala Pabrik Inggris di Negrais diutus Ensign Lester ke ibu kota Burmah. Dia mewawancarai Raja Alompra, pendiri dinasti yang ada pada saat itu, oleh siapa pulau Negrais dan beberapa penguasa tanah dekat Kota Bassein, telah diberikan ke Perusahaan India Timur. Tidak diketahui apakah salinan dari perjanjian ini ada atau tidak. Sesudah perjanjian banyak orang-orang Inggris di Negrais dibunuh. Penguasa kedua dari tanah tersebut mendirikan pabrik di Bassein yang dibangun oleh Pemerintah Burmah.
Hubungan pertama secara langsung antara Inggris dengan pemerintah Burmah terjadi ketika Kapten Michael Symmes ditunjuk mewakili Gubernur Jenderal untuk mewakili Peradilan Ava pada 1795 dengan tujuan memperkuat hubungan Politik dan Perdagangan Pemerintah Inggris dengan Pengadilan Ava, dan mencegah Perancis untuk menduduki Burmah. Kapten Symmes memperoleh sebuah perintah kerajaan yang diberikan kepada agen kerajaan untuk mengepalai Rangoon, dengan tugas melindungi subjek-subjek milik Inggris dan merencanakan perdagangan.
Dalam semua penyusunan kebijakan tersebut, Kapten Cox bertindak sebagai atasan, dan dia mendarat di Rangoon pada Oktober 1796. Dia meminta kepada ibu kota sebuah persembahan untuk dikirimkan kepada Raja, yang kemudian disetujui oleh Kapten Symmes. Meski demikian, dia memperoleh banyak cacian. Akhirnya dia kembali ke Rangoon dan meninggalkan Bengal pada akhir 1797.
Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Chittagong dengan Arakan. Burmah menaklukan Arakan sejak 1782. Orang-orang Arakan memberontak, dan pada tahun 1797 sebagian dari mereka melarikan diri ke distrik Chittagong. Gubernur Burmah di Arakan menulis selama tahun 1798, yang meminta kepada semua pelarian untuk menyerah. Gubernur Jendral Marquiss Wellesley kemudian memerintahkan untuk mengirim duta lainnya ke Pengadilan Ava. Kapten (sekarang Kolonel) Symmes terpilih kembali. Dia memutuskan untuk pergi ke ibu kota. Di sana dia hanya memperoleh jaminan verbal bahwa tidak akan ada tuntutan lebih lanjut dari para pengungsi Arakan. Raja tidak akan menyempaikan permohonan maaf atas jurus-jurus tuntutan yang pernah dibuat, tidak pula akan melakukan perjanjian yang baru. Kolonel Symmes kembali ke Rangoon, di mana dia tidak diperlakukan dengan kesopanan yang wajar oleh Gubernur, dan dia pergi ke Bengal pada Januari 1803.
Setelahnya Kapten Canning diutus ke Rangoon, sebagai representasi dari Kolonel Symmes, untuk mendapatkan maaf dari Pengadilan Burma atas penghinaan yang telah dilakukan pejabat sebelumnya, dan untuk memastikan apakah Perancis sudah melakukan upaya untuk menguasai Burma. Sebagai konsekuensi atas perilaku sombong pihak berwenang di Rangoon yang dilakukan lama sebelumnya, Kapten Canning harus meninggalkan negeri itu.
Pada 1809, Kapten Canning kembali diutus ke Rangoon sebagai agen Gubernur Jenderal. Tampaknya, hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kejelasan atas blokade terhadap pulau kecil Perancis, yang mengganggu perdagangan Rangoon ke pulau itu. Kapten Canning melanjutkan ke ibu kota dan diterima dengan baik. Setelah mendapatkan kejelasan atas urusan tersebut, dia kembali ke Bengal.
Pada 1811, orang-orang Arakan kembali memberontak dan sebagian dari mereka melarikan diri lagi ke Distrik Chittagong. Perselisihan di perbatasan kembali terjadi. Kepala Arakan mengumpulkan para lelaki di dataran tinggi Distrik Chittagong, dan berjalan menuju Arakan untuk menyerang Burmah. Kapten Canning diutus ke Pengadilan Ava untuk menjelaskan bahwa gerakan ini bukan atas hasutan maupun dukungan pemerintah Inggris dan juga untuk melakukan protes kepada pemerintah Burmah di Arakan yang mendakwa Pemerintah Inggris sebagai pihak yang bersalah. Sementara itu, tentara Burmah di Arakan mengikuti tentara pemberontak Arakan yang menuju ke dalam teritori Inggris, dan karena hal tersebut Pengadilan Burma meminta kepada Gubernur Rangoon untuk menahan Kapten Canning karena dianggap mengatur pelarian pemberontak Arakan. Kapten Canning beruntung dapat selamat dari kekerasan dengan menaiki kapal perang yang dilengkapi dengan senjata. Dia meninggalkan Rangoon pada Agustus 1811.
Masih dalam tahun yang sama pemerintah Burmah telah lebih dari sekali meminta kepada pelarian Arakan untuk menyerah, bahkan membuat pretensi kepada kedaulatan Bengal, selama Kota Moorshedabad sebagai wilayah akan tetap berhubungan dengan Kerajaan Arakan. Pada 1819, mereka berulah di Assam dan pada 1824 mereka menginvasi Chacar.
Pada suatu kali, dari sisi Arakan, orang-orang Burmah melanggar perbatasan; mereka menahan para pemburu gajah Pemerintah Inggris, dan akhirnya mereka mengklaim Kepulauan Saphoore; letaknya dekat dengan Sungai Naaf. Pada malam tanggal 24 November 1823, sebuah kekuatan besar dari Burmah menyerang pulau tersebut, membunuh beberapa batalion provinsi yang ada di sana. Gubernur Arakan juga mengumumkan bahwa pulau tersebut adalah milik mereka dan bermaksud mempertahankannya. Gubernur Jenderal mengutus Raja Ava, meminta pembebasan Gubernur Arakan. Tidak ada jawaban dalam beberapa bulan. Namun, akhirnya jawaban datang dan tertulis atas nama Hiwondatu atau Dewan Kerajaan yang menyatakan bahwa Gubernur di perbatasan memiliki wewenang untuk bertindak.
Oleh karena itu, di setiap teritori yang dikuasai Inggris, atau teritori yang ada di bawah pengamanan Inggris, agresi dan cemoohan datang dari pemerintah Burmah, dan semua yang dilakukan dihalang-halangi oleh orang-orang Burma. Akhirnya perang dideklarasikan oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 5 Maret 1824. Pada tanggal 11 Mei tahun tersebut, kekuatan di bawah Sir Archibald Campbell mengambil alih kekuasaaan Rangoon, dan dua kali dikampanyekan perdamaian di Yandaboo, 40 mil dari ibu kota, pada 24 Februari 1826.
Dari sebuah perjanjian (No. LXXXI, yang ada di buku ini-red), Arakan dan Tenasserim diserahkan kepada Inggris; masing-masing pemerintah boleh menempatkan penduduknya pada lahan satu sama lain; dan sebuah perjanjian perdagangan dinegosiasikan lebih lanjut.
Untuk memberikan pengaruh pada perjanjian dagang, Mr. John Crawford berkunjung ke Amarapoora. Pada tanggal 23 November 1826, dia menandatangani perjanjian dengan empat Pasal di dalamnya (No. LXXXII).
….
Perjanjian perdagangan Kapten Symes dengan Raja Ava, 1795 DAN 1796.
Terjemahan mandate kerajaan berdasarkan surat kepada gubernur-jenderal, September 1795.
Untuk semua Killadars dan Gubernur Pelabuhan, terutama Maywoon Henzawuddy.
Sumber kebesaran dan martabat surgawi, yang ambang batasnya adalah cakrawala, dan pemohon, yang menempatkan Kaki Emas Mulia di atas kepala mereka yang beruntung, seperti teratai yang mekar, terilhami dengan keyakinan tak terbatas, sebagai menteri tertinggi, penjaga kekaisaran, di antara menteri tertinggi, menyatakan permintaan berikut ini:
Gubernur Henzawuddy, dengan gelar Meen La Noo Retha; Gubernur Perairan, yang bergelar Yaaoon atau Rawoon; Pengumpul Pendapatan Kerajaan, yang bergelar Ackawoon; Pengumpul Hadiah, yang bergelar Ackoon; dan komandan pasukan, yang bergelar Chekaw.
1. Pedagang Inggris yang datang di pelabuhan Rangoon, untuk melakukan perdagangan, dalam persahabatan, itikad baik, dan kepercayaan dalam perlindungan Kerajaan, sehingga ketika pedagang datang ke pelabuhan Rangoon, tugas untuk gudang, rabeat (pencari atau penilai) dan biaya lainnya, semua ini diatur sesuai dengan tarif yang ditetapkan, dan tidak lebih, tanpa dalih apapun, harus diambil.
2. Semua pedagang Inggris, yang telah membayar ke petugas pelabuhan, harus diijinkan untuk pergi ke bagian negara manapun yang mereka anggap baik, setelah memperoleh sertifikat dari Maywoon, atau Gubernur Provinsi, dan barang apapun yang pedagang Inggris ingin beli, tidak akan dihalangi atau dianiaya, atau dicegah di dalam barter, tawar-menawar, atau pembelian; dan kebijaksanaan tersebut ditetapkan untuk setiap orang yang menjadi bagian dari Perusahaan Inggris di Rangoon, untuk tujuan perdagangan, dan untuk meneruskan surat atau hadiah kepada Raja, dan untuk setiap orang seperti itu hak residensi diberikan.
3. Jika setiap pedagang Inggris merasa dirugikan atau ditindas, ia bisa mengajukan keluhan ke Gubernur Provinsi, mengajukan petisi ke Tahta, atau pengaduan secara individu; dan sebagai orang Inggris, yang sebagian besar tidak mengerti bahasa Burma, bisa meminta penerjemah yang mereka anggap pantas, dan sebelumnya meminta penerjemah kepada Raja, orang seperti apa yang mereka inginkan.
4. Kapal Inggris yang mendarat di pelabuhan Burmah karena cuaca buruk dan ingin melakukan perbaikan, pemberitahuannya disampaikan kepada pejabat pemerintahan, dan kapal tersebut harus secepatnya diberi pekerja, kayu, besi, dan apapun permintaannya, serta pekerjaan tersebut harus dilakukan dengan memberikan perlengkapan sesuai tarif negara tersebut.
5. Sebagai orang Inggris yang telah lama memiliki koneksi komersial dengan negara ini, dan ingin memperpanjang, mereka diijinkan untuk datang dan mendarat dengan mudah, tanpa hambatan; dan melihat bahwa Gubernur-Jenderal Kalkutta di Bengal, yang menjadi bagian dari Raja Inggris, telah mengirim bukti persahabatan pada raja, perintah ini dikeluarkan untuk kepentingan, kemudahan, dan perlindungan orang Inggris.
Dibuat di Birma, disahkan dengan segel.

Tertanda
Michael Symes,
Utusan Pengadilan Ava.

SALENGORE (SELANGOR)
Perjanjian persekutuan perdagangan antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dan Yang Mulia Rajah Salengore, dilaksanakan oleh Mr. Walter Sewell Cracroft, yang dengan segala kebajikan diberikan kekuatan kepadanya oleh Yang Terhormat John Alexander Bannerman, Gubernur Prince of Wales dan wilayah yang berada di bawahnya. Dilaksanakan pada tanggal 20 Sawal 1233 (bertepatan 22 Agustus 1818).
Pasal 1
Perdamaian dan persahabatan sekarang akan hidup abadi di antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dan Yang Mulia Raja Salengore.
Pasal 2
Muatan dan barang dagangan milik Inggris, atau orang-orang di bawah perlindungan Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur, akan selalu dapat menikmati keberadaan pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Yang Mulia Raja Salengore dengan seluruh hak istimewa dan keuntungan saat ini, dan suatu saat nantinya akan diberikan kepada bangsa yang disukai.
Pasal 3
Muatan dan barang dagangan milik Yang Mulia Raja Salengore akan selalu menerima keuntungan dan hak istimewa yang sama seperti pada artikel sebelumnya, selama ia berada dalam Pelabuhan Fort Cornwalis dan di tempat lain yang menjadi wilayah bawahan Pemerintah Inggris di Prince of Wales Island.
Pasal 4
Yang Mulia Rajah Salengore menyetujui untuk tidak melakukan pembaruan terhadap perjanjian-perjanjian yang telah lalu dengan bangsa-bangsa lain, badan-badan publik lain, atau individu-individu lain, dalam segala tingkat derajat, yang dapat menyisihkan Inggris.
Pasal 5
Yang Mulia Rajah Salengore pada saatnya kemudian akan menandatangai perjanjian bahwa dia tidak akan berpura-pura atau apapun yang akan memonopoli satu Pasal perjanjian perdagangan komoditas, produk teritorinya, kepada orang per orang, Eropa, Amerika, atau warga negara asing, kecuali dia mengijinkan subjek Inggris untuk datang dan membeli barang dagangan sama seperti orang lain.
Pasal 6
Perusahaan Inggris India Timur menjanjikan tidak akan membentuk perjanjian maupun kesepakatan yang akan mengeluarkan barang dagangan yang menjadi subjek raja Salengore, yang datang dari perdagangan di Penang, juga tidak akan memonopoli barang dagangan kepada satu pihak saja, seperti yang tercantum dalam Pasal 5, namun akan mengijinkan warga asli Salengore untuk datang dan membeli barang dagangan satu sama lain.
Pasal 7
Yang Mulia Raja Salengore menjanjikan bahwa apabila ada orang Perusahaan dari Penang dan bawahannya untuk berdagang, dia tidak akan mengijinkan perdagangan itu di Negara Salengore, dan Perusahaan Inggris India Timur akan melakukan hal yang sama sebagai bentuk hormat kepada Raja Salengore.
Pasal 8
Perjanjian ini, menurut artikel-artikel sebelumnya, dibuat untuk mendorong perdamaian dan persahabatan antara kedua negara, dan menjaga kebebasan perdagangan dan pelayaran antara keduanya, untuk keuntungan antara kedua belah pihak. Satu naskah diberikan kepada Yang Mulia Raja Salengore dan satu lagi kepada Mr. Walter Sewell Cracroft, Agen yang Mulia Gubernur Penang. Akan dibubuhkan cap Yang Mulia Raja Salengore yang akan diratifikasi ke Perusahaan Inggris India Timur, sehingga tidak akan terjadi perselisihan di kemudian hari, sehingga kekal selamanya.

Tertanda
J. W. Salmond,
Anggota Dewan Prince of Wales Island

JOHORE
Perjanjian Kolonel Farquhar dengan Abdul Rachman Shaw, Raja Johore, 1818.
Perjanjian Persekutuan Perdagangan antara Perusahaan Inggris India Timur dan Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw, Raja Johore, Pahang, dan bawahannya, oleh Mayor William Farquhar, Residen Malaka, berdasarkan kekuasaan yang didelegasikan kepadanya oleh Yang Terhormat John Alexander Bannermann, Gubernur Prince of Wales Island, dan bawahannya, dan pada bagian Yang Mulia Sultan Johore, Pahang, & c., oleh Yang Mulia Jaffir Rajah Muda dari Rhio, dalam kebajikan kekuatan yang diberikan kepada Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw.
Pasal 1
Perdamaian dan persahabatan sekarang berlangsung antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dan Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw, Raja Johore, Pahang, & c., secara terus-menerus.
Pasal 2
Muatan dan barang dagangan milik Inggris, atau orang-orang yang berada di bawah perlindungan Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur, akan selalu menikmati keberadaan pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Johore, Pahang, Lingin, Rhio, dan lain-lain yang tunduk pada Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw beserta semua hak istimewa dan keuntungan yang sekarang, atau suatu saat nantinya mungkin diberikan kepada bangsa yang disukai.
Pasal 3
Muatan dan barang dagangan milik Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw akan selalu menerima keuntungan yang sama dan hak istimewa di pelabuhan Fort Cornwallis, dan di semua tempat-tempat lain di bawah Pemerintahan Inggris di Prince of Wales Island.
Pasal 4
Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw tidak akan memperbaharui setiap Perjanjian yang telah lalu dengan bangsa-bangsa lain, badan-badan publik lain, atau individu-individu lain, dalam segala tingkat derajat, yang dapat menyisihkan Inggris.
Pasal 5
Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw menyatakan bahwa dia tidak berpura-pura dengan cara apapun yang akan memonopoli Pasal manapun dari perdagangan untuk memberikan monopoli dari setiap Pasal perdagangan atau komoditas, hasil dari wilayah itu, untuk setiap orang atau orang-orang Eropa, Amerika, atau pribumi.
Pasal 6
Akhirnya dinyatakan bahwa Perjanjian ini, yang menurut Pasal-Pasal terdahulu, dimaksudkan untuk mendorong perdamaian dan persahabatan, dan mengamankan kebebasan perdagangan dan pelayaran antara subjek masing-masing, untuk saling menguntungkan kedua belah pihak, dan akan berlangsung selama-lamanya.
Sebagai bukti sah, dan untuk kepuasan kedua belah pihak, kita harus membubuhkan tanda tangan dan memberi segel di Rhio, hari ini Sembilan Belas Agustus 1818 Masehi, hari ke-16 bulan Sawal, pada tahun Hejira 1233.

Kop Rajah Muda atau pewarisnya
Segel Mayor Farquhar
Tertanda
WM. Farquhar
Resident Malaka dan Komisioner pada bagian Pemerintah Inggris
Tertanda
John Anderson
Penerjemah bahasa Melayu pada Pemerintah Inggris

Perjanjian persahabatan dan aliansi menyimpulkan antara Yang Terhormat Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan-Gubernur Port Malborough dan wilayah bawahannya, Utusan Yang Mulia Perancis, Marquis of Hastings, Gubernur-Jenderal India, & c, & c, & c,. untuk Perusahaan Inggris India Timur pada satu bagian, dan Yang Mulia Sultan Hussain Mahummed Shah, Sultan Johore, dan Datoo Tammungong Sree Maharajah Abdul Rahman, Kepala Singapura, dan dependensinya, pada bagian lain.
Pasal 1
Pasal-Pasal awal dari Perjanjian ditandatangani pada tanggal 30 Januari 1819 oleh Yang Terhormat Sir Stamford Raffles, pada bagian Perusahaan Inggris India Timur, dan oleh Datoo Tammungong Sree Maharajah Abdul Rahman, Kepala Singapura dan kekuasaan bawahannya, untuk dirinya sendiri dan untuk Sultan Hussain Mahummed Shah, Sultan Johore, dengan ini seluruhnya disetujui, diratifikasi, dan dikonfirmasi oleh Yang Mulia Sultan Mahummed Shah.
Pasal 2
Dalam kelanjutan dari hal-hal dimaksud dalam Perjanjian Pendahuluan, dan kompensasi dari setiap dan keuntungan yang mungkin terdahulu sekarang atau selanjutnya oleh Yang Mulia Sultan Hussain Mahummed Shah, Sultan Johore, sebagai konsekuensi dari ketentuan Perjanjian ini, Perusahaan Inggris India Timur setuju dan terlibat membayar kepada Yang Mulia sejumlah lima ribu dolar Spanyol per tahun, untuk, dan selama waktu itu Perusahaan dapat, berdasarkan Perjanjian ini, mempertahankan sebuah pabrik atau pabrik-pabrik pada setiap wilayah bagian kekuasaan Yang Mulia secara turun-temurun, dan mengatakan Perusahaan juga setuju untuk memberi perlindungan kepada Yang Mulia selama dia dapat terus berada langsung di sekitar wilayah yang tunduk pada otoritas mereka: Meskipun demikian hal ini secara cerdas dapat dijelaskan dan dipahami oleh Yang Mulia, bahwa Pemerintah Inggris, dalam memasuki persekutuan ini, dengan terlibat untuk memberi perlindungan kepada Yang Mulia, namun tidak terikat untuk mengganggu politik internal negaranya, atau terlibat untuk mempertahankan kewenangan Yang Mulia dengan kekuatan senjata.
Pasal 3
Yang Mulia Datoo Tammungong Sree Maharajah Abdul Rahman, Kepala Singapura dan wilayah bawahannya, yang memiliki Pasal Awal Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 30 Januari 1819, memberikan izin penuh kepada Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur untuk mendirikan sebuah pabrik atau pabrik-pabrik di Singapura, atau pada bagian lain dari kekuasaan Yang Mulia, dan Perusahaan yang berpenghasilan akan mengembalikan hasilnya kepada Yang Mulia sejumlah tiga ribu dolar Spanyol per tahun, dan menerima Yang Mulia sebagai aliansi dan mendapat perlindungan. Semua dan setiap bagian dari kata Perjanjian pendahuluan dengan ini dikonfirmasi.
Pasal 4
Yang Mulia Sultan Hussain Mahummed Shah, Sultan Johore, dan Yang Mulia Datoo Tammungong Sree Maharajah Abdul Rahman, Kepala Singapura, ikut serta dan setuju untuk membantu dan membantu Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur melawan semua musuh yang mungkin menyerang pabrik atau pabrik-pabrik yang didirikan, atau yang akan didirikan, dalam kekuasaan Yang Mulia.
Pasal 5
Yang Mulia Sultan Hussain Mahummed Shah, Sultan Johore, dan Yang Mulia Datoo Tammungong Sree Maharajah Abdul Rahman, Kepala Singapura, menyetujui dan berjanji dan mengikatkan diri dengan ahli waris dan penerusnya, bahwa selama Perusahaan Inggris India Timur melanjutkan sebuah pabrik atau pabrik-pabrik pada setiap bagian dari subjek kekuasaan otoritas yang disebutkan Yang Mulia, maka selama waktu itu juga diberikan dukungan dan perlindungan kepada Yang Mulia, dan Yang Mulia tidak akan masuk ke dalam perjanjian apapun dengan bangsa lain, dan tidak akan mengakui atau menyetujui pemukiman di setiap bagian dari wilayah kekuasaan mereka dari setiap kekuatan lain, Eropa atau Amerika.
Pasal 6
Semua orang yang termasuk dalam pabrik atau pabrik-pabrik Inggris, atau yang selanjutnya ingin menempatkan diri di bawah perlindungan benderanya, harus sepatutnya terdaftar dan dianggap tunduk pada otoritas Inggris.
Pasal 7
Mode keadilan administratif bagi penduduk asli akan didiskusikan dan diatur di masa mendatang dengan pihak kontraktor, karena hal ini tentu akan, dalam ukuran besar, tergantung pada hukum dan penggunaan dari berbagai suku yang dapat diharapkan untuk menetap di sekitar pabrik Inggris.
Pasal 8
Pelabuhan Singapura dipertimbangkan untuk berada di bawah perlindungan dan peraturan Pemerintah Inggris.
Pasal 9
Berkenaan dengan petugas yang selanjutnya dianggap perlu untuk memungut pajak barang, barang dagangan, perahu atau kapal, Yang Mulia Datoo Tammungong Sree Maharajah Abdul Rahman yang akan berhak atas bagian atau setengah dari seluruh jumlah yang dikumpulkan dari kapal asli. Biaya pelabuhan dan koleksi petugas dapat dibiayai oleh Pemerintah Inggris.
Dibuat dan disimpulkan di Singapura, hari ke-6 Februari, pada tahun junjungan kita 1819, hari ke-11 dari bulan Rubbel akhir dan tahun Hejira 1234.

SINGAPORE
Perjanjian Asli antara Sir Stamford Raffles dan Sultan Hussain Mahomed Shah, untuk Residen Singapura, Juni 1819.
Untuk diketahui semua orang, bahwa kami, Sultan Hussain Shah Mahomed, Ungko Tumungong Abdool Rahman, Gubernur Raffles, dan Mayor William Farquhar, dengan ini telah mengadakan pengaturan-pengaturan untuk menjadi panduan bagi orang-orang di pemukiman, dan semua kasta yang berbeda untuk secara bergiliran tinggal dengan keluarga mereka, dan kapten, atau dengan kepala kampung-kampung (campongs) mereka.
Pasal 1
Batas-batas tanah di bawah kendali Inggris adalah sebagai berikut: dari Tanjong Malang di sebelah barat ke Tanjong Kattang di sebelah timur, dan di sisinya, sejauh jangkauan tembakan meriam, di sekitar pabrik. Orang banyak yang berada dalam batas tersebut, dan bukan dalam kampung dari Sultan dan Tumungong, semuanya berada di bawah kendali residen.
Pasal 2
Semua orang Cina diarahkan ke sisi lain dari sungai dan membentuk kampung dari lokasi jembatan besar menyusuri sungai menuju mulutnya. Dan semua orang Melayu, rakyat Tumungong dan lain-lain, juga pindah ke sisi lain dari sungai dan membentuk kampung dari lokasi jembatan besar sampai ke sungai menuju sumbernya.
Pasal 3
Dewan dibutuhkan dalam penyelesaian semua kasus, dimana kasus tersebut diberikan dan dibahas oleh tiga tersebut di atas. Dan ketika mereka sudah memutuskan, maka ia akan diketahui oleh penduduk, baik melalui gong atau proklamasi.
Pasal 4
Setiap Senin pagi, pukul 10, Sultan, Tumungong, dan Resident harus bertemu di Rooma Bitchara. Tetapi, jika salah satu dari keduanya yang pertama tidak dapat hadir, mereka dapat mengirimkan wakilnya ke sana.
Pasal 5
Setiap Kapten, atau kepala kasta, dan semua Panghulu dari kampung-kampung, akan hadir di Rooma Bitchara, dan membuat laporan atau pernyataan kejadian yang mungkin terjadi dalam Penyelesaian, dan mewakili setiap keluhan yang mungkin mereka bawa di hadapan Dewan untuk dipertimbangkan pada setiap hari Senin.
Pasal 6
Jika Kapten, atau kepala kasta, atau Panghulu-penghulu dari kampung-kampung, tidak bertindak adil terhadap konstituen mereka, maka penduduk diizinkan untuk datang dan menyatakan keluhan mereka sendiri kepada Residen di Rooma Bitchara, yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus atas perkara tersebut.
Pasal 7
Petugas Bea Cukai tidak dapat dituntut, atau peternakan didirikan dalam Penyelesaian ini tanpa persetujuan dari Sultan, Tumungong, dan Mayor William Farquhar, dan tanpa persetujuan ketiganya, tidak ada yang dapat diatur.
Dalam konfirmasi Pasal tersebut di atas, kami, di bawah ini, telah menempatkan segel dan tanda tangan, di Singapura, pada tanggal 2 bulan Ramsan 1234, atau 26 Juni 1819.

Segel Sultan
Segel Tumungong
Tertanda
T. S. Raffles
Tertanda
W. Farquhar
Late Resident

Acheen (Atjeh/Aceh)
Perjanjian persahabatan dan aliansi antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dan Kerajaan Acheen (Aceh-red) disimpulkan oleh Yang Terhormat Sir Thomas Stamford Raffles, Kesatria, dan Kapten John Moncton Coombs, utusan Gubernur-Jenderal, atas nama Yang Mulia Perancis, Marquis of Hastings, Kesatria dari Ordo Paling Mulia, salah satu Dewan Penasehat Kebesaran Inggris, Gubernur-Jenderal di dalam Dewan yang yang dimiliki Inggris di India, di satu pihak, dan Yang Mulia Sri Sultan Alla Iddun Jowhar Allum Shah, Raja Aceh, untuk dirinya, pewarisnya, dan lainnya.
Dalam pertimbangan perdamaian yang panjang dan tidak terganggu, persahabatan, dan pemahaman yang baik yang telah hidup dari antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dan Yang Mulia beserta leluhurnya Raja Aceh, dan dalam rangka melestarikan dan meningkatkan persahabatan untuk keuntungan dan kesejahteraan negara bersama, maka dengan ini diepakati dan ditentukan:
Pasal 1
Akan ada perdamaian abadi, persahabatan, dan aliansi pertahanan antara negara-negara, kekuasaan-kekuasaan, dan pihak kontraktor, dan tak satu pun akan memberikan bantuan kepada musuh-musuh lainnya.
Pasal 2
Atas permintaan Yang Mulia, Pemerintah Inggris terlibat untuk meminta dan menggunakan pengaruhnya menghapus Allum Syfful dari wilayah Yang Mulia, dan Pemerintah Inggris terlibat penuh untuk melarang dia atau salah seorang keluarganya, sejauh mereka tunduk pada otoritasnya, dari melakukan atau terjadinya tindakan apapun di masa depan atau mencegah atau menghalangi penuh pembentukan kembali otoritasnya. Yang Mulia Raja akann menempatkannya di tempat tempat pembuangan Pemerintah Besar Inggris India atau memberikan tunjangan hidup, untuk kemudian merekomendasikan Allum Syfful pensiun ke Penang, dan melepaskan semua klaimnya terhadap kedaulatan Aceh, dalam waktu tiga bulan dari tanggal perjanjian.
Pasal 3
Yang Mulia Raja Aceh menjamin Pemerintah Inggris bebas melakukan perdagangan di seluruh pelabuhannya, dan menyatakan pelabuhannya sudah diperbaiki, dan harus dibayarka oleh penduduk. Yang Mulia juga terlibat untuk tidak memberikan atau mengizinkan sebuah monopoli dari yang diproduksi negaranya oleh siapapun.
Pasal 4
Yang Mulia terlibat, setiap kali Pemerintah Inggris menginginkannya, untuk menerima dan melindungi utusan dari Pemerintah Inggris, dengan usaha yang cocok, yang akan diizinkan untuk berada di Pengadilan Yang Mulia untuk urusan Perusahaan Yang Terhormat.
Pasal 5
Mempertimbangkan kemungkinan adanya sesuatu yang tidak diinginkan yang membuat perdagangan Inggris terpaksa keluar dari pelabuhan Yang Mulia, Yang Mulia setuju bahwa kapal-kapal Inggris akan terus melakukan hubungan perdagangan dengan pelabuhan-pelabuhan Aceh dan Jillusamauy, dalam cara yang sama seperti sebelum ini, kecuali ada blokade sementara dari pelabuhan ini yang harus mendapat persetujuan Pemerintah Inggris atau otoritas. Dipahami dengan jelas bahwa pihak kontraktor, yang tidak menyukai peperangan, tidak melengkapi, memberikan, atau menjual muatan apapun kepada pemberontak Yang Mulia melalui pelabuhan di atas, yang diancam dengan hukuman penyitaan dari kapal dan kargo.
Pasal 6
Yang Mulia Sri Sultan Alla Iddun Jowhar Allum Shah setuju dan berjanji untuk melibatkan dirinya, pewarisnya, dan penerusnya, untuk mengecualikan kekuatan Eropa lain, dan semua orang Amerika, untuk menetap atau tinggal di wilayah kekuasannya. Dia juga tidak memasuki negosiasi atau menyimpulkan dngan macam-macam perjanjian dengan kekuatan manapun, pangeran, atau raja manapun kecuali dengan sepengetahuan dan persetujuan Pemerintah Inggris.
Pasal 7
Yang Mulia terlibat untuk tidak mengizinkan tempat tinggal, dalam kekuasaannya, dari setiap subjek Inggris kepada siapa Agen Resident harus menyatakan keberatan.
Pasal 8
Pemrintah Inggris setuju untuk memberikan kepada Yang Mulia, tanpa penundaan, semua senjata dan peralatan militer yang rinciannya ditambahkan di perjanjian ini dan ditandatangani oleh Yang Mulia. Pemerintah Inggris juga setuju untuk memberikan sejumlah uang yang disebutkan di sini sebagai pinjaman sementara kepada Yang Mulia, yang akan dilunasi oleh Yang Mulia pada awal kemampuannya.
Pasal 9
Perjanjian ini terdiri dari sembilan Pasal yang telah disimpulkan untuk tunduk pada pengesahan Gubernur-Jenderal dalam waktu enam bulan sejak tanggal perjanjian. Namun, harus dipahami bahwa beberapa ketentuan yang terkandung di sini dapat membawa efek secara langsung tanpa menunggu kata Ratifikasi.
Dibuat di Sridule, dekat Pedir, di Negara Aceh, pada 22 April di tahun junjungan kita 1899, bertepatan dengan tahun Hegira 1234 pada hari ke-26 Jemadil Akhir.

Segel Raja Aceh
Segel Gubernur-Jenderal
Tertanda
T. S. Raffles
Tertanda
John Monckton Coombs
Tertanda
Hastings
Tertanda
Jas Stuart
Tertanda
J. Adam
Tertanda
E. Celebrooke
Ratifikasi oleh Gubernur Jenderal di Dewan pada 3 April 1820
Tertanda
C. T. Metcalfe
Secretary
Daftar Pasal dimaksud dalam dimasukkan dalam perjanjian yang akan dilengkapi oleh Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur kepada Yang Mulia Sri Sultan Allah Iddun Jowhar Allum Shah untuk ditetapkan pada anggaran kedelapan.
Senjata dan Peralatan Militer
Mesiu, empat puluh barel; Field pieces, enam-prs, kuningan, empat; Round shot for ditto, empat ratus; Grape shot for ditto, empat ratus; Muskets, lengkap, empat ratus; Muskets balls, tiga puluh barel; Musket flints, tiga ribu .
Tunai
Lima puluh ribu dolar Spanyol.

Tertanda
T. S. Raffles
Tertanda
John Monckton Coombs
Pedir, 22 April 1819

DELLY (Deli)
Sebagaimana pengumuman melalui surat dari Gubernur Pulo Penang diajukan oleh Mr. Anderson, Saya Tuanko Sultan Panglima yang memerintah Kerajaan Delly dan yang dibawahnya, yakni Langkat, Bulu China, Perchoot, dan negara lainnya, sangat berkeinginan untuk meningkatkan perdagangan dengan Pulo Penang serta meningkatkan hubungan persahabatan dengan Gubernur Jenderal pada kawasan tersebut, sehingga perlu dibuat perjanjian.
Pertama – Jika Belanda maupun kekuatan-kekuatan lainnya meminta kekuasaan (settlement) di Delly, atau segala sesuatu yang menjadi otoritas saya, saya tidak akan memberikannya, tidak juga membuat kesepakatan kontrak khusus untuk menghormati kesepakatan perdagangan kita. Semulanya saya akan berhubungan dagang dengan Pulo Penang.
Kedua – Tidak ada kekuasaaan yang lebih besar yang wajib selain diberikan kepada Gubernur Pulo Penang.
Ketiga – Pedagang dari Penang diperbolehkan secara bebas untuk mengimpor barang-barang yang mereka kehendaki, dan membeli serta menjual di setiap bagian wilayah kekuasaan saya tanpa gangguan. Dan saya akan memberikan semua bantuan untuk setiap kesulitan supaya perdagangan secara luas akan mengalir ke Delly.
Keempat – saya akan memperkenalkan mata uang Dollar kecil ke dalam negara ini.
Tertanggal pada tahun Juri 1238, 7 Jumadil Akhir (atau 19 februari 1823)

Kop Sultan Panglima Delly
Tertanda
J. W. Salmond
Anggota Dewan Prince of Wales Islands.

Perjanjian tentang Mata Uang antara Delly dan Negara Batta (Batak)
Kami, Tuanko Sultan Panglima, yang memerintah Kerajaan Delly, dan Yang Terhormat Batta Rajah Sibaya Linga, mengajukan perjanjian ini kepada Mr. Anderson, utusan dari Gubernur Pulo Penang.
Dengan menghormati keinginan dari Gubenur Penang, di mana Dollar kecil ingin dijadikan mata uang di Delly dan wilayah bawahannya, kami memutuskan bahwa hal tersebut bisa terjadi di masa yang akan datang, dan kami meminta kepada Mr. Anderson akan memberitahukan hal yang sama kepada Gubernur sekembalinya ke Penang, serta memberikan catatan perdagangan di tempat ini, di mana mereka akan mengirim dollar kecil ke Delly dan Bulu China, untuk alat tukar lada, apabila mata uang tersebut nantinya telah dilaksanakan.
Tertanggal pada tahun Juri 1238, Senin, 7 Jemadil Akhir (atau 19 februari 1823)

Tertanda
J. W. Salmond
Anggota Dewan Prince of Wales Islands.

LANGKAT
Sehubungan dengan surat dari sahabat saya, Gubernur Penang, yang dibawa oleh utusannya, Mr John Anderson, saya telah mempertimbangkannya dan telah mendapatkan penjelasan lengkap mengenai perdagangan Langkat dengan Mr. Anderson. Saya sangat berkeinginan untuk menumbuhkan kesesuaian yang lebih dekat dengan Gubernur Pulo Penang untuk mendorong pedagang dari tempat itu datang ke Langkat. Saya diminta untuk mengirim Gubernur Pulo Penang dan Perjanjian berikut dengan tujuan memperkuat dan melanggengkan persahabatan dan komunikasi dengan pedagang Pulo Penang.
Pertama – Saya tidak akan melakukan kontrak eksklusif dengan Belanda atau pemerintah lainnya, niat dan keinginan saya adalah perdagangan sebagaimana saat ini dan sampai nanti adalah dengan Penang.
Kedua – Setiap pedagang dari Penang akan mendapat bantuan dari saya, bahwa mereka tidak akan mendapatkan kesulitan, dan barang yang dapat diimpor ke dalam, dan diekspor dari, Langkat dan Penang, tanpa ada gangguan.
Ketiga – Langkat menetapkan sebagai berikut, yaitu. – Lada, 2 dolar per seratus gantang; rotan, lima puluh potong atau setengah dolar per seratus bundel; garam, empat dolar per coyan; beras, delapan dolar per coyan, dan tidak ada lagi yang harus dikenakan pada saat ini atau barang lainnya dari perdagangan. Pada kain Eropa, opium, dan lainnya, tidak akan dikenakan biaya, dan siapa pun yang mau dapat membawa dan menjualnya di Langkat, dan itu adalah keinginan saya untuk mendorong luasnya permintaan.
Keempat – Saya akan berusaha untuk memperkenalkan mata uang Dolar dan Rupee untuk memfasilitasi perdagangan; namun hal ini belum terselesaikan.
Tertanggal tahun Juri, 1838, hari ke-4 Jumadil Akhir (atau 15 Februari 1823)

Kop of Kejuruan Muda, Rajah of Langkat
Tertanda
J. W. SALMOND,
Anggota Dewan Prince of Wales Island.

SIACK SRI ENDRAPOORA (Siak Sri Inderapura)
Perjanjian persekutuan perdagangan antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dengan Yang Mulia Paduka Sri Sultan Abdul Jalil Haliludin Henub Sultan Abdul Jalil Shypudin, Raja Siack Sri Endrapoora, dan bawahannya, dilakukan oleh Mayor William Farquhar, Residen Malaka, dengan kekuasaan kebajikan yang didelegasikan padanya oleh Yang Terhormat John Alexander Bannerman, Gubernur Prince of Wales Island dan bawahannya.
Pasal 1
Perdamaian dan persahabatan bahagia terjalin saat ini antara Yang Terhormat Perusahaan Inggris India Timur dan Yang Mulia Sultan Siack Sri Endrapoora, semoga senantiasa kekal abadi.
Pasal 2
Muatan dan barang dagangan milik Inggris, atau orang yang berada di bawah perlindungan Yang terhormat Perusahaan Inggris India Timur, harus diperbolehkan untuk menikmati keberadaan pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Yang Mulia Sultan Siack Sri Endrapoora dengan seluruh hak istimewa dan keuntungan saat ini, dan suatu saat nantinya diberikan kepada bangsa yang disukai.
Pasal 3
Muatan dan barang dagangan milik Yang Mulia Sultan Siack Sri Endrapoora akan menerima keuntungan yang sama di pelabuhan Fort Cornwalis dan di semua wilayah bawahan Pemerintahan Inggris di Prince of Wales Island.
Pasal 4
Yang Mulia Sultan Siack Sri Endrapoora menyetujui untuk tidak melakukan perjanjian baru, baik kepada negara lain, badan publik, atau individu, dalam segala tingkat derajat, yang dapat menyisihkan Inggris.
Pasal 5
Yang Mulia Sri Sultan Abdul Rachman Shaw menyatakan bahwa dia tidak berpura-pura dengan cara apapun yang akan memonopoli Pasal manapun dari perdagangan atau komoditas yang diproduksi wilayahnya, untuk setiap orang atau orang-orang Eropa, Amerika, atau pribumi.
Pasal 6
Akhirnya disampaikan bahwa perjanjian ini dibuat, sesuai dengan Pasal-Pasal sebelumnya, untuk mendorong perdamaian dan persahabatan dua negara dan menjaga kebebasan perdagangan dan pelayaran antara keduanya, untuk keuntungan kedua pihak, sampai selamanya.
Untuk menandakan kebenaran dan untuk memuaskan kedua pihak, dengan ini akan ditandatangani dan distempel di Bukit Battoo, di kerajaan Siack, pada hari ke-31 bulan Agustus tahun 1818, bertepatan dengan hari ke-27 bulan Sawal, 1233 Hijriah.

Kop Raja Siack
Tertanda
W. Farquhar
Major of Engineers
Resident Malaka dan Komisioner pada bagian Pemerintah Inggris.
Tertanda J. W. Salmond
Anggota Dewan Prince of Wales Island.

Perjanjian oleh Raja Siack kepada Mr. John Anderson, utusan Gubernur Pulo Penang.
Surat dari Yang Terhormat William Edward Phillips, Gubernur Pulo Penang, melalui utusannya, Mr. John Anderson, telah sampai kepada Yang Mulia yang duduk di atas tahta Siack. Dan kami menyambut baik maksud Gubernur Pulo Penang yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas hubungan perdagangan antara Siack dan Pulo Penang. Yang Mulia amat terkesan dan puas karena Siack dan wilayah yang dibawahinya akan dapat dikenal luas dan nantinya juga akan menjadi hubungan yang menguntungkan bagi Pulo Penang. Itulah mengapa Yang Mulia bersama dengan para petingginya, seperti Tuanko Panglima Besar, Datu Sri Pakama Rajah, Datu Sri Biji Wangsa, Datu Maharajah Lela Muda, dan Tuan Imam menegaskan bahwa perjanjian tersebut disampaikan kepada Kolonel Farquhar, utusan Gubernur Pulo Penang. Dan sebagai tambahan, Yang Mulia beserta para lima pejabatnya seperti yang telah disebutkan di atas membuat perjanjian lanjutan yang kemudian disampaikan kepada Gubernur Pulo Penang, dengan tujuan untuk memperkuat dan mengekalkan timbal balik persahabatan, dan hubungan ini tidak akan tergantikan selama-lamanya.
Pertama – Yang Mulia beserta lima pejabatnya tidak akan memberikan hak kepada Belanda, atau bangsa lainnya, atas persetujuan apapun, atau ijin mengibarkan bendera, atau menduduki wilayah Siack dan wilayah-wilayah yang dibawahinya.
Kedua – Yang Mulia dan pejabatnya tidak akan mengganggu maupun mencegah nahkoda kapal atau pedagang dari Penang, dan tidak akan memerintahkan kepada mereka untuk berdagang semata-mata ke Malaka, namun memberikan kepadanya kebebasan penuh sebagaimana yang terjadi di masa-masa sebelumnya.
Ketiga – tidak akan ada gangguan dengan pejabat-pejabat di Siack, dan mereka juga mendapatkan kekuatan penuh untuk menyusun negosiasi, atau membuat perjanjian dengan Penang, dan tidak akan diubah oleh Yang Mulia, Datu, dan para pejabat mengenai segala sesuatu terkait kebebasan berdagang dengan Penang seperti yang diinginkan.
Keempat – Semua barang dagangan atau pedagang yang datang dari Penang ke Siack tidak akan menjumpai gangguan di Siack, dan boleh berjual beli seperti yang mereka inginkan.
Kelima – Kepada semua haluan, kapal bertiang, dan kapal yang datang berdagang ke Siack, jika menemui kecelakaan di manapun berada di lautan, Yang Mulia akan memberikan bantuan yang memungkinkan kepada mereka untuk kembali berdagang dengan aman ke Penang.
Keenam – Penetapan impor dari Penang atau ekspor dari Siack dengan catatan-catatan yang telah dikirimkan kepada Mr. John Anderson tidak bisa diubah.
Ketujuh – Yang Mulia dan para pejabatnya tidak akan mengijinkan adanya bajak laut untuk memasuki Siack dan wilayah yang dibawahinya, dan akan mengusirnya supaya perdagangan antara Siack dan Penang tetap berkembang.
Kedelapan – Jika Yang Mulia dan negeranya terlibat dalam kesulitan, dia akan menyampaikan catatan kepada Gubernur Pulo Penang, dan memohon petunjuk dan nasehat.
Perjanjian dari Raja Siack dan para pejabatnya ini hendaknya dikirimkan kepada Gubernur Penang.
12 Rajab tahun 1238 (atau 26 Maret 1823)

Tertanda
J.W. Salmond
Anggota Dewan Prince of Wales Island.

Mr. John Anderson, Utusan Gubernur Pulo Penang, tiba di Siack dan meminta kepada Yang Mulia sebuah dokumen tarif biaya yang diterapkan di Siack, dan Yang Mulia bermaksud menyampaikannya jadwal daftar biaya ekspor impor tersebut.
Impor
Ekspor
Opium 20 drs per chest Galru 25 drs per picul
Garam 8 drs per coyan Lilin 25 drs. Pr do
Garam dari Jawa 10 drs per do Kamper ½ drs per do
Sutera mentah 5 drs per sen Ikan roes 2 ½ drs per 1000
Kain Eropa 5 drs per do Ikan asin 2 drs per 1000


Sagu 8 drs per coyan
Barang-barang dagangan yang umum di kargo 5 drs per sen
Semuanya selain yang ada di catatan tersebut bebas biaya impor dan ekspor.
Memo.
Kewajiban biaya yang ada di Assahan (Asahan) dan Delly selanjutnya sama dengan yang ada sebelumnya, telah disampaikan kepada gubernur, dan salinannya ada pada kami.
Di Langkat kewajiban biayanya seperti yang disebutkan dalam Perjanjian Rajah No. 5 di dalam catatan.
Di Sirdang (Serdang) pada saat sekarang ini tidak terdapat kewajiban biaya apapun, kecuali pada lada dan budak, 1 dollar per gantang, dan 1 dollar per kepala, sebagaimana disebutkan oleh Sultan Besar di Kampong Besar. Namun, terdapat perubahan yang dilakukan oleh pejabat yang berada di sana. Dan impor telah dikenakan pajak untuk setiap barang dagangan yang melintasi sungai oleh pejabat Kampong, Dorian, dan Kalamber. Pengaturannya akan dikomunikasikan lebih lanjut.
Batubara, sebagaimana yang telah saya periksa, adalah pelabuhan bebas.

Tertanda
John Anderson
Utusan Pemerintah


SIAM
Hubungan diplomatik Pemerintah Inggris dengan Siam dapat dikatakan telah dimulai dengan adanya misi Mr. John Crawfurd pada tahun 1821. Tujuan utama dari misi ini adalah untuk mendapatkan perdagangan yang tak terbatas dengan Siam. Tapi, negosiasi Mr Crawfurd itu tidak berhasil.
Pada tahun 1826, sebuah Perjanjian (No. CXII) dinegosiasikan oleh Kapten Burney, dengan tujuan utama mencegah orang Siam bekerjasama dengan Burma selama Perang Burma pertama, di mana Pemerintah Inggris kemudian terlibat, dan menyediakan kedamaian Semenanjung Malaya yang kemudian terganggu, sebagai akibat dari pendudukan Quedah oleh Siam. Selain Perjanjian di atas, Kapten Burney melakukan Perjanjian Perdagangan dengan Siam. Ketentuan Keterlibatan ini secara sistematis dilanggar oleh orang Siam, dan sebagaimana pada Pasal 6 dimana Inggris ditempatkan di bawah hukum Siam, maka pembatalan sangat diperlukan.
Pada tahun 1850 Sir James Brooke telah diutus ke Siam dengan persenjataan dan kekuasaan penuh dari Ratu Inggris. Tapi upayanya untuk menyimpulkan Perjanjian yang memuaskan tidak berhasil. Lima tahun kemudian, Perjanjian (No. CXIV), persahabatan dan perdagangan antara Ratu Inggris dan Raja Siam dinegosiasikan oleh Sir John Bowring. Pada tahun 1856, Mr. Parker menyampaikan ke Siam tentang ratifikasi Perjanjian oleh Ratu, dimana Perjanjian (No. CXV) sudah dibuat dengan Komisaris Siam demi memberikan efek pada Perjanjian dan untuk menentukan niatnya.
Bawahan Siam di Semenanjung Malaya adalah Quedah, Ligor, Tringanu (Trengganu), Calantan (Kelantan), dan Potani (Patani). Perjanjian dengan Quedah telah diberikan (No. LXXXVI ke LXXXVIII). Pada 1831, setelah Rajah Ligor mengalahkan Ex-Rajah Quedah dalam upaya untuk memulihkan negaranya (lihat Quedah), Residen Penang mengunjunginya di Quedah dan menyimpulkan sebuah Perjanjian (No CXVI) mengenai batas-batas Provinsi Wellesley, sesuai dengan Pasal 3 dari Perjanjian Bangkok.

Perjanjian dengan Siam, 1827
Pasal 1
Inggris dan Siam terlibat dalam suatu persahabatan, cinta, dan kasih, dengan rasa saling percaya, keikhlasan, dan kejujuran. Siam tidak boleh bersekutu dengan musuh-musuh Inggris dan Inggris tidak akan bersekutu dengan musuh-musuh Siam. Siam tidak akan menyerang, mengganggu, mengambil wilayah teritori Inggris.
Pasal 2
Setiap tempat maupun negera yang ada di bawah kekuasaan Inggris tidak akan mengganggu Siam dan Siam tidak akan melukai negeri-negeri tersebut. Namun jika terdapat laporan yang menyebutkan adanya pelanggaran terhadap hal tersebut, maka Inggris akan memberikan hukuman terhadapnya. Begitu juga dengan Siam, jika terdapat laporan kepada Siam atas pelanggaran tersebut maka Siam juga wajib memberikan hukuman.
Pasal 3
Pada wilayah yang dimiliki oleh Siam dan Inggris, untuk melintasi perbatasan baik di utara, selatan, timur, dan barat, harus dengan seizin kepala wilayah dan harus dengan mengirimkan surat. Dan beberapa orang di perbatasan tersebut harus pula menanyakannya kepada petugas perbatasan Siam, yang akan mengutus pejabat untuk menemaninya menemui pejabat Inggris, untuk menjelaskan aturan-aturan, sehingga timbul rasa kesopanan.
Pasal 4
Apabila terdapat orang Siam masuk dan hidup di wilayah Inggris, Siam harus menanyakannya atau memintanya dengan sopan, dan Inggris memiliki kebebasan untuk mengizinkannya atau tidak. Demikian pula apabila terdapat orang Inggris yang masuk ke wilayah Siam.
Pasal 5
Hubungan Inggris dan Siam terjalin lewat perjanjian yang mengukuhkan persahabatan antara keduanya. Semua barang dagangan Inggris, kapal, perahu, yang memasuki wilayah Siam dan membawa barang dagangan harus diberikan bantuan oleh Siam dan diizinkan untuk melakukan jual beli. Jika Siam ingin menuju wilayah Inggris, harus meminta izin dan persetujuan. Dan jika ditolak persetujuan itu, maka harus ada penjelasannya. Orang Siam yang berkunjung di wilayah Inggris harus tunduk kepada hukum Inggris, demikian sebaliknya.
Pasal 6
Barang dagangan yang dimiliki Inggris maupun Siam yang akan diperdagangkan ke Bengal atau wilayah yang dikuasai Inggris, atau ke Bangkok, harus membayar kewajiban seperti yang ditetapkan di wilayah tersebut.
Pasal 7
Barang dagangan milik Siam dan Inggris yang akan diperdagangkan di masing-masing negara, yang butuh untuk digudangkan, maka pejabat Inggris maupun Siam memiliki kebebasan untuk memberinya izin. Jika izin diberikan, maka harus ada kesepakatan yang saling menguntungkan, dan pejabat Siam maupun Inggris wajib memberi perlindungan dari bahaya.
Pasal 8
Jika barang dagangan milik Siam dan Inggris akan diperdagangkan di masing-masing negara dan kapal mengalami kerusakan, kecelakaan, dan sebagainya, maka Inggris dan Siam wajib memberikan bantuan dan perlindungan. Apabila orang Inggris maupun Siam meninggal di perjalanan, maka barang-barang miliknya harus dikirim kepada ahli warisnya. Jika mereka tidak tinggal dalam satu negera, maka harus ada yang mengirimkan barang tersebut dengan pemberitahuan lewat surat.
Pasal 9
Pedagang Inggris yang ingin berdagang ke wilayah negeri Siam namun tidak memiliki izin, harus menemui gubernur dari negera yang dituju. Apabila gubernur menyatakan tidak memiliki barang dagangan seperti yang akan dijualbelikan, gubernur akan mengijinkan dia datang dan memperjualbelikan daganganya.
Pasal 10
Inggris dan Siam bersepakat bahwa tidak akan ada yang akan mengganggu wilayah yang menjadi kekuasaan Inggris di wilayah Prince of Wales Island, Malacca, dan Singapore, dan negara-negara di Siam, seperti Ligor, Merdilong Singora, Patani, Junckeylon, Quedah, dan wilayah provinsi Siam lainnya. Pedagang Asia dari negara Burma, orang-orang Pegu, dan bawahan orang-orang Eropa harus diizinkan berdagang secara bebas hingga memasuki sungai-sungai. Pedagang Asia dari wilayah yang menjadi wilayah Inggris, seperti Burma, orang Pegu, dan wilayah pendudukan Eropa yang tertarik untuk berdagang di wilayah pendudukan Siam, seperti Mergui, Tavoy, Tenasserim, dan Ye, diizinkan untuk berdagang namun dilarang membawa opium, dan jika ditemukan maka harus disita, dibakar, dan dihancurkan.
Pasal 11
Jika seorang Inggris ingin berkirim surat kepada orang lain di Siam atau negera lain, hanya orang yang dituju yang akan membukanya dan tidak ada yang diperbolehkan membuka atau membacanya. Begitu juga sebaliknya.
Pasal 12
Siam tidak diperbolehkan untuk pergi dan berdagang ke negera Tringanu dan Colantan. Pedagang Inggris memiliki perdagangan dan hubungan di masa depan dengan fasilitas yang sama seperti kebebasan mereka sampai saat ini, dan Inggris tidak akan pergi dan menganiaya, menyerang, mengganggu negara-negara lain dengan dalih apapun.
Pasal 13
Orang Siam dan Inggris menyetujui bahwa Siam akan memperhatikan Quedah dan orang-orang yang ada di dalamnya.
Pasal 14
Orang-orang Siam dan Inggris menyetujui bahwa Rajah Perak akan memerintah wilayahnya sebagaimana yang dia inginkan. Jika dia ingin mengirimkan emas dan perak ke Siam, Inggris tidak akan mencegah keinginannya. Jika Chao Pya dari Ligor ingin mengirimkan orang-orangnya ke Perak sebanyak 40 atau 50 orang laki-laki, termasuk Siam, China, maupun orang Asia lainnya, atau jika Rajah Perak menginginkannya, maka Inggris tidak akan mencegahnya. Siam dan Inggris tidak akan mengganggu dan menyerang Perak. Inggris tidak akan mengijinkan Salengore menyerang Perak, dan Siam tidak akan menyerang Salengore.
Keempat belas Pasal ini berlaku kepada seluruh wilayah kekuasaan Inggris dan Siam, provinsi besar dan kecil, dan untuk dipatuhi tanpa syarat. Perjanjian ini ditulis dalam bahasa Siam, Melayu, dan Inggris, dan diputuskan pada hari Selasa, hari pertama pada bulan ketujuh, 1188, tahun anjing 8, tahun Siam, dan bertepatan dengan hari ke-20 bulan Juni 1826 tahun Eropa.

Segel Raja Siam
Tertanda
Kapten H. Burney
Utusan untuk Pengadilan Siam
Tertanda
Amherst
Tariff Ekspor dan Kewajiban Pajak Mendatangkan Barang Pasal-Pasal Perdagangan.
Bagian 1 – Seperti yang sudah disebutkan dalam Pasal-Pasal, tidak akan dikenakan biaya pajak untuk mendatangkan barang-barang, atau transit barang, kecuali membayar kewajiban ekspor barang-barang sebagaimana berikut:
No.
Ticul
Salung
Fuang
Hun

1 Gading 10 0 0 0 per picul
2 Gamboge 6 1 0 0 ditto
3 Cula Badak 50 0 0 0 ditto
4 Kapulaga terbaik 14 0 0 0 ditto
5 Kapulaga buruk 6 0 0 0 ditto
6 Remis 1 0 0 0 ditto
7 Pena bulu Pelikan 2 2 0 0 ditto
8 Buah pinang kering 1 0 0 0 ditto
9 Kayu krachi 0 2 0 0 ditto
10 Sirip hiu putih 6 0 0 0 ditto
11 Sirip hiu hitam 3 0 0 0 ditto
12 Benih luckraban 0 2 0 0 ditto
13 Ekor merak 10 0 0 0 per 100 ekor
14 Tulang sapi, kerbau 0 0 0 3 per picul
15 Kulit badak 0 2 0 0 ditto
16 Kulit potong 0 1 0 0 ditto
17 Cangkang kura-kura 1 0 0 0 ditto
18 Cangkang halus 1 0 0 0 ditto
19 Cacing laut 3 0 0 0 ditto
20 Ikan Maws 3 0 0 0 ditto
21 Sarang burung



20 per sen
22 Bulu kingfishers 6 0 0 0 per 100
23 Cutch 0 2 0 0 per picul
24 Beyche seed 0 2 0 0 ditto
25 Benih pungtarai 0 2 0 0 ditto
26 Gum Benjamin 4 0 0 0 ditto
27 Angrai Bark 0 2 0 0 ditto
28 Kayu agilla 2 0 0 0 ditto
29 Ray Skins 3 0 0 0 ditto
30 Tanduk Rusa tua 0 1 0 0 ditto
31 Tanduk rusa muda



10 per sen
32 Kulit rusa (baik) 8 0 0 0
33 Kulit rusa (biasa) 3 0 0 0 per 100
34 Urat daging rusa 4 0 0 0 per picul
35 Kulit sapi kerbau 1 0 0 0 ditto
36 Tulang gajah 1 0 0 0 ditto
37 Tulang harimau 5 0 0 0 ditto
38 Tanduk kerbau 0 1 0 0 ditto
39 Kulit gajah 0 1 0 0 ditto
40 Kulit harimau 0 1 0 0 per skin
41 Kulit armadillo 4 0 0 0 per pikul
42 Stick lac 1 1 0 0 ditto
43 Rami 1 2 0 0 ditto
44 Ikan plaheng kering 1 2 0 0 ditto
45 Ikan plasalit kering 1 0 0 0 ditto
46 Kayu sapan 0 2 1 0 ditto
47 Daging asin 2 0 0 0 ditto
48 Mangrove bark 0 1 0 0 ditto
49 Rose wood 0 2 0 0 ditto
50 Kayu Ebony 1 0 0 0 ditto
51 Beras 4 0 0 0 per kogan







Bagian II – Seperti yang sudah disebutkan dalam pasal-pasal, barang-barang yang akan disebutkan berikut ini dibebaskan dari kewajiban-kewajiban ekspor jika bila kurang dari ukuran yang tertulis:


Tical
Salung
Fuang
Hun


Gula putih 0 2 0 0 per picul

Gula merah 0 1 0 0 Ditto

Katun, bersih dan tidak bersih



10 per sen

Lada 1 0 0 0 per picul

Ikan platu asin 1 0 0 0 per 10.000 ikan

Buncis dan kacang



1-12

Udang kering



ditto

Till kering



ditto

Sutra, mentah



ditto

Bees wax



1-15

Lemak 1 0 0 0 per picul

Garam 6 0 0 0 per kogan

tembakau 1 2 0 0 per 1000 bdls
Bagian III – Semua barang atau produk yang tidak termasuk di dalam tarif ini gratis untuk kewajiban ekspor.

Tertanda
John Bowring
(Tanda tangan dan stempel yang berkuasa penuh atas lima wilayah Siam).


Sumber : Lenteratimur

Sabang Jazz Festival 2012 Akan Segera digelar di Sabang Fair


Jakarta | Sabang Jazz Festival 2012 akan digelar di Sabang, Pulau Weh, pada 22 Desember 2012. Sejumlah penyanyi dan musikus lokal dan mancanegara akan tampil, yakni Dwiki Dharmawan, Andien, Fariz RM, Steve Thornton (Malaysia), dan Ron Reeves (Australia).

Selama ini, Sabang, kota terbesar di Pulau Weh, terletak di provinsi paling barat Indonesia dan memiliki tujuan pariwisata unggulan. Untuk lebih memperkenalkan Sabang dan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan Nusantara, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama Pemerintahan Kota Sabang menggelar Sabang Jazz Festival di Sabang Fair, Kota Sabang.

Menurut Direktur Festival, Dwiki Dharmawan, festival jazz ini akan menampilkan penyanyi Andien, Fariz RM, dan grup musik Krakatau di mana ia menjadi personelnya, bersama Pra B Dharma.

Selain itu, untuk menampilkan musik nuansa ketimuran, dihadirkan etnomusikolog dan ahli perkusi dunia, Ron Reeves asal Australia, yang memiliki kecintaan terhadap perkusi Indonesia. Lalu, ada pula Steve Thornton asal Malaysia yang akan berkolaborasi dengan penampil lokal.

Dalam pergelaran perdana, Sabang Jazz Festival akan menyajikan konsep gabungan jazz dengan musik etnik yang dekat dengan budaya Aceh. Unsur musik perkusi asal Aceh, yakni Rapai, akan ditampilkan dengan kolaborasi bersama penyanyi asal Aceh, Rafly, dan grup musik Krakatau. “Kami akan selalu memasukkan unsur dan potensi lokal dengan perpaduan banyak genre. Mulai dari swing, latin, modern jazz, smooth jazz, jazz etnik, atau etno jazz,” kata Dwiki.

Fariz RM mengatakan akan membawakan lagu-lagu hit dalam acara yang digelar di kawasan pantai ini, seperti lagu Sakura dalam Pelukan, Barcelona, dan Nada Kasih.

Pemegang alat musik perkusi di grup Debu, Naseem Nahid, juga akan tampil sebagai penyanyi di ajang ini. Perempuan kelahiran Amerika Serikat ini akan menyanyikan lagu Turki berjudul Ask Terensi atau Cerita Cinta dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ada penampilan Farabi All Star, dimeriahkan penyanyi Ita Purnamasari, Iwan Abdie, dan Nikita Dompas Band.

Wali Kota Sabang, Zulkifli H Adam, yang turut hadir dalam jumpa pers di D' Consulate Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, Senin, 17 Desember 2012, mengatakan, setiap tahun Sabang menerima kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 50 ribu orang.

Obyek wisata unggulan Sabang di antaranya tempat menyelam, gua, dan benteng peninggalan Jepang atau Belanda, 529 spesies ikan, dan Tugu Nol Kilometer. “Selama ini pergelaran musik memang tidak banyak. Baru-baru ini ada kelompok musik Panbers yang datang,” kata Zulkifli.

Ke depan, Dwiki berharap festival ini akan menjadi embrio dan inspirasi dari seri pertama festival jazz di Indonesia, mengikuti jejak Kota Batam yang sudah menggelar ASEAN Jazz Festival keempat kalinya.

Sumber : Tempo

Kamis, 03 Mei 2012

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft Aceh 3 Mei 1999

Foto pembantaian warga simpang KKA
Sebuah bus memasuki terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta sekitar tiga tahun lalu. Terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang, yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga masih parkir depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang.

Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.

Lhokseumawe memang pusat industri Aceh. Ia kota kedua terbesar di Aceh sesudah ibukota Banda Aceh. Dalam perut bumi daerah ini terdapat kandungan gas alam terbesar di Indonesia. Sejak Exxon Mobil, sebuah perusahaan Amerika, menemukan sumur-sumur gas di Aceh Utara pada 1970-an, daerah ini dengan cepat melihat pertumbuhan industri hasil alam. Di bagian barat Lhokseumawe, terdapat kilang penyulingan gas alam cair PT Arun LNG, pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda, pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer, dan pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh. Sedang di bagian timur kota itu, terdapat ladang sumur gas milik Exxon Mobil.

Ironisnya, Lhokseumawe bukan kota yang makmur. Orang Aceh banyak yang miskin, hidup di pinggiran pabrik-pabrik. Jakarta hanya memberi sedikit keuntungan penjualan gas alam, pupuk, dan kertas ke daerah itu.

Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.

Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria yang membawa tas baju, kamera Betacam, dan peti berisi kabel, mikropon, dan perlengkapan penyuntingan video. Mereka wartawan RCTI, sebuah stasiun televisi Jakarta yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo.

"Oke, sekarang kita ke mana?" tanya Umar HN.

"Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman," jawab Imam Wahyudi.

Fipin Kurniawan, orang ketiga dalam rombongan ini, diam saja dan sibuk mengecek alat-alat yang dibawanya dari Jakarta. Dia menenteng kamera Betacam yang beratnya hampir 20 kilogram.

Umar H. Nurdin, populer sebagai Umar H.N., adalah koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995. Umar boleh dibilang wartawan senior. Jadi wartawan sejak 1970-an dan pernah jadi wartawan harian Waspada terbitan Medan selama 14 tahun. Umar juga mengambil gambar video maupun foto yang acapkali dijualnya kepada organisasi berita internasional Reuters dan Associated Press biro Jakarta. Umurnya sudah kepala empat. Tubuhnya tegap. Wajah sangat khas Aceh, rahang keras, berkumis tebal, rambut keriting, dan berkulit hitam. Perokok berat.

Imam Wahyudi adalah koordinator liputan daerah RCTI Jakarta. Tugasnya mengatur koresponden-koresponden daerah. Pria berumur 34 tahun ini sudah bekerja di RCTI sejak 1994. Kariernya termasuk cepat. Dia reporter andalan RCTI untuk daerah-daerah konflik Indonesia. Imam bertubuh kecil, tapi sangat gesit di lapangan. Imam orang ramah. Tapi dia cerewet terhadap para korespondennya kalau mereka salah dalam mengambil gambar atau reportase. Imam sudah bolak-balik ke Papua dan Timor Timur di mana juga ada perlawanan bersenjata terhadap Jakarta. Datang ke Aceh adalah keinginannya sejak lama, karena belum sekali pun dia menginjakkan kakinya ke daerah ini.

Ide meliput datang ketika Imam ikut pelatihan jurnalisme televisi di Medan, tiga hari sebelum kedatangannya ke Lhokseumawe. Di pelatihan itu ada Umar dan mereka diskusi banyak tentang Aceh.

Saat itu di Aceh ada perlawanan terhadap pemilihan umum yang akan berlangsung pada Juli 1999. Kampanye di Aceh tak berjalan. Seruan boikot pemilihan umum gencar dilakukan oleh berbagai organisasi massa di Aceh. Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh. Referendum untuk memilih merdeka atau tetap dalam negara Indonesia.

Aceh memang makin memanas sesudah runtuhnya rezim Soeharto di Jakarta pada Mei 1998. Presiden B.J. Habibie, pengganti Soeharto, memutuskan mencabut status Daerah Operasi Militer untuk Aceh pada Agustus 1998. Ironisnya, kekerasan masih berlangsung. GAM, kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di daerah pedesaan.

Kekerasan militer Indonesia menimbulkan dendam dan luka di hati orang Aceh. Orang Aceh banyak yang tak suka militer Indonesia. Mereka mengungkapkannya lewat beberapa demonstrasi atau huru-hara. Kerusuhan massal pertama meletus saat terjadi penarikan pasukan Kopassus pada Agustus 1998. Kopassus dianggap pasukan elit yang banyak melakukan kekejaman di Aceh. Orang-orang menyerang dan melempari truk-truk Kopassus dengan batu. Pada November 1998, ada konvoi bersenjata oleh seratusan orang di Geudong, sebuah kota kecil dekat Lhokseumawe. Pada Januari 1999, massa membakar tiga kantor polisi dan delapan kantor pemerintah di Lhokseumawe. Aksi ini muncul sesudah militer Indonesia menyerang basis pertahanan Ahmad Kandang. Buntutnya, sembilan orang Aceh mati, 23 luka-luka, dan 132 ditangkap. Ahmad Kandang seorang pentolan GAM yang berbasis di kecamatan Kandang, tiga kilometer arah timur Lhokseumawe. Tak lama berselang, polisi menangkap 40 orang simpatisan Ahmad Kandang. Penahanan ini jadi tragis setelah mereka dipindahkan ke gedung milik sebuah organisasi kepemudaan. Di tempat itu secara brutal, para tahanan dianiaya 50-an tentara Indonesia. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.

Umar banyak mengirim gambar kekerasan Aceh ke RCTI. Tapi Imam Wahyudi ingin sesuatu yang dianggapnya belum diberikan Umar. Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya. Imam ingin gambaran itu kepada penonton RCTI.

Dari Medan, Imam menelepon dan minta redaksi RCTI di Jakarta mengirim satu kame-rawan yang akan mendampinginya pergi ke Aceh. Fipin Kurniawan menyusulnya ke Medan. Fipin seorang pria yang agak pendiam. Tubuhnya jangkung, kurus, berhidung mancung, dan berkulit putih. Dia suka memakai kacamata hitam sehingga ada orang-orang yang menduganya kamerawan televisi luar negeri. Fipin sudah sembilan tahun jadi kamerawan RCTI. Dulu dia pernah ke Aceh ketika bekerja di salah satu rumah produksi.

Mereka bertiga naik dua becak mesin dari terminal Lhokseumawe. Suaranya yang berisik memecah keheningan malam. Jalan sepi sekali. Imam duduk satu becak dengan Umar. Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata "referendum" di badan jalan. Grafiti-grafiti ini bertebaran tak hanya di badan jalan, tapi juga di tembok pasar dan papan reklame.

Umar membawa Imam dan Fipin ke sebuah hotel. Umar meninggalkan kedua tamunya dan pulang ke rumahnya sendiri di Lhokseumawe. Dia sudah berada di Medan hampir seminggu dan rindu keluarganya. Imam dan Fipin tak banyak mengobrol karena sudah mengantuk. Tapi mereka sempat berkoordinasi untuk liputan esok, sebelum keduanya terlelap kelelahan.


TUJUHBELAS kilometer dari hotel, pada waktu yang hampir bersamaan, dini hari itu juga, di kota kecil Krueng Geukeuh, kecamatan Dewantara, ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga. Gardu itu mirip rumah panggung kecil tanpa dinding berukuran 2x1,5 meter. Orang Aceh biasa menyebutnya bale-bale.

Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping pabrik ada jalan masuk ke perkampungan Bangka Jaya. Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu meter.

Bale-bale itu ada sejak masa Daerah Operasi Militer. Orang-orang Bangka Jaya biasa berjaga malam di situ. Tapi malam itu jumlahnya sangat banyak. Semua laki-laki. Suara mereka ramai. Semua bicara dengan bahasa Aceh.

"Sudah, ambil saja truk itu. Kalau tidak dikasih bakar saja," seorang laki-laki berteriak.

Orang-orang ribut lagi. Ada yang setuju ada yang tidak. Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng Geukeuh dekat pasar Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk untuk mengangkut orang dari kampung-kampung sekitar.

Mereka memang sedang resah. Sejak lepas magrib ada beberapa laki-laki keliling kampung Bangka Jaya menyampaikan pengumuman. Laki-laki itu memerintahkan para perempuan keluar dari rumahnya untuk jaga malam. Perempuan yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga, disuruh bawa kayu atau parang, untuk jaga keselamatan. Mereka berkumpul dekat meunasah (masjid).

"Tentara mau menyerang kampung," kata seorang pria.

Di kampung lain, pengumuman diserukan dari pengeras suara meunasah. Siapa yang mengumumkannya tak jelas. Seorang pria yang tak dikenal warga masuk ke meunasah dan mengambil mik pengeras suara. Dia mengumandangkan azan. lalu membuat pengumuman. "Meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh."

Orang-orang kampung mendengar itu. Seperti angin, informasi yang tak jelas kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Malam itu kebanyakan desa di kecamatan Dewantara mulai grasak-grusuk. Mereka merasa khawatir sehingga berjaga-jaga sepanjang malam.

Di jalan lintas Banda Aceh-Medan, sekitaran Cot Murong, belasan laki-laki melakukan sweeping sejak lepas salat Isya. Cot Murong adalah sebuah pemukiman, empat kilometer arah barat Krueng Geukeuh. Di pemukiman itu terdapat tiga desa: Lancang Barat, Glumpang Sulu Timur, dan Glumpang Sulu Barat. Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru.

Sebagian orang mendengar informasi bahwa ada warga desa Lancang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. Dua hari terakhir tentara dari satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke wilayah Cot Murong. Tentara-tentara itu mencari seorang rekan mereka, anggota Arhanud Rudal yang hilang beberapa hari sebelumnya.

Detasemen Arhanud Rudal merupakan sebuah instalasi militer yang berfungsi melakukan pengamanan wilayah Indonesia, setidaknya Pulau Sumatera bagian utara, dari serangan udara negara lain. Markasnya sudah ada di sini sejak 1987. Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya. Markas Arhanud Rudal terletak di sebuah perbukitan kecil dan menyimpan senjata-senjata berat termasuk peluru kendali.


KEJADIAN dengan anggota Arhanud Rudal bermula beberapa hari sebelumnya. Pada Kamis malam, 30 April 1999, ada perayaan Maulid Nabi Muhammad di lapangan sepak bola Cot Murong. Acara itu diisi dengan pengajian dan dakwah. Banyak orang datang. Di Aceh, setiap ada kegiatan keagamaan, selalu dibanjiri orang. Orang Aceh kebanyakan beragama Islam dengan fanatik.

Di antara kerumunan orang yang berdiri di lapangan, menyelinap Sersan Dua Aditia. Dia anggota bintara Arhanud Rudal yang markasnya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Cot Murong. Kabar dari mulut ke mulut menyebutkan Aditia sedang melakukan kegiatan mata-mata. Dia membawa radio komunikasi handy talky dan pistol.

Aditia sering terlihat di sekitaran Krueng Geukeuh. Aditia banyak bergaul dan memiliki banyak akses dengan masyarakat di situ. Malam itu dia ditugaskan komandannya untuk memantau keramaian di Cot Murong. Arhanud Rudal merasa perlu mengawasi wilayah dalam radius lima kilometer dari markas mereka.

Isi dakwah malam itu sangat panas. Militer Indonesia biasa menyebutnya sebagai "dakwah GAM." Dakwah itu berbau politik.

Beberapa bulan terakhir di kampung-kampung Aceh Utara memang kerap dilaksanakan dakwah GAM. Acara itu selalu dihadiri oleh banyak orang. Biasanya dilaksanakan pada sore atau malam hari. Tempatnya bisa di lapangan ataupun meunasah. Dibuka dengan pengajian, lantas ada tengku (ulama) yang ceramah. Yang menarik, terkadang acara itu menghadirkan para korban militer Indonesia, yang berkisah tentang kekerasan militer terhadap keluarganya.

Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah. Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah. Lantas diungkapkan pula perlakuan-perlakuan kejam dan tak adil dari "pemerintah Indonesia Jawa" sehingga orang tahu kenapa ada Aceh Merdeka dan kenapa mereka berjuang melepaskan diri dari Jakarta.

Aditia sendirian. Tak banyak orang kampung yang memperhatikannya karena tak kenal. Tapi sejak malam itu Aditia hilang dan tak kembali ke markasnya. Padahal empat hari lagi dia akan dilantik sebagai sersan satu.

Keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 pagi. Tiga truk militer dan lima minibus Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong. Mereka dari Arhanud Rudal. Mereka masuk ke kampung Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia.

Orang-orang kampung resah melihat patroli tentara. Mereka trauma melihat orang berbaju loreng hijau membawa senjata. Itu pemandangan yang menakutkan. Kekerasan oleh militer selama 1989 dan 1998 menciptakan citra bahwa tentara jahat dan suka menyakiti rakyat. Mereka takut akan ada orang ditangkap, dipukuli, atau ditembak.

Tentara-tentara itu menanyai setiap orang yang dijumpai tentang keberadaan Aditia. Tapi tak seorang pun mengaku melihat Aditia malam itu di kampung mereka. Apalagi tahu-menahu tentang hilangnya Aditia.

Orang Cot Murong tak senang tentara masuk ke kampung mereka. Mereka kumpul di sepanjang jalan yang dilalui patroli tentara. Puluhan perempuan sempat mencoba berbaris menghalangi patroli tentara di jalan.

Orang yang marah melakukan protes ke Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin minta tentara agar tak masuk ke kampung mereka lagi. Mereka tak tahu tentang hilangnya Aditia. Jadi tak ada alasan tentara menanyai dan bikin takut penduduk.

Sorenya komandan Arhanud Rudal Mayor Santun Pakpahan menelepon Camat Marzuki untuk minta izin masuk kampung mencari sersan yang hilang. Tapi Marzuki minta tentara jangan dulu masuk kampung, karena orang mulai ribut.

Keesokan harinya, Sabtu, 1 Mei 1999, diadakan pertemuan antara perwakilan warga Cot Murong, ulama, tentara, polisi, dan camat di kantor polisi Dewantara. Mereka menandatangani kesepakatan bahwa tentara tak akan masuk kampung lagi. Pencarian Sersan Aditia diteruskan oleh tokoh-tokoh kampung. Teungku Hanafiah, seorang ulama setempat, diutus ke Cot Murong untuk mencari si sersan hilang. Tapi seharian itu, dia gagal mendapat kabar keberadaan Aditia.

Ketika tahu ketidakberhasilan Teungku Hanafiah, secara diam-diam tentara masuk ke kampung lagi pada Minggu 2 Mei 1999. Tak begitu banyak jumlahnya dan mereka hanya naik satu Toyota Kijang. Mereka tampaknya khawatir Aditia diculik gerilyawan GAM. Mereka kembali menanyai orang-orang kampung. Orang-orang kembali resah. Beberapa laki-laki yang sedang duduk minum kopi di warung, lari tunggang-langgang melihat tentara. Mereka dibentak. Tentara bahkan sempat menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.

Kabar penempelengan itu segera beredar. Orang-orang marah. Sebab sudah disepakati tentara tak masuk ke kampung mereka lagi. Apalagi ada bumbu informasi, yang tak jelas kebenarannya, ada penduduk desa Lancang Barat ditangkap dan dibawa pergi patroli tentara. Suasana memanas. Isu-isu yang tak jelas siapa sumbernya menyebar hingga ke kecamatan tetangga. Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.


SENIN pagi-pagi sekitar pukul 09:00. Azhari biasa mangkal di warung kopi langganannya dekat kantor polisi Lhokseumawe. Sebagai bujangan, tak ada yang menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya. Dia sarapan sepiring nasi gurih dan secangkir kopi. Azhari adalah asisten koresponden kantor berita Antara di Aceh. Dia baru tujuh bulan bekerja sebagai wartawan. Umurnya 32 tahun. Azhari orang yang selalu berhati-hati dan cenderung penakut. Sebagai wartawan baru, dia ditugaskan di tempat berbahaya. Dia harus bekerja keras membuat laporan sebanyak mungkin, karena dia dibayar berdasarkan jumlah berita yang dibuatnya. Beberapa bulan terakhir dia bolak-balik Banda Aceh dan Lhokseumawe akibat situasi kota gas itu yang panas.

Di Aceh, warung kopi jadi tempat yang sangat ramai dikunjungi orang laki-laki. Dari yang sekadar minum kopi, membaca koran gratis, nonton televisi, maupun mengobrol. Selagi minum kopi, Azhari menangkap pembicaraan beberapa orang yang duduk dekat mejanya.

"Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)."

"Peu acara (Acara apa)?"

"Naa awak geutanyou jidrop lee si Pa'i. Ramee ureueng jak demo ke Koramil (Ada orang kita ditangkap si Pa'i. Ramai orang pergi demo ke Koramil)."

Azhari tertarik. Cepat dia kembali ke kantornya yang tak jauh dari warung kopi. Kantor Antara hanya sebuah rumah kontrakan. Kantor itu juga jadi tempat tinggal Azhari. Dia sendirian bekerja di situ.

Azhari menelepon beberapa wartawan di kota itu untuk mencari kebenarannya. Azhari pun memutuskan ke Krueng Geukeuh. Disambarnya kamera di atas meja. Sudah terisi film, tinggal dipakai saja.

Sabtu sebelumnya, Azhari sudah mendengar kabar ada intel tentara hilang di Cot Murong. Azhari memutuskan meliput. Biasanya kalau massa sudah berkumpul akan ada buntut peristiwa yang bisa diberitakan.

Beberapa kilometer dari tempat Azhari, Imam Wahyudi dan Fipin masih bermalas-malasan di atas kasur. Imam menelepon Umar minta dia menemani mereka melakukan liputan suasana kota Lhokseumawe.

Dengan mobil Isuzu Panther merah milik Umar, mereka keliling Lhokseumawe. Fipin mengambil gambar suasana kota. Spanduk tentang tuntutan referendum dan penolakan terhadap rencana pembentukan Komando Daerah Militer Aceh tergantung, melintang di atas jalan menuju pusat pasar. Pagi itu pasar ramai dengan orang dan kendaraan lalu lalang. Dari kota, Umar membawa Imam dan Fipin ke arah Kandang, di pinggiran Lhokseumawe. Mereka akan ambil gambar bendera GAM berlambang bulan bintang yang dipasang di tower RRI.

"Saya masih trauma kalau memasuki daerah ini," kata Umar. Ia pernah terjebak dalam kontak senjata antara tentara Indonesia dan kelompok Ahmad Kandang.

Dari Kandang mereka kembali ke Lhokseumawe. Mereka bertemu dengan Ali Raban yang menunggu dekat pasar. Ali Raban adalah kamerawan yang bekerja untuk Umar. Ali tak punya ikatan kerja langsung dengan RCTI. Ali membantu Umar sejak 1995 ketika RCTI mengudara pertama kali di Lhokseumawe.

Ali Raban kamerawan yang nekat kalau di lapangan, sering mengabaikan keselamatan jiwa dan kurang perhitungan. Ali seorang yang berpenampilan sederhana. Umurnya sekitar 25 tahun. Dia ayah seorang bayi yang baru dua bulan lahir.

Tiba-tiba penyeranta yang bergantung di pinggang Umar berbunyi. Pesan masuk dari seseorang. "Ada pemblokiran di Krueng Geukeuh," kata Umar.

"Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat.

Umar belum berniat secepatnya ke Krueng Geukeuh. Tapi Ali mendesak. Sejak setengah jam lalu, Ali juga mendapat pesan serupa di penyerantanya.

Umar dan Ali mempunyai orang-orang yang bisa jadi sumber informasi mereka hampir di tiap kota kecamatan. Terkadang Umar membayar orang-orang yang membantunya sebagai informan. "Channel" itulah yang jadi ujung tombak kecepatan mereka mengejar berita.

Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto. Di jalan mereka bertemu dengan sopir labi-labi (angkutan kota) trayek Krueng Geukeuh. Dari si sopir mereka melakukan verifikasi kalau memang ada pencegatan massa di sana dan kejadiannya masih baru.

Mereka sepakat ke sana. Tapi tiba-tiba Umar bilang, "Kita cari makanan dulu."

Umar mempunyai kebiasaan membawa makanan lebih kalau mau meliput jauh. Pengalamannya, kalau sudah masuk ke tempat konflik, akan susah cari makan. Dia termasuk orang yang susah kalau lapar.

"Udah, kita jalan saja. Nanti terlambat dapat gambar," bantah Raban.

Umar dan Ali berdebat soal jadi tidaknya mereka beli makanan. Imam dan Fipin tak banyak komentar, walau sebenarnya mereka juga butuh makan. Imam dan Fipin belum sempat sarapan.

Imam setuju dengan Raban. Imam adalah wartawan televisi tulen. Jika tak segera mengambil momentum pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum kedua. Waktu sudah terbuang.

Di sepanjang jalan Ali merepet dengan bahasa Aceh pada Umar. Dia kesal karena Umar dianggapnya membuang waktu hanya karena membeli makanan. Itu peristiwa penting, dan mereka seharusnya mengejar waktu secepat mungkin menuju ke Krueng Geukeuh.

"Uh, dasar yang dipikirin makan melulu," gerutu Raban. Mereka membeli nasi Padang di pasar.


JAM sudah menunjukkan angka 10. Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter sejak dia diturunkan dari sepeda motor temannya dekat tugu depan perumahan PT Pupuk Iskandar Muda. Temannya disuruhnya kembali ke Lhokseumawe, karena jalan sudah diblokir. Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar udara Malikul Saleh. Di Bungkah, kendaraan umum yang hendak menuju Lhokseumawe, melintasi Krueng Geukeuh, juga dilarang lewat.

Azhari berhenti di pinggir jalan depan sebuah pemakaman dan melihat sebuah bus kecil penuh penumpang berhenti. Beberapa pria, tak sampai 10 orang, menghadang bus yang datang dari arah Lhokseumawe. Bus itu hendak menuju ke Bireuen, sebuah kota 45 kilometer barat Lhokseumawe. Penumpangnya disuruh turun.

"Kalau mau lanjutkan perjalanan, lewat Simpang Kraft bisa sambung bus lain," kata para penghadang. Mereka yang merasa harus sampai ke tempat tujuannya secepat mungkin, memutuskan jalan kaki ke Simpang Kraft, yang berjarak dua kilometer dari situ, dengan harapan bisa menyambung kendaraan lainnya. Banyak kendaraan yang terpaksa kembali ke Lhokseumawe karena tak diizinkan lewat.

Tak lama, sebuah mobil Toyota Kijang berkaca gelap menepi tak jauh dari tempat Azhari berdiri. Dari dalamnya keluar delapan orang pasukan Gegana, pasukan elit polisi Indonesia khusus antipeledakan. Mereka berseragam kaos hitam berlambang burung walet dan memegang senjata jenis Styer. Wajah mereka tampak kebingungan melihat ramai orang di tengah jalan dan kendaraan banyak yang berhenti.

Orang-orang yang menghadang bus tak peduli ada Gegana dekat mereka. Jalanan telah dikuasai warga. Mereka membuat barikade dari tumpukan ban bekas, dahan kayu, dan drum kosong. Yang ingin ke Krueng Geukeuh harus minta izin dulu kepada penghadang. Krueng Geukeuh berada di lintasan jalan Banda Aceh-Medan. Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe sebab di sana berdiri pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer serta pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.

Azhari berjalan pelan menuju persimpangan Krueng Geukeuh. Tak ada satu pun kendaraan berseliweran di jalanan. Yang ramai hanya orang-orang, yang ketika itu sudah berkeluaran dari rumah mereka. Mereka tertarik menonton keramaian. Beberapa laki-laki terlihat membawa senjata tajam.

Tak ada orang yang menanyai identitas Azhari. Di dompet dalam saku celananya, hanya ada selembar kertas surat tugas dari Antara. Kamera yang dibawanya disimpan dalam tas pinggang. Azhari berpikir lebih baik tak ada yang tahu dia wartawan. Itu mungkin lebih aman baginya.

Azhari menemukan massa sudah menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh. Simpang itu terletak dekat komplek perumahan karyawan PT Asean Aceh Fertilizer. Pusat kota Krueng Geukeuh masuk dari persimpangan jalan tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor polisi, klinik kesehatan, kantor camat dan lapangan sepak bola. Bersebelahan berdiri pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer.

Toko dan warung yang berderet sekitar persimpangan kebanyakan telah ditutup pemiliknya. Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan.

Di antara ratusan orang itu, Azhari berjumpa dengan Sabri, temannya yang sekolah di sebuah akademi di Banda Aceh. Sabri tak sempat bercakap lama dengan Azhari. Sabri sedang sibuk. Sabri dan beberapa pria sedang melakukan sweeping. Mereka naik ke sebuah bus besar yang berhenti dekat simpang empat. Kartu identitas penumpang diperiksa satu per satu. Mereka mencari kalau ada tentara Indonesia di dalamnya.

Azhari berdiri diam di emperan toko dan memperhatikan keadaan. Sekitar pukul 11.00 Azhari melihat ada iringan mobil datang dari Lhokseumawe. Dengan kecepatan sedang sebuah Taft hijau tua dan Toyota Kijang penuh orang di dalamnya berusaha menerobos massa yang mengumpul di tengah jalan. Di belakang kedua mobil itu mengekor sebuah truk tanki minyak.

Azhari kenal orang yang duduk di bangku depan mobil Taft. Itu komandan Komando Distrik Militer Aceh Utara Letnan Kolonel Sugiono. Penumpang dalam Kijang sepertinya tentara berpakaian preman, pengawal Sugiono. Massa menghentikan mobil. "Tidak bisa lewat, Pak."

Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu. Massa tetap tak mengizinkan mobil lewat. Apalagi setelah tahu di dalamnya tentara. Terjadi perdebatan. Entah siapa yang duluan bergerak, mendadak puluhan massa mendekat ke mobil itu dengan marah. Melihat situasi tak menguntungkan, mobil itu tancap gas, lari dari massa yang mengejar dengan parang. "Kejar! Kejar!" teriak orang-orang.

Bunyi decitan ban terdengar cukup keras. Kedua mobil itu dengan cepat memutar balik, lari kencang kembali ke arah Lhokseumawe. Truk tangki minyak yang sedari tadi mengekor hampir terbalik karena sopirnya terkejut dan hampir tak bisa mengendalikan setir. Truk itu secepatnya juga kembali ke arah Lhokseumawe.


UMAR HN membawa mobilnya mengebut ke arah Krueng Geukeuh. Sudah pukul 11.00. Mereka sudah kehilangan banyak waktu, karena sibuk dengan hal-hal yang tak penting di Lhokseumawe. Ali sesekali masih merepet, mengeluarkan kedongkolannya terhadap Umar. Imam dan Fipin banyak tak mengerti dengan bahasa Aceh yang diucapkan Raban.

Lewat pabrik Pupuk Iskandar Muda, mobil mereka tak boleh lewat. Umar menyimpan mobilnya di halaman sebuah tempat usaha sablon. Mereka pun berjalan kaki melewati banyak orang yang berkumpul di sepanjang jalan. Kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang. Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan. Imam membawa kaset dan mikrofon berlogo RCTI. Fipin dan Ali memanggul kamera berlambang RCTI. Umar dan Imam memakai rompi wartawan berwarna krem berlogo RCTI.

Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.

Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak. Sekumpulan anak kecil berlari, mendekat ke arah Fipin dan Ali yang sedang mengambil gambar massa. Di depan kamera, mereka bersorak sambil meloncat-loncat, dan berteriak-teriak hingga memekakkan telinga. Anak-anak itu senang direkam gambarnya.

"Merdeka! Merdeka!"

"Hidup referendum!"

"RCTI oke!"

Suasana yang tadinya biasa saja jadi ribut, karena orang-orang dewasa turut berteriak-teriak seperti kelakuan anak-anak kecil di situ. Yang tadinya berdiri di emperan toko, mulai turun ke jalan sambil bersorak-sorak. Yang membawa kayu dan parang mengacungkannya ke udara. Mereka overacting karena ada liputan televisi.

Umar mencium gelagat tak bagus. Jantungnya berdenyut keras. Ada yang mencegat dan menanyai identitas mereka berempat. Umar dan Ali yang bisa bahasa Aceh menjelaskan bahwa mereka wartawan.

Umar tahu kalau tak bicara baik-baik akan susah dapat izin lewat. Walau banyak yang senang aksi mereka diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada mereka. Orang menyamakan posisi mereka dengan tentara yang harus dimusuhi.

"Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i sebutan kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau polisi Indonesia.

Sambutan tak ramah itu membuat Umar khawatir. Dengan berkata pelan, Umar mengingatkan Imam dan Fipin agar tak mengaku sebagai orang Jawa. Ada sikap anti orang Jawa di Aceh. Imam terkadang sulit menyembunyikan aksen Jawa dalam ucapannya.

Seorang pria mendekati Imam, "Kamu siapa?"

"Wartawan."

"Wartawan dari mana?"

"RCTI."

"Orang mana?"

"Melayu."

"Melayu mana?"

"Melayu Riau."

Orang-orang itu menarik kartu identitas Imam dan Fipin yang menggantung di leher, melihatnya untuk memastikan apa betul mereka wartawan.

Syukur, datang bantuan. Salah seorang tokoh yang jadi pengatur massa di situ, menghampiri Imam dan Umar. Dia kenal Umar sebagai wartawan. Mereka bersalaman. "Ini wartawan RCTI. Tidak apa-apa. Biarkan lewat," pria itu memberi instruksi pada orang-orang yang berkerumun dekatnya.

Orang-orang yang tadinya sempat tak senang mendadak berubah sikap jadi baik. Mereka bilang, massa yang jumlahnya lebih besar lagi sudah berkumpul di Simpang Kraft. Mereka menawarkan diri untuk mengantar wartawan ke sana, karena jarak Simpang Kraft sekitar satu setengah kilometer dari situ.

Raban sempat bertanya pada seorang pria muda yang dilihatnya membawa senjata tajam. "Kenapa bawa parang?"

"Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung," katanya.

"Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang lain.

Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan sepeda motor milik warga di situ. Tak ada kendaraan yang melintas di jalanan.

Sepeda motor yang ditumpangi para wartawan itu harus berjalan zigzag, dengan kecepatan sedang. Tiap jarak yang dekat ada barikade yang dibuat dengan tumpukan ban bekas, kursi, kayu, dan drum. Bahkan menjelang Simpang Kraft jalan sepenuhnya telah ditutup, sehingga mereka harus minta izin dulu kepada orang-orang yang berjaga agar bisa lewat.


SIMPANG Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 kilometer. Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.

Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya satu lampu kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan berhati-hati. Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton besar yang membawa gulungan-gulungan kertas raksasa.

Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga.

Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di antaranya berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di depan deretan warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung. Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua rumah sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di kiri kanan jalan.

Rumah-rumah orang lebih banyak berada di pinggiran jalan Banda Aceh-Medan. Orang di situ sudah terbiasa melihat truk-truk mengangkut sepasukan tentara melintas keluar masuk Simpang Kraft, karena di situ ada markas Arhanud Rudal.

Pagi-pagi sekali, beberapa laki-laki melakukan sweeping di sekitaran Simpang Kraft. Mereka memeriksa setiap kendaraan yang lewat, memeriksa apakah ada tentara yang melintas. Pukul 08.00 empat truk militer membawa sepasukan tentara berbaju loreng hijau, bertopi rimba dan bersenjata masuk ke kecamatan Dewantara. Tentara itu datang dari Batalyon 113 Korem Lilawangsa yang markasnya terletak di Bireuen, 45 kilometer barat Lhokseumawe. Pasukan Batalyon 113 itu biasanya bertugas sebagai pasukan pengaman proyek-proyek vital di sekitaran Lhokseumawe. Tapi pagi itu mereka didatangkan sebagai pasukan bala bantuan untuk pengamanan jalan masuk ke Arhanud Rudal. Jumlah tentara di Arhanud Rudal cuma ada satu kompi. Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya tentara-tentara itu, orang-orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di meunasah.

Sejam kemudian gelombang massa pun berdatangan ke Krueng Geukeuh. Mulanya, 10 truk membawa ratusan laki-laki datang dari kampung-kampung. Mereka berkumpul di lapangan sepak bola, tak jauh dari kantor camat. Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum. Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor. Mereka menjemput Marzuki untuk dibawa ke Simpang Kraft. Di sana, orang Cot Murong dan tentara sudah saling berhadap-hadapan. Marzuki diminta datang untuk mendinginkan suasana yang memanas.

Hingga pukul 11.00, ada dua konsentrasi massa di Krueng Geukeuh. Massa pertama ada di depan Koramil Dewantara, dekat pasar Krueng Geukeuh. Ratusan orang kebanyakan wanita, berkumpul melakukan demontrasi. Banyak yang membawa anaknya. Mereka datang dari kampung-kampung sekitar Krueng Geukeuh, dijemput dengan truk. Wanita-wanita itu bergerombol, ada yang berteriak-teriak. Tak ada tentara yang menghadapi demonstran. Mereka berdiam diri di dalam kantor Koramil Krueng Geukeuh yang tertutup rapat. Komandannya ada di Simpang Kraft.

Menjelang pukul 12.00 massa mulai melempari kaca jendela koramil. Sebuah sepeda motor milik tentara yang diparkir di sekitar situ dibakar hingga hangus. Tentara memberi tembakan peringatan beberapa kali ke udara. Massa sempat lari.

Peristiwa depan koramil tidak banyak diketahui oleh massa kedua di Simpang Kraft. Simpang Kraft bagai lautan manusia. Massa menumpuk dalam radius 300 meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak pagi. Orang-orang itu tak hanya datang dari Dewantara, tapi juga dari kecamatan sekitar seperti Nisam, Muara Dua dan Sawang.

Mereka tergerak ke sana karena spontanitas, merasa harus bersolidaritas terhadap sesama orang Aceh. Tak sedikit yang panas hatinya mendengar kabar tentara akan menyerang kampung sehingga mereka merasa perlu membawa senjata tajam untuk bela diri. Ada semacam pengerahan massa ke Simpang Kraft, karena sebagian besar orang yang datang ke situ dikoordinasi oleh sekelompok orang. Sejak pagi sejumlah truk masuk ke kampung-kampung menjemput orang diajak berdemonstrasi.

Sebagian lagi, datang ke Simpang Kraft karena tertarik menonton keramaian yang tak biasa itu. Pemandangan itu jadi hal menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan pelajar yang bersekolah di sekitarnya.

Tak sedikit juga yang terjebak di Simpang Kraft. Yang terjebak adalah para penumpang yang tadinya berharap bisa menyambung perjalanan dengan naik bus di Simpang Kraft. Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer sejak dari simpang PT Pupuk Iskandar Muda di mana rombongan RCTI menyimpan mobil. Ternyata tak ada bus yang menunggu di Simpang Kraft seperti yang dibilang para penghadang di simpang Pupuk Iskandar Muda. Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ.

Keempat wartawan RCTI yang baru datang segera masuk di antara kerumunan massa. Mereka menyebar. Dua kamerawan, Ali dan Fipin, merekam gambar dari sudut yang berbeda.

Di sebelah jalur kanan jalan, ada empat truk militer diparkir berjejer. Tentara-tentaranya sudah turun. Mereka berjaga di sekitar kawasan itu. Tentara-tentara itu berkelompok-kelompok, berdiri dekat sebuah tanah kosong, di depan warung dan dekat truk mereka. Ada banyak wanita dan anak-anak berdiri sangat dekat dengan tentara-tentara dari Batalyon 113.


AGAK terpisah dari massa, di bawah sebuah pohon asam dekat sawah, 500 meter dari simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter.

Keempat wartawan itu melihat tentara yang berdiri dekat truk militer sudah terkepung massa. Tapi tak terlihat ketegangan serius antara tentara dan massa. Tentara-tentara itu tak bereaksi terhadap orang-orang yang bersorak-sorak di dekatnya. Dan massa pun tak mempedulikan kehadiran tentara-tentara.

Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televisi merekam aksi mereka. Mereka jadi ribut sekali. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan apa saja yang mereka bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan kepala manusia. Anak-anak kecil melompat-lompat kegirangan setiap kamera menyorot mereka.

"Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu bersahut-sahutan dari ujung ke ujung.

Mereka juga berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!"

"Hidup referendum!"

Imam dan Fipin naik ke atas salah satu truk tentara yang diparkir di pinggir jalan. Truk itu pun sudah penuh, dinaiki massa. Dari atas truk itu, Fipin kembali mengambil gambar lautan massa. Mereka makin ramai bersorak. Bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah. "Allah Akbar!"

Sudah pukul 12.00 siang. Langit biru cerah tanpa awan. Matahari tepat di atas kepala. Panasnya bagai membakar apa saja yang ada di permukaan bumi. Panas matahari juga dirasakan oleh massa. Tapi mereka seakan tak peduli. Panas matahari justru makin memanaskan suasana. Mereka makin ribut, bersorak dan loncat-loncat. Peluh mengucur deras dari tiap senti tubuh mereka. Mereka berteriak-teriak minta air.

Beberapa tentara dekat truk tersenyum memperhatikan tingkah massa yang dianggap lucu, melompat-lompat seperti anak kecil. Tentara-tentara itu tak bergeming, kendati sesekali terdengar makian dari massa, "Pa'i" tapi mereka berdiri santai, sesekali bertukar api rokok dengan beberapa demonstran. Moncong senjata mereka jatuh ke tanah. Salah seorang, mungkin komandannya, sibuk berbicara melalui handy talky.

Sebagian wanita berkerudung berteduh di pinggiran warung, bale-bale dan di bawah pohon. Lima orang wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di bale-bale, tertawa ceria sambil turut bersorak-sorak, ketika Fipin Kurniawan mengarahkan kameranya ke mereka.

Imam Wahyudi melihat seorang pemuda berkemeja putih, memakai ikat kepala dari kain putih yang disobek, dielu-elukan massa yang mengangkat-angkat tangannya. Mungkin dia salah satu pemimpin di situ. Dia agak malu karena kamera Fipin lama menyorot ke arahnya.

Azhari tiba di Simpang Kraft. Dia tadi jalan kaki mengikuti serombongan orang dari simpang empat Krueng Geukeuh. Azhari masuk dalam kerumunan massa. Tubuhnya yang pendek seakan tenggelam di sana. Dia agak sulit bernafas, karena massa demikian padat.

Azhari melihat Umar di antara kerumunan orang. Tubuh Umar tampak agak lebih tinggi dari orang-orang sekitarnya. Azhari tak berusaha menghampiri Umar. Dia menganggap Umar wartawan yang tidak ingin disaingi dalam perolehan gambar dan berita. Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara.

Ali Raban sendirian, terpisah dari teman-temannya. Ali naik ke atas sebuah drum yang diletakkan massa tepat di tengah jalan. Dia mengambil gambar tentara yang terkepung di antara massa yang menyemut.

Raban turun dari drum dan bergerak masuk lebih jauh ke dalam kerumunan. Ali melihat camat Marzuki. Dia mengambil gambar Marzuki yang terduduk lemas di sebuah kursi depan warung kopi yang tutup.

Marzuki ada dalam tekanan orang-orang sekitarnya. Lencana camatnya dicopot paksa oleh seseorang. Marzuki harus menanggalkan baju dinas camatnya, dan menjadi pusat perhatian orang karena cuma berkaos dalam dan bercelana pendek.

Camat Marzuki, beberapa kali naik ke atas truk dan berbicara kepada massa di situ. Seorang pemuda berkulit hitam memegang megafone ada dekatnya. Namanya Faisal. Tampaknya Faisal koordinator lapangan. Marzuki dan Faisal bernegosiasi. Massa menuntut Marzuki segera menghadirkan perwakilan tentara, ulama, dan pemerintah di Simpang Kraft.

Raban berlalu dari tempat Camat Marzuki. Dia menyeberang ke arah jalur kanan jalan. Mengambil gambar orang-orang yang berdiri di pinggir warung. Seorang anak kecil dengan wajah gembira minta ibunya mengangkat dirinya lebih ke atas, biar wajahnya terlihat jelas di kamera. Berkali-kali anak itu bersorak-sorak agar Ali melihat dirinya.

Raban sangat kehausan. Dia melihat anak kecil tadi. Anak itu bercelana pendek dan memakai sandal jepit. Ibunya sudah tak terlihat lagi. Dia memegang botol Aqua ukuran 600 mililiter. Isinya tak sampai seperempat botol.

Raban mencoba memintanya. "Dik, boleh minta airnya?"

Anak itu memberi Ali botol air yang dibawanya. Ali meneguknya. Botol yang masih menyisakan sedikit air, diserahkan lagi ke anak itu.

Umar berdiri di tengah massa. Beberapa orang yang melihatnya, datang dan minta Umar dan kawan-kawannya mewawancarai mereka. Umar tak menolaknya. Lebih baik menuruti orang-orang itu. Dia yakin di antara sekian banyak orang, banyak yang berpikiran kalut dan di luar kendali.

Umar memanggil Ali yang jaraknya hanya belasan meter darinya. Imam dan Fipin sudah turun dari truk. Mereka berempat berkumpul di sebelah jalur kiri jalan. Mereka akan mewawancarai Faisal.

Faisal masih muda, berhidung mancung dan berkulit hitam. Dia memakai jaket parasut hitam sepanjang lutut yang warnanya telah kusam. Faisal memakai topi hitam dililit pita putih. Dia memegang megafone.

Pemuda-pemuda yang berada di sekelilingnya berteriak, "Hoi, hoi," berebutan mau bicara dan ingin masuk televisi. Faisal menolak memakai bahasa Indonesia. "Hana meuphoum lon." Dia tak bisa berbahasa Indonesia.

Imam mewawancarai Faisal. Umar menterjemahkannya. Banyak orang yang tertarik melihat Faisal diwawancarai televisi. Keributan seketika berkurang, karena Faisal berteriak agar massa diam. Sejenak agak senyap.

Si Faisal menjelaskan, "Rakyat bangsa Aceh yang ada di Lancang Barat dan Krueng Geukeuh ke luar ke lapangan, ke jalanan. Karena kami melihat banyak tentara Jawa, si Pa'i sudah masuk ke desa Teupin, menganiaya rakyat dan ada saksi mata."

Faisal berkata lagi, semalam ada provokator yang menyusup ke kampung mereka, yang ditudingnya sebagai tentara yang menyamar.

"Pa'i, pa'i," orang-orang di sekitar Faisal berteriak.

"Dan si pa'i itu memancing kami masyarakat, sehingga kami menjadi berkelahi," sambungnya.

Menurut Faisal, pagi itu ada empat truk tentara masuk ke desa Lancang Barat, bertujuan memancing emosi orang sehingga jadi ribut. "Padahal sudah janji sebelumnya tidak boleh masuk tentara lagi."

Si pemuda mengatakan mereka saat ini sedang menunggu datangnya bupati, komandan korem, komandan kodim, komandan rudal, Palang Merah Internasional, ketua parlemen setempat, untuk menyelesaikan masalah.

Faisal mengeluh capek, "Kami minta mobil pemadam kebakaran. Tapi sampai sekarang belum sampai. Kami sudah gerah sekali."

Matahari memancarkan sinar yang cukup panas. Faisal dan massanya masih bertahan di tengah jalan, tak beranjak. Faisal membuka lembaran buku tulis yang sudah lecek oleh keringat dan memperlihatkannya kepada wartawan yang mewawancarainya. Di situ ada kesepakatan tertulis antara massa yang diwakilinya dengan Camat Marzuki, bahwa Marzuki telah menyatakan meletakkan jabatannya.

"Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu," teriaknya dengan emosi dari megafone.

Massa menyambut teriakan Faisal dengan gemuruh. Ribut lagi. Wawancara itu segera diakhiri.

Keempat wartawan RCTI itu sepakat kembali ke Lhokseumawe untuk memburu pengiriman kaset ke Jakarta. Ali dan Fipin secara terpisah mengambil gambar terakhir kalinya. Umar masih tak beranjak dari posisi semula.

Imam dan Fipin bergerak beberapa meter. Dekat mereka ada sebuah sepeda motor merek Honda keluaran 1970-an. Pemiliknya mengizinkan Fipin naik ke atas sadel belakang. Imam memegang sepeda motor itu agar Fipin tak jatuh. Imam memegang kaset baru, bersiap hendak menukarnya dengan kaset dalam kamera Fipin.

Fipin berdiri di atas sepeda motor dengan agak gemetar. Dia masih bisa memanggul kamera yang berat walau tubuhnya sudah terasa lemas. Tadi pagi tak sempat sarapan. Dan kini dia sangat haus.

Azhari berdiri dekat sebuah tembok kecil di sudut kiri jalan. Sedari tadi dia tak melakukan apapun, hanya menonton keramaian. Azhari tak berusaha mewawancarai orang-orang di situ, bahkan tak pula ingat mengeluarkan kameranya untuk memotret. Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak jalan. Padahal dia bisa memperoleh foto berita di situ.

Tak ada yang tahu persis siapa yang memulai. Massa makin tak terkendali. Mulai saling dorong-dorongan. Tentara Batalyon 113 yang sedari tadi berdiri di tengah massa, mulai terjepit. Ada lemparan batu jatuh di depan deretan anak-anak dan ibu-ibu. Dua puluh meter dari barisan massa terdepan itu, berdiri pasukan Arhanud Rudal, jumlahnya berkisar 20-an.

Anak-anak yang melihat ada batu jatuh di depan mereka, spontan mengambil batu dan melemparnya ke arah tentara Arhanud Rudal.

Suasana memanas.

Sebuah truk militer datang dari kejauhan. Truk itu datang dari markas Arhanud Rudal. Banyak tentara di dalamnya. Ali dan Fipin dalam posisi berbeda merekam kedatangan truk itu.

Pandangan mata massa semuanya sudah terkonsentrasi ke arah truk yang datang itu. Mereka merasa ada sesuatu yang terjadi. Sebab beberapa orang ribut, "Ada truk datang, ada truk datang."

Tentara mulai membentuk dua lapis barisan. Mereka seperti sedang bersiap-siap, karena ada keributan di tengah massa.

Tiba-tiba ... trat .... trat .... trat .... suara senjata meletus dengan keras. Trat, trat, trat .... dengan cepat suara senjata susulan terdengar bersahut-sahutan. Suara itu bagaikan geledek yang menyambar. Semua terkejut. Orang-orang yang tadi berdiri menyemut di jalan, secara reflek tiarap. Tapi dengan cepat pula, banyak yang berlari berhamburan. Mereka lari tunggang-langgang menjauhi tentara-tentara yang mulai melepaskan peluru-peluru tajam dari moncong senjata mereka.

Tembakan ini datang dari tentara Arhanud Rudal yang berdiri di kejauhan. Mereka yang pertama kali melepaskan tembakan itu. Mereka menembak ke atas dengan maksud membubarkan massa. Sejumlah tentara berteriak, "Bubar kalian! Bubar!"

Tapi beberapa tentara mendadak seperti kesetanan mengejar orang-orang yang berlarian. Menembaknya dengan serabutan. Sementara, tentara-tentara dari Batalyon 113, yang tadi berdiri di antara massa dengan cepat menyebar, menyusup ke parit-parit. Mereka juga turut melepaskan tembakan. Mereka menembaki pohon kelapa yang tumbuh di sekitar lokasi, hingga daun dan buahnya berjatuhan.

Kepanikan muncul di mana-mana. Laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, lari berhamburan menghindari peluru yang mereka tak bisa terka datangnya dari arah mana. Yang mereka tahu mereka harus menjauh dari tentara-tentara itu yang mendadak brutal menembaki mereka.

Mereka ada yang berteriak ketakutan minta tolong. Perempuan dan anak-anak menjerit. Tapi kebanyakan tak mampu lagi bersuara. Suara rentetan senjata yang memekakkan telinga membuat semuanya tak berkutik. Banyak yang tiarap di jalanan. Yang lainnya bersembunyi di balik dinding warung. Ada juga yang memperosokkan diri ke parit.

"Amin ya Allah, Allah Akbar,"seorang laki-laki berteriak dengan keras.

"Allah Akbar, Allah Akbar," orang-orang mulai berseru. Korban mulai berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan orang rubuh di jalur kanan jalan. Yang lain, satu per satu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan tentara.

Massa menubruk apa saja. Fipin yang berdiri di atas sepeda motor jatuh terjengkang. Si empunya sepeda motor tanpa memberi aba-aba kepada Fipin, membawa lari sepeda motornya secepat kilat.

Fipin jatuh tertidur di badan jalan bersebelahan dengan Imam yang tiarap. Dekat mereka ada beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama. Fipin makin lemas saat melihat darah mulai keluar dari tubuh-tubuh orang yang rebah tak jauh darinya.

Fipin mengangkat kameranya tinggi dan mengarahkannya ke tentara-tentara dekatnya yang sedang menembaki pohon-pohon kelapa, hingga buahnya berjatuhan dan daunnya rontok. Di kejauhan beberapa tentara lainnya sedang melepaskan tembakan secara brutal ke arah massa yang berlarian. Dia sudah tidak bisa berpikir apapun. Dia hanya merasa kameranya akan merekam semua adegan itu.

Imam sejak tembakan pertama secara reflek merebahkan tubuhnya ke atas aspal. Dia berada di belakang Fipin. Kaset di tangan Imam terjatuh, tersepak-sepak oleh massa yang berlarian panik, melompati badan Imam yang jatuh. Berkali-kali Imam berusaha mengambil kaset itu.

Hampir 10 menit berlalu, saat Imam berusaha memasukkan kabel mikrofon ke kamera yang dipegang Fipin. Imam ingin merekam dan membuat laporan langsung di tengah ributnya suara letusan senjata.

"Mas, kameranya mati," mendadak Imam berteriak kepada Fipin. Imam melihat lampu kecil berwarna merah di kamera Fipin tak menyala. Seharusnya lampu itu berkedip-kedip jika kamera merekam gambar.

Fipin tersadar. Dengan cepat dia menghidupkan tombol record kamera. Kamera itu tanpa diketahui mati ketika Fipin terjatuh dari sepeda motor. Selama 10 menit pertama ketika tembakan mulai Fipin tak merekam apa-apa.

Tentara-tentara itu masih melepaskan tembakan, ketika seorang anak kecil, merayap dekat Imam. Ada seorang perempuan dekatnya, juga merayap. Mungkin itu bibinya. Anak itu kebingungan mencari perlindungan.

"Sana kamu," Imam mendorong pantat anak itu.

"Ke mana Bang?" tanyanya, bingung ketakutan.

Imam menyuruhnya pergi ke arah deretan warung tak jauh dari situ. Paling tidak anak itu bisa berlindung di balik dinding. Dengan cepat anak laki-laki itu, bersama bibinya merangkak, dan menghilang ke samping warung.

Imam kembali melihat ke arah tentara-tentara itu. Jaraknya kini hanya lima meter dari tempat Imam dan Fipin rebah. Perasaannya campur aduk saat melihat tentara melepaskan tembakan bertubi-tubi, mengarahkan muntahan peluru ke arah orang-orang yang sebagian masih berusaha lari dari tempat itu. Imam terpaku dan belum berpikir apa pun tentang peristiwa itu. Semua serba cepat.

Ketika dia melihat ada tumpukan orang rebah di seberang jalan. "Ah, orang-orang itu cuma bersandiwara saja," kata Imam dalam hati. Dia sudah pernah mengalami situasi, di mana ada demontrasi dibubarkan aparat dengan tembakan. Tapi dia tak pernah melihat darah dalam peristiwa-peristiwa seperti itu.

Saat tembakan agak mereda, Imam tergerak mendekat ke tumpukan manusia itu. Sambil berjongkok dia dan Fipin jalan ke sana. Fipin merekam semua gambar dengan baik. Sebagian tentara masih terus melepaskan tembakan. Tapi ada juga satu dua tentara yang masih berbaik hati, berusaha mengamankan beberapa wanita yang menggendong anak mereka yang sedang bersembunyi di balik sebuah gerobak. Mereka disuruh pergi cepat-cepat dari situ.

Imam melihat seorang pemuda merangkak di depannya. Imam ingat, itu pemuda yang tadi dielu-elukan massa. Pemuda berikat kepala itu merangkak pelan bagai tak bertenaga. Dia berusaha menuju ke emperan warung. Dia terluka, celana putihnya penuh darah. Pemuda itu bersandar lemas di dinding warung yang dengan susah payah dicapainya.

Imam menegurnya, "Apanya yang kena?"

Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya pucat. Ada seorang wanita berjilbab kuning di dekatnya, memperhatikannya dengan rasa khawatir.

Cairan warna merah mengalir pelan ke arah Imam. Cairan itu keluar dari sela kaki pemuda itu. Imam mengambilnya sedikit di tangan. Menciumnya. "Tidak amis," pikirnya.

Imam mengambil lagi. Tidak amis. Dia pikir darah pasti baunya amis. "Orang ini mau mendramatisasi," kata Imam dalam hati.

Imam bergerak lagi, ke arah tumpukan orang yang sedari tadi mengusiknya. Tadi ada sekitar 10 orang rebah di situ. Tapi dengan cepat sebagian bangun dan lari saat Imam dan Fipin mendekat.

Dari jauh, Imam seperti melihat sebuah boneka tergeletak di antara tumpukan orang itu. Imam mendekat, melihat lebih jelas. Imam terkejut bagai disambar petir. Itu seorang anak kecil yang bagian atas kuping kirinya sudah bolong setengah. Air otaknya terlihat jelas. Imam shock.

"Tidak benar ini. Masya Allah. Ini gila," Imam berteriak dalam hati. Perasaan marah, benci tak percaya, bercampur aduk dalam diri Imam. "Ini tidak boleh terjadi, tak masuk akal."

Itu bukan boneka. Itu anak kecil yang telah tak bernyawa. Peluru tentara telah menghancurkan kepala kirinya. Imam tak tahan dan menangis melihat itu.

Fipin sendiri tak tega ketika mengarahkan kameranya ke arah anak kecil yang kepalanya telah bolong itu. Saking tak tahan melihat kesadisan itu, Fipin menutup matanya ketika kameranya mengambil gambar anak itu dari dekat.

Fipin menjalankan tugasnya sebagai kamerawan dengan baik. Dia merekam semua yang dilihatnya. Dia terus berada bersama Imam. Dia merekam seorang pemuda yang sekarat, tersentak saat nyawanya hendak diambil malaikat pencabut nyawa.

Umar dengan panik berlari ke depan sebuah toko penjual makanan ternak, ketika bunyi letusan senjata terdengar. Di depan toko yang ditutup pemiliknya itu, ada tumpukan karung berisi dedak makanan bebek. Umar bersembunyi di balik tumpukan karung. Tak hanya dia seorang di situ, karena ada beberapa orang lain yang berebutan tempat bersamanya. Umar terjepit di antara orang-orang yang takut itu.

Umar juga sangat ketakutan. Bahkan dia seperti mau kencing dalam celana. Tapi dia berpikir cepat untuk segera memotret peristiwa itu. Umar menjepret apa pun yang dilihatnya, tentara yang menembak dan juga tumpukan orang yang rebah di jalan. Umar melihat Fipin dan Imam ada di sana juga. Tapi jepretan Umar banyak yang meleset tak tentu arah, ke langit dan ke atas pohon.

Trat .... trat .... trat .... berondongan senjata terus terdengar. Umar memotret tanpa berpikir banyak apakah dia mendapat angle yang bagus atau tidak. Umar sangat terkejut ketika kameranya secara tak sengaja membidik seorang anak kecil di seberang jalan yang terjatuh. Kamera Umar mengabadikannya, tepat saat peluru menghantam kepalanya dan isi otaknya berhamburan. Umar terkejut luar biasa, hingga kameranya terjatuh dari pegangannya. Umar merasa kasihan terhadap anak itu.

Ali Raban dalam posisi merekam gambar di sudut kanan Simpang Kraft, ketika tiba-tiba meletus suara senjata. Di depannya, massa secara reflek tiarap. Ali melihat tentara di depan warung, tak jauh darinya mulai berpencar. Massa kemudian dengan cepat bangun dan berlarian tak tentu arah.

Raban tidak lari. Dia berdiri dengan tegap dan merekam orang-orang yang berlarian itu. Mereka panik dan berusaha mencari tempat perlindungan terdekat.

Tiba-tiba ada yang mendorongnya dari belakang. Ali terjatuh. Tapi dia masih mampu mempertahankan kameranya tetap hidup. Ali jatuh tiarap dengan siku tertumpu di tanah. Di depannya wanita, pria dan anak-anak mulai berjatuhan. Mereka kena tembak. Jaraknya hanya sekian meter dari Raban.

Beberapa menit berlalu. Tentara-tentara masih menembak. Sambil jongkok Ali lari ke tengah pertigaan jalan. Dia ingin mengambil gambar tentara. Dia merasa pengambilan gambar terhalang oleh truk-truk militer yang berderet di pinggir jalan. Ban-ban truk itu telah kempes, kena peluru nyasar. Dinding warung penuh lubang.

Azhari kebingungan ketika mendengar suara letusan senjata. Dia berusaha melihat lebih jelas ke arah tentara-tentara yang jauh. Orang-orang sudah berlarian. Seruan "Allah Akbar," muncul dari antara orang-orang itu.

Azhari kaget. Dia melihat ke arah tentara yang ada sekian puluh meter darinya. Tentara itu menembaki orang-orang yang berlarian. Suasana sangat kacau. Tadinya Azhari belum berpikir untuk lari. Rasa takutnya timbul ketika melihat di antara orang-orang yang berlarian, seorang pria jatuh tersungkur. Azhari melihat darah membasahi belakang bajunya.

Dia pun dengan cepat lari, mengikuti orang-orang yang lari menyelamatkan diri ke arah Krueng Geukeuh. Melihat ada massa yang lari ke sebuah gang kecil, dia pun ikut ke sana, menganggap tempat itu pasti aman.

Azhari merasa tentara itu bagai mengejar dirinya karena rentetan tembakan masih terus terdengar. Orang-orang berteriak histeris. "Tulong, ureung kaa ditimbak, kaa plung mandum (Tolong, orang sudah ditembaki, sudah lari semua)."

Azhari berlari sepanjang satu kilometer, menyusup ke kebun, dan menerobos pagar berduri rumah penduduk tanpa sadar. Ada ratusan orang lain berlarian seperti dirinya. Azhari menemukan sebuah riol tak berair. Lalu bersembunyi di situ. Ada tiga orang lain melihat Azhari bersembunyi. Mereka ikut menyusup dekat Azhari. Suara tembakan masih terdengar. Orang-orang melompati riol yang disusupi Azhari. Mereka berlarian susul menyusul. Selesai istirahat untuk sekadar tarik nafas, Azhari keluar dari riol itu dan kembali lari.

Sudah lebih dari setengah jam ketika tembakan mulai mereda. Fipin mengeluh ke Imam. Dia mulai limbung karena dia tak tahan dengan rasa haus. Mereka mencari minum ke sebuah warung.

Keempat wartawan itu kembali berkumpul. Mereka tak banyak berbicara. Mereka masih tegang karena masih ada tentara di situ. Tapi Imam dan Umar tak bisa menyembunyikan kesedihan mereka. Mata mereka berair. Menangis.

Di tempat itu tidak ada lagi massa. Lengang sekali. Yang tersisa di situ hanya para korban yang terkapar dan keempat wartawan itu. Sepeda kecil, sandal, kayu, batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh pemiliknya yang tadi panik berlarian. Mungkin mereka sudah tewas dan mungkin ada yang selamat. Jerit kesakitan dari orang-orang yang kena tembak mulai terdengar sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tak jelas dari mana saja.

Tentara-tentara datang mendekat. Mereka melakukan penyisiran, hingga ke persimpangan. Ada yang naik truk, ada yang jalan kaki. Keempat wartawan RCTI itu berkumpul di pojok kiri simpang. Mereka belum tahu mau berbuat apa, karena masih ada tentara yang kalap dekat mereka.

Mendadak dua tentara bertopi rimba datang mendekati wartawan dengan berlari. Wajah kedua tentara itu sangat marah. Entah disengaja atau tidak, moncong senjata keduanya terarah kepada keempat wartawan itu. Mereka memaki-maki keempat wartawan yang terdiam itu. Umar, Raban, dan Imam berdiri, sedang Fipin berjongkok, melindungi kameranya seperti dia melindungi bayinya.

Tentara itu berteriak dengan marah kepada wartawan-wartawan itu, "Ini kan yang kalian inginkan?" Ia mencecar mereka dengan marah.

Satunya lagi menimpali. "Apa shooting-shooting. Memangnya kita cover boy?"

Imam berbisik pada Fipin, "Record, Mas." Imam ingin tentara yang marah itu terekam dalam kamera. Tapi Fipin tak mengerjakannya. Dia berpikir akan ketahuan kalau dia merekam sebab lampu merah akan berkedip-kedip. Ali juga sudah mengingatkan agar dia menutup kameranya.

Dua tentara itu masih marah-marah, saat komandannya, seorang perwira berpangkat letnan datang mendekati. Dia berusaha mendinginkan kedua anak buahnya. "Sudah. Sudah sana," dia mendorong pergi kedua anak buahnya itu kembali ke pasukan mereka.

"Hati-hati, Dik. Ada tembakan dari luar," katanya memperingatkan keempat wartawan itu. Lalu dia pergi kembali ke pasukannya.

Imam merasa begitu sangat tolol karena sedari tadi tak segera menyimpan kaset video yang masih tersimpan di kamera. Imam merasa ajaib bahwa tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka.

Sepeninggal tentara-tentara itu, Umar dan Imam berlari ke arah bale-bale. Di sana ada seorang ibu mengerang. Pinggang kirinya tertembak. Dekatnya seorang anak laki berseragam sekolah menengah pertama tergeletak. Anak itu mengaduh kesakitan.

"Tulong Pak," anak itu mengerang.

Satu dua orang mulai berdatangan, mencoba menolong korban. Imam berteriak, "Pak Umar, telepon ambulans."

Umar juga sedang panik menelepon istrinya di rumah lewat telepon seluler. Umar menyuruh istrinya menelepon ambulans dari Palang Merah Indonesia. Di Lhokseumawe, istri Umar, Rusni, juga berusaha menelepon Umar karena mendengar ada keributan di Krueng Geukeuh. Berita peristiwa itu cepat menyebar ke Lhokseumawe.

Evakuasi korban pertama terjadi pukul 13.05. Yang datang pertama kali adalah sebuah labi-labi yang datang dari arah Krueng Geukeuh. Labi-labi itu datang dengan kecepatan tinggi, menikung dan berhenti. Semula orang-orang mau mengangkat mayat, tapi Imam mencegahnya.

"Selamatkan dulu yang masih hidup," katanya. Imam memimpin evakuasi itu dengan cepat. Syukur orang-orang di situ menuruti perintahnya.

Selain beberapa labi-labi dari Krueng Geukeuh, beberapa mobil milik orang dekat lokasi juga dikerahkan untuk mengangkat korban. Orang sudah mulai ramai datang ke Simpang Kraft. Korban satu per satu dievakuasi. Para korban diangkat dari jalan, parit, sawah, kebun, halaman dan dalam rumah penduduk. Mereka kritis. Anak-anak dan wanita merintih kesakitan.

Orang-orang mengerubungi mayat anak kecil yang tertembak kepalanya. Tangannya sudah dilipat ke dada, seperti seharusnya orang meninggal. Orang-orang di situ hanya mampu berseru, "Laillahaillah."

Raban masih merekam gambar korban-korban yang tergeletak di jalan, dan di parit-parit. Saat itu dia melihat seorang anak kecil di tengah jalan, merangkak karena kakinya tertembak. Ali mengambil gambarnya. Tapi dia tak tahan membiarkan anak itu terus merangkak sementara dia merekam adegan itu. Ali mengambilnya dan membopong anak itu ke mobil bak terbuka yang dipakai untuk mengevakuasi korban.

Tak lama datang ambulans. Sirenenya mengaung-aung serasa menyayat hati orang-orang yang ada di lokasi penembakan. Di kejauhan puluhan tentara bergerak perlahan pulang ke markas Arhanud Rudal.

Imam dan Umar turut mengangkat korban. Imam mengangkat korban ke dalam ambulans. Umar memotretnya. Foto itu kemudian yang jadi headline di media massa Indonesia.

Di antara orang-orang yang datang menolong, Imam melihat seorang pria yang seperti sok jagoan. Belum lagi mengangkat korban, pria itu membuka bajunya dan melumuri dadanya dengan darah korban. Beberapa pemuda, sibuk mengumpulkan selongsong peluru yang berserak di jalan. Mereka datang ke Imam dan Fipin, untuk memperlihatkannya. Tapi Imam sudah tidak peduli lagi. Dia masih terbawa emosi. Bahkan dia harus menenangkan dirinya sendiri.

Di tengah suara sirene ambulans yang mengaung-ngaung, Imam berbicara di depan kamera. "Pemirsa, jatuhnya korban di simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe."


SIANG itu, bagai ada perang besar di Aceh Utara. Korban-korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit dan klinik sekitar Krueng Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe. Mobil-mobil yang membawa korban lari kencang melintasi jalan antara Krueng Geukeuh-Lhokseumawe. Sirene mengaung-ngaung, menarik perhatian orang. Ruang gawat darurat rumah sakit penuh sesak oleh korban-korban yang kritis. Mereka harus antre untuk mendapat pertolongan. Sebagian korban terpaksa dijejer di lantai karena tempat tidur tak cukup. Kejadian itu mendadak. Para medis kewalahan.

Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT Arun LNG. Mereka mengambil gambar dan data korban. Dokter dan perawat tampak sangat sibuk. Mereka sempat melarang wartawan mengambil gambar. Tapi Fipin merekamnya diam-diam.

Di lantai rumah sakit itu, beberapa korban yang sudah tak bernyawa digeletakkan berjejer di lantai sebuah ruangan. Darah mengotori lantai dan bau amisnya tercium sangat kuat, bercampur dengan bau keringat dan debu yang lengket di tubuh korban. Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan kondisi mengenaskan.

Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Suasana agak kacau.

Para wartawan itu mulai merasa ada kenal satu per satu dengan korban. Ali terpaku, saat melihat anak kecil yang kepalanya bolong itu, ternyata yang tadi memberi air padanya. Imam baru tahu, kalau ibu yang tadi tergeletak di gardu, ternyata kena tembak ginjalnya. Padahal baru beberapa jam lalu si ibu masih tertawa gembira, bersorak-sorak bersama massa. Imam lagi-lagi mengangis melihat itu.

Keluar dari rumah sakit, mereka berhenti di masjid Batu Phat. Istirahat sekalian makan nasi bungkus. Mereka sudah sangat lemas. Imam menelepon RCTI Jakarta. Beritanya cuma satu. "Ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up. Aku akan segera mengirim materinya. Tapi situasi sangat berbahaya."

Santa Cruz adalah nama sebuah kuburan di Dili, Timor Timur, di mana pada 12 November 1991, pasukan Indonesia menembaki orang-orang Timor yang berdemonstrasi di pemakaman itu, memperingati empat puluh hari terbunuhnya seorang aktifis pro kemerdekaan.

Imam merasa ada bahaya yang menunggunya. Dia menyempatkan menelepon seorang temannya untuk memberi kabar ke istrinya. Dia ingin istrinya tahu bahwa keadaannya baik-baik saja.

Salah seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam, "Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe."

Mereka merasa harus segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan gambar yang ekslusif yang pasti jadi incaran militer. Umar kemudian menitipkan kaset rekaman mereka ke salah seorang saudaranya.

Imam terus bergerak mencari data korban ke rumah sakit Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya lebih dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa tertampung. Mereka ditidurkan di lantai lorong rumah sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup dan tampak beberapa pasukan marinir berjaga di gardu.

Azhari masih sedikit tegang ketika dia tiba di Lhokseumawe pukul tiga siang. Dia tadi menumpang sebuah mobil sedan yang hendak ke Lhokseumawe. Dia mendatangi rumah sakit Cut Mutia untuk mencari data korban. Berita pertamanya di Antara telah naik. Berita itu berjudul, "Tentara Membubarkan Demonstran di Simpang Kraft dengan Tembakan." Azhari menyebutkan, belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka.

Hingga malam, Azhari masih bekerja sendiri di kantornya. Dia melaporkan jumlah korban yang terus bertambah. Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang.

Azhari seperti orang linglung setelah kerja maraton, mencari data berulang-ulang ke rumah sakit. Dia tersentak ketika kepala biro Antara Banda Aceh menelepon menanyakan foto peristiwa itu. Di situ baru disadarinya, ternyata tustelnya masih tersimpan di tas yang masih menggantung di pinggangnya. Dia bahkan lupa memotret korban di rumah sakit.

Malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam. Hanya suara sirene ambulans terdengar sampai pukul 10 malam. Jalanan sepi. Tak ada mobilitas tentara. Markas polisi dan tentara di Lhokseumawe dijaga ketat aparat keamanan. Keramaian malam itu terkonsentrasi di rumah sakit. Keluarga korban dan orang-orang terus berdatangan, untuk menyumbangkan darah, memberikan bantuan uang, atau sekadar menunjukkan rasa simpati. Persediaan darah di palang merah kosong. Hingga tengah malam, dokter dan paramedis masih melakukan operasi mengeluarkan butir-butir peluru dari tubuh korban yang kritis.

Orang-orang di Lhokseumawe terus menunggu perkembangan berita. Mereka menunggunya di televisi dan radio. Berita pertama muncul di acara Seputar Indonesia RCTI pukul 18.30. Peristiwa itu muncul sebagai headline. Redaksi RCTI melakukan telewicara dengan Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Jhonny Wahab dan juga laporan telepon dari Imam Wahyudi langsung dari Lhokseumawe. Sampai di situ para petinggi militer di Lhokseumawe belum mengetahui bahwa ada wartawan RCTI jadi saksi mata peristiwa itu.

Malam itu banyak orang di Lhokseumawe menonton siaran RCTI. Mereka kembali mendengar berita tentang penembakan orang-orang di Simpang Kraft. Pukul 21.00 RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran Dunia Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia. Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga.

Orang-orang yang menonton berita itu melalui RCTI marah. Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong. Tak ada satu pun orang yang menyerang Arhanud Rudal. Mereka tidak mengerti, kalau sebenarnya itu berita TVRI.

Kegusaran orang itu tidak diketahui Imam, Umar dan Fipin. Malam itu, mereka sedang menikmati ikan panggang di pantai Ujung Blang.

Pukul 22.00 kaset rekaman yang berharga itu dikirim melalui bus ke Medan untuk dikargokan dengan pesawat ke Jakarta. Imam menitipkan kaset yang direkam Fipin. Ada tiga kaset dengan alamat yang berbeda yang dikirim Umar. Satu untuk RCTI, satu untuk Associated Press dan satu untuk Reuters. Umar menggandakan rekaman milik Ali untuk dikirimnya ke dua kantor berita internasional. Ali sempat protes.


SELASA 4 Mei 1999 pukul 06.00 berita Nuansa Pagi RCTI kembali menyiarkan laporan langsung Imam dari Lhokseumawe. Wawancara telepon dengan Kolonel Jhonny Wahab juga dimunculkan. Jhonny Wahab mengatakan tentara bertindak sesuai prosedur dalam peristiwa Simpang Kraft siang kemarin.

Umar tergopoh-gopoh datang bersama Ali ke hotel. Dia mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang di Lhokseumawe marah pada RCTI karena pemberitaan semalam.

Ketika mereka berada di rumah sakit Cut Mutia semua itu jadi jelas. Imam merasa dr. Mulya Hasjmy, pemimpin rumah sakit, tak bebas bicara ketika Imam mewawancarainya. Ada yang mengikuti mereka sejak di rumah sakit. Seorang pemuda bertopi taliban.

Pemuda itu terus mengekor keempat wartawan itu. Di pelataran rumah sakit, Imam dicerca seorang aktivis mahasiswi yang membuka pos kemanusiaan.

"RCTI pembohong," tuding gadis berjilbab itu.

Orang-orang mulai mengerubungi Imam. Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri memisah, menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai tudingan.

"RCTI pembohong," kata bapak itu.

"Itu bukan kami, itu TVRI," kata Imam.

"Kalau begitu saya mau diwawancara."

"Wawancara soal apa?" tanya Imam.

"Soal Simpang Kraft."

"Kemarin Bapak di mana? Saya ada di sana. Tidak perlu mewawancarai Bapak. Saya tahu kejadiannya."

"Ya, tapi berita RCTI itu bohong."

"Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan berapa korbannya. Saya punya data dari rumah sakit," sahut Imam.

"Kalau begitu saya mau diwawancara soal Aceh," bapak itu masih berkeras juga.

"Kalau soal Aceh, kalau saya wawancara bapak, saya punya kewajiban untuk mewawancarai pihak lain yang menjadi lawan bapak. Mungkin ini militer," kata Imam lagi.

"Ya, tapi RCTI ....."

Imam cepat memotong, "Begini Pak. Saya menghadapi situasi seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya saya sudah mengalami kejadian serupa, termasuk di Timor Timur. Bapak tahu Timor Timur? Di sana orangnya Kristen. Tapi di sana saya memberitakan apa adanya. Kemudian saya menjadi tidak disukai oleh kalangan militer, saya tempuh risiko itu. Itu orang Kristen, Pak. Ini Aceh, Islam. Saya Islam."

"Ya tapi kan berita itu bohong. Tidak perlu takut."

"Pak, saya kasih tahu. Bahwa wartawan itu harus berpijak pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa yang terjadi itulah kebenaran. Dan bagi saya menyuarakan kebenaran itu jihad," Imam berkata sambil mendorong telunjuknya ke dada bapak itu. Orang-orang yang semula mencecar Imam terdiam.

Kebanyakan keluarga korban yang memenuhi rumah sakit bereaksi keras terhadap media. Tidak hanya televisi tapi juga koran yang terbit pagi itu. Mereka protes karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan media. Tak semua korban tewas dibawa ke rumah sakit. Beberapa anggota keluarga yang tewas ada yang membawa pulang langsung mayat karena ketakutan.

Jumlah korban masih simpang siur. Berbagai versi berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah sakit. Bahkan para mahasiswa yang membuka pos kemanusiaan, mengklaim jumlah yang tewas sampai seratus orang. Tapi data lengkap dari tim pencari fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang hilang.

Sempat muncul rasa tidak senang terhadap wartawan, sehingga siapa pun wartawan yang datang ke rumah sakit, diperiksa identitasnya dengan ketat. Sejumlah wartawan dari Jakarta, sudah berdatangan ke Lhokseumawe untuk meliput peristiwa penembakan Simpang Kraft. Umar sempat berdebat dengan beberapa orang yang mencurigai seorang wartawan radio lokal. "Itu wartawan juga. Saya kenal mereka," katanya.

Azhari dan seorang temannya yang juga wartawan lokal, baru sampai di ruang gawat darurat dan sedang mencatat data korban, saat dua pria menghampirinya. Salah satunya, seorang pria bertubuh tinggi, berkulit hitam dan memakai jaket panjang hingga ke mata kaki. Dia mengintrograsi Azhari. "Dari mana?"

"Wartawan Antara."

"Coba tulis sedikit," dia menyodorkan kertas ke Azhari.

"Abang dari mana kok tanya identitas saya?" Azhari mengira orang itu intel polisi.

"Saya dari Angkatan Aceh Merdeka," lelaki itu menyibak belahan jaketnya. Tampak senjata laras panjang jenis AK 47 yang gagangnya terlipat.

Azhari sempat terpelongo karena baru kali itu dia melihat ada orang dari Aceh Merdeka. Azhari merasa perlu bicara baik-baik dengan mereka. Di koridor rumah sakit belasan laki-laki lainnya datang mendekat. Pria dari Aceh Merdeka itu marah. "Wartawan kenapa buat berita begini. Orang yang mati banyak sekali, kenapa ditulis cuma 20?"

"Begini, Teungku. Jangan salahkan wartawan, data ini dari rumah sakit."

"Enggak, korban banyak lebih dari 40 orang."

"Oke, sekarang kita buat perjanjian. Kami menulis apa adanya. Sebab seandainya kami menulis lebih, orang bisa menuntut kami. Kami enggak punya apa-apa. Gaji kami tak seberapa. Kami hanya mengabdi untuk masyarakat," Azhari melawan argumentasi orang-orang itu.

Umar sendiri panik ketika istrinya melaporkan sambil menangis bahwa ada beberapa orang yang terus menelepon ke rumah mereka sejak siang. Orang itu mengancam akan membakar rumah, karena Umar dianggap membuat berita bohong di RCTI. Umar resah dan dia sampai terpikir untuk membuat selebaran bahwa RCTI bukan TVRI.

Rasa tidak aman setelah peristiwa itu dirasakan oleh keempat wartawan RCTI tersebut. Orang dari Korem Lilawangsa berkali-kali menelepon Umar, ingin bertemu Imam Wahyudi untuk minta rekaman gambar peristiwa. "Dia sudah pulang ke Jakarta dan terus ke Singapura untuk berlibur," Umar berbohong.

Ray Wijaya, produser Seputar Indonesia di Jakarta berkali-kali mengingatkan Imam, "Kau harus segera pergi dari situ." Sore itu juga, Imam dan Fipin berangkat ke Banda Aceh dengan bus. Mereka berusaha menyamarkan atribut RCTI agar orang-orang tidak tahu keberadaan mereka.

Di kantornya Azhari mulai menerima telepon-telepon misterius dengan nada mengancam dirinya. Tidak jelas siapa mereka. Azhari selalu berangkat tidur dengan rasa takut yang tinggi. Sehingga dia terpaksa minta seorang saudaranya menemaninya.

Rabu, 5 Mei 1999, setelah mencapai Jakarta, gambar video penembakan orang-orang sipil di Simpang Kraft muncul di televisi-televisi nasional. Itu gambar Ali Raban yang disiarkan Reuters ke pelanggannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemandangan saat ratusan orang berhamburan dengan panik saat tentara menembak sungguh membangkitkan emosi siapa saja yang menontonnya. Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft.

RCTI ketinggalan satu setengah jam dari berita pukul 17.00 di Anteve yang menyiarkan gambar Reuters. Gambar Fipin Kurniawan naik pada siaran berita Seputar Indonesia pukul 18.30. Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh. Peristiwa Simpang Kraft sudah diberitakan. Sisanya sejarah.


Epilog

PASCAPERISTIWA itu Imam Wahyudi mengalami trauma. Hampir setahun dia merasa dikejar-kejar bayangan orang-orang yang ditembak di depan matanya. Setiap datang ke Lhokseumawe, Imam menyempatkan diri datang ke Simpang Kraft. Di situ, dia bisa lama menghabiskan waktunya, duduk, berdiri, diam, seakan hendak mengulang kembali semua yang dilihat dan dirasakannya ketika peristiwa itu berlangsung.

Imam tak pernah bisa menyembunyikan emosinya ketika menceritakan peristiwa penembakan itu kepada saya dalam dua kali pertemuan bersama Fipin Kurniawan di Jakarta pada November 2001. Saat saya menonton rekaman video Simpang Kraft, mulanya Imam menemani saya di ruang editing. Tapi ketika layar monitor mulai memperlihatkan gambar-gambar penembakan itu, Imam menghilang keluar ruangan tanpa saya ketahui.

Fipin Kurniawan mendapat IJTI Award dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia sebagai kamerawan terbaik pada 1999. Ali Raban kurang beruntung tak mendapatkan penghargaan walau Ali lebih berhasil merekam dalam adegan penembakan. Ali merasa kecewa.

Ali Raban dan Umar HN telah pecah kongsi. Ali jadi kamerawan Metro TV Lhokseumawe. Umar jadi koresponden Lativi. Saya mewawancarai mereka secara terpisah di Lhokseumawe pada Desember 2001.

Umar dan Ali Raban sering mengalami intimidasi bahkan kekerasan oleh aparat keamanan Indonesia ketika meliput di lapangan. Tak mudah jadi wartawan di Aceh. Sangat tidak mudah. Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara hati-hati. Dia dan keluarganya tak mau diteror lagi.

Simpang Kraft masih seperti tiga tahun lalu. Bale-bale di sudut kiri simpang masih berdiri. Toko dan warung berdinding papan, yang berdiri di sepanjang kiri kanan simpang, masih membuka usahanya. Tanah kosong di samping warung belum berubah fungsi. Dulu di sana ada sebuah rumah panggung sederhana. Tapi sudah dibongkar si empunya rumah, setelah anak gadisnya turut tewas dalam penembakan. Gadis malang itu, baru pulang sekolah, dan hendak menukar baju di kamarnya, ketika mendadak peluru nyasar menembus dinding rumah dan menerjang tubuh si gadis.

Pada suatu siang berudara mendung Januari lalu, saya duduk persis menghadap Simpang Kraft. Di bawah pohon rindang, saya bersama Muhajir, anak muda yang jadi pemandu saya. Mei berdarah itu Muhajir masih murid sekolah menengah. Dia baru pulang ujian ketika ikut membaur dengan ribuan orang di Simpang Kraft. Ketika tentara menembak, Muhajir tiarap bersama ribuan orang. Beberapa kawan baiknya tewas dan luka-luka. Muhajir yang menemani saya mewawancara orang-orang kampung dan beberapa korban yang dikenalnya.

Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru. Orang-orang militer yang bertanggung jawab dalam peristiwa itu, entah di mana kini bertugas. Mereka tak tersentuh hukum. Tapi Sersan Dua Aditia juga tak ketahuan rimbanya. Dia dinyatakan hilang.

Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi massa. Tentara menembak karena ada tembakan yang ditujukan kepada mereka. Peristiwa itu bermula ketika muncul tembakan ke arah massa dari sebuah bukit kecil di kiri jalan. Akibatnya, sebagian massa lari ke arah aparat untuk mencari perlindungan. Suasana kacau dan memanas. Di tengah kerumunan massa yang mulai panik, tentara melihat ada orang yang membawa senjata AK 47, yang umum dipakai GAM. Orang ini melepaskan tembakan ke arah tentara.

Karena diserang, tentara membalas tembakan yang ditujukan ke tengah massa. Maka terjadilah korban. Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal. Berbahaya jika terjadi penyerangan karena markas itu menyimpan senjata berat dan amunisi termasuk peluru kendali. Jika meledak, akan terjadi bencana besar yang memakan korban dalam radius lima kilometer dari markas.

Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin, saya jumpai seminggu sebelum keberangkatannya ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. "Tembakan pertama itu datang dari pasukan Arhanud Rudal yang berdiri dekat pohon asam. Mungkin mereka panik karena dilempari batu oleh massa," kata Marzuki. Marzuki selamat, karena dia berlindung di balik sebuah pohon. Pohon itu berlubang sembilan dihantam peluru tentara.

Marzuki bertemu Faisal, si koordinator lapangan, di ruang gawat darurat rumah sakit PT Arun LNG. Mereka sama-sama dalam pengobatan. Faisal tertembak kakinya. "Di situ Faisal memperlihatkan pada saya segenggam peluru yang ternyata disimpan dalam kantong jaketnya," kata Marzuki. Kepada Marzuki, Faisal mengaku dari Gerakan Aceh Merdeka. Faisal menghilang dari rumah sakit sebelum orang-orang mendatanya. Selang beberapa bulan, Faisal menemui Marzuki di kantornya. Faisal minta maaf kepada Marzuki. Sejak itu Marzuki tak pernah lagi melihat Faisal.

Kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam oleh berbagai kasus kekerasan lain yang terus bermunculan di Aceh selama tiga tahun terakhir. Kasus pembantaian itu rupanya bukan akhir dari cerita sedih yang menimpa orang Aceh. Tak lama, giliran Teungku Bantaqiah, seorang ulama di Beutong Ateuh, sebuah wilayah pegunungan terpencil di Aceh Barat, ditembak mati tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat dalam kasus Bataqiah akhirnya dihukum.

Hampir tiga tahun lebih para korban Peristiwa Simpang Kraft mencari keadilan. Koalisi NGO HAM Aceh adalah organisasi nonpemerintah di Banda Aceh yang selama ini berupaya melakukan advokasi terhadap para korban. Upaya hukum pertama dilakukan pada September 1999 bersama Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Jakarta. Mereka mendaftarkan gugatan perdata terhadap Presiden, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Panglima Kodam Bukit Barisan, Komandan Korem Lilawangsa, dan Komandan Kodim Aceh Utara, dengan tuntutan Rp 83 miliar. Peradilan itu belum pernah berlangsung karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total.

Sejak Januari 2002, sidang gugatan perdata Peristiwa Simpang Kraft berlangsung di pengadilan Jakarta Pusat. "Ini bukan masalah uang, tapi lebih dari upaya kita untuk memberikan keadilan untuk para korban. Tapi sayang, pemerintah tampaknya tidak serius menegakkan keadilan untuk rakyat Aceh," kata ketua Koalisi NGO HAM Aceh Maimul Fidar.

"Sebenarnya para korban sudah pesimis untuk mencari keadilan. Selain itu mereka juga takut karena jika memberi kesaksian akan ada tekanan dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus itu," kata Maimul Fidar.

Rasa curiga itulah yang saya tangkap pada seorang anak muda. Dia teman Muhajir. Kami menemuinya sedang duduk bersama sejumlah anak muda lain di sebuah warung rokok tak jauh dari Simpang Kraft. Kata Muhajir, anak muda itu ikut tertembak. Ajaib dia selamat, padahal sejumlah peluru bersarang di punggungnya. Tapi dia menolak bicara dengan saya. "Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh."

Saya terpaku dan tak banyak berkata. Saya bahkan tak sempat menanyakan namanya, karena secara halus dia mengusir saya pergi.

[sumber: www.chikrini.blogspot.com, Publish by pantau Mei 2002]